Friday, January 4, 2019

Memaknai Akhir Sebagai Awal : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 19 : Tamat)



Episode 19: Memaknai Akhir sebagai Awal

Saat sekolah, apalagi sebelum unas, kami selalu merasa iri melihat kakak-kakak kelas atau alumni yang kebetulan sedang berkunjung ke sekolah. Wajah mereka tampak bahagia dan lepas, seolah beban selama tiga tahun sekolah sudah tak lagi hinggap di kehidupan mereka. Kami pernah mengungkapkan ke-iri hati-an kami pada seorang kakak kelas yang ketika itu kebetulan datang ke sekolah kami. Adam, kakak kelas dari jurusan T.I itu malah mengatakan, 

"justru yang lebih membahagiakan itu masa-masa sekolah, karena keseruan masa-masa itu dengan segala suka-dukanya akan senantiasa mengendap dalam pikiran".
Ucapannya itu terdengar seperti filsuf kesiangan yang masih berusaha mencari pengikutnya. Wajar, karena kami baru mempercayainya bertahun-tahun kemudian.

Saat yang disebut akhir petualangan itu tiba. Hari dimana terakhir kali kami mengenakan seragam sekolah. Saat itu kami dijamu oleh perayaan pelepasan yang cukup meriah. Podium disediakan dan satu persatu siswa terpilih untuk tampil di depan. Arif Catur dari jurusan Grafis berdiri bersamaku untuk menerima sertifikat Pratita. Karya Arif memang bagus, yaitu sebuah papan seluncur plus desain produk dari media gips yang cukup besar, sedangkan aku masih bertanya-tanya, apa yang ada dalam pikiran para juri sehingga Slinky Dog-ku yang nggak ngalor nggak ngidul itu bisa menggigit sertifikat ini, sedangkan karya siswa lain masihlah jauh lebih bagus. Aneh....

Suci, jurusan grafis tampil sebagai siswi peraih nilai terbaik, dan Tompel tak dinyana berhasil mewakili jurusan seni rupa; dan wajahnya itu menunjukkan suatu kebanggaan, ia adalah pemenang yang berhasil menyisihkan para kontestan berjumlah enam orang.

Dimas, siswa yang berjasa sebagai produsen kunci jawaban unas, malah tidak berkesempatan naik podium, ia kalah beberapa nilai saja dari Suci. Aku masih ingat ketika mendengar ayahnya berkata,

"kamu kok nggak rangking satu sih, Dim?"

Dimas hanya menjawab perlahan, "nggak tahu juga, yah.." 

Aku bisa merasakan batinnya sedang protes keras, bahwa Tompel yang diberinya jawaban unas malah naik panggung, sedangkan ia hanya berdiri termangu. Bisa dimaklumi karena memang Dimas ada dalam kelas grafis, bersaing nilai dengan Riris dan Suci; sedangkan Tompel hanya bersaing dengan enam anak jurusan seni rupa yang sekedar bisa menghitung jumlah kembalian segelas es teh di warung Bu Suko dengan benar saja sudah berasa menjadi ahli kalkulus macam Wilhelm Leibniz.

Kami semua dikumpulkan dalam perayaan pelepasan itu. Para siswa bersalaman dengan kawan-kawan lain, juga dengan para guru. Kami takkan pernah lupa jasa dan kesabaran mereka selama tiga tahun.
Setelah usai, kami sibuk menandatangani seragam-seragam kami dengan spidol dan pilog. Khas perayaan anak SMA, namun kami tidak mengadakan acara macam konvoi karena sepeda motor kami rata-rata butut dan mudah mogok.

Setelah lulus sekolah, hari-hariku lebih banyak kuisi dengan kegiatan bermusik. Sempat pula aku melanjutkan studi di sastra Indonesia, Unair, kemudian mengajar di beberapa sekolah, seperti Smpk St Vincentius, Smk Trisila, Ponpes Amanatul Ummah sebagai guru teater, menjadi wartawan Surabaya Post, hingga dipasrahi untuk mengelola toko buku milik Unair. 

Selama bertahun-tahun itu aku masih sering bertemu dengan kawan-kawanku semasa SMA, seperti Mahfud dan Tompel yang rumahnya memang dekat dengan rumahku, Krisna jurusan grafis juga beberapa kali berkabar, ia sekarang jadi desainer jempolan. Arif Catur juga kerap main PlayStation di rental depan rumahku, si manis Riris sudah memiliki seorang anak (sekarang dua), dan pernah kutemui di rumahnya, ia tampak semakin manis. Sedikit lebih gemuk dan itu membuatnya terlihat anggun karena semasa SMA dulu ia sangat kurus. Riris juga bekerja sebagai desainer perhiasan di Surabaya.

Kawan-kawan lain seperti Kriswanto, yang sebelumnya tak kuketahui kabarnya, tiba-tiba mengirim pesan singkat dan memberitahu bahwa ia sedang menempuh studi di UNIPA dan sekarang menjadi guru seni rupa.

Suci, sudah menikah dan memiliki seorang anak. Ia kuliah di UNESA, menjadi guru di kota asalnya, Banyuwangi.

Dimas Ari kuliah di UNESA dan kini menjadi guru di almamaternya sendiri, SMSR atau SMKN 11 yang kini menjadi SMKN 12. Sekolah kami dulu.

Mat Pa'i kudengar sedang berada di Jakarta; tak tahulah, kurasa mungkin ia bergabung dengan komunitas penyebar hoax disana.
Soal kejahilan Mat Pa'i, aku masih ingat ketika ia mengompori Heru Kolet, mantan pacar Dina semasa SMA, bahwa aku pernah datang ke rumah Dina di Lawang, Malang, padahal setelah lulus sampai beberapa tahun, aku tak sekalipun mendengar kabar dari Dina. Walhasil, gara-gara dia Kolet menemuiku dan mendesakku untuk mengatakan keberadaan mantannya itu. Akupun jadi bingung saat didesak, karena memang aku tidak tahu sedikitpun tentang keberadaannya. Kolet kecewa karena dikiranya aku tidak jujur, hingga aku tanyakan padanya tentang info itu didapat dari siapa, ternyata memang benar, berasal dari mulut Mat Pa'i, seorang anak yang jadi sumber segala kericuhan.
Aku jadi bertanya-tanya, apakah di seluruh dunia ini hanya Kolet seorang yang percaya dengan Mat Pa'i? 

Dari sekian banyak dampak negatifnya, media sosial nyatanya juga berperan menyambung tali silahturahmi. Setelah beberapa tahun, akun bernama Maleeka Al Tair Megaluna tiba-tiba mengirim inbox, dan ternyata pemilik akun tersebut adalah Dina! Kami saling bertegur sapa ketika itu. Kuketahui ia sudah menikah dan memiliki anak, sekarang tinggal di daerah Lawang, di kota Malang. Sayangnya, pelbagai postingan yang ditulisnya di medsos sebagian besar merupakan keluhan receh dan tumpah menumpah aibnya sendiri. Mulai dari postingan tentang tetangga binal, persoalan ranjang, utang-piutang, ketidakberdayaan yang amat sangat, isak tangis yang menghujam dan lain semacamnya. Satu dari sedikit postingannya yang bisa dinikmati hanyalah ketika ia memposting barang-barang dagangannya.
Namun dari semua itu aku paham, bahwa ia sekedar membutuhkan teman curhat yang baik untuk menumpahkan keruwetan isi kepalanya. Apabila di kemudian hari ia tak juga menemukannya, maka segala keluhannya itu akan tetap tumpah ruah di media sosial, menjadi konsumsi publik dan panggung opera para penyuka gosip.

Mahfud sendiri yang awalnya obsesif terhadap kungfu namun pendiam, sekarang sudah mulai meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia berubah menjadi banyak omong karena jasa Tompel, dimana mereka berdua sama-sama mengajar sebagai guru lukis dan sering berdiskusi bersama. Mahfud sekarang memiliki kekasih yang imut dan ginuk-ginuk, mau menikah, serta sibuk berkarya sambil mengasuh keponakan yang nakalnya luar biasa.

Hariono kudengar dari kawan-kawan, ia membantu usaha kakaknya sebagai penghias karangan bunga di daerah Kayun, Surabaya.
Pernah suatu kali Hariono mengirimkan pesan singkat:

"Guruhakumaupmrantungalayoruhikutanpmrantungal"

Terjemahan:

"Guruh, aku mau pameran tunggal. Ayo Ruh, ikutan pameran tunggal".

Har, yang namanya pameran tunggal itu tidak bersama-sama, namun hanya seorang saja; begitu balasan smsku, dan setelah itu ia tak pernah membalasnya lagi. Nomornyapun juga sudah tidak aktif.

Imam tak pernah kudengar kabarnya. Hanyalah kabar tentang kepindahannya ke Porong, sesaat sebelum drop out dari sekolah, dan Porong sekarang merupakan daerah yang terdampak lumpur Lapindo.

Paulus sekarang giat berkarya dan menjadi seniman tattoo terkemuka di Bali. Customernya berasal dari dalam dan luar negeri. 

Ketika aku jadi wartawan, aku pernah meliput Paulus, dan profilnya itu dimuat dalam satu halaman besar di Surabaya Post.

Yoppy 'Semprong' benar-benar menjadi seniman tulen. Ia kebanjiran order melukis. Puluhan kafe dan restoran, bahkan ratusan customer pernah memakai jasanya. Karya raksasanya sempat viral, dipakai para bonek Persebaya dan pernah diliput televisi nasional. Agaknya ia jadi ikon seniman bonek pula.

Anak-anak grafis, tekstil dan jurusan lainnya kerap kusapa di media sosial. Mereka hidup dengan bahagia, berkeluarga, serta membuatku berpikir bahwa waktu dimana kami SMA dulu walaupun sudah lama berlalu namun rasanya sangat cepat, hingga tersadar bahwa kami sekarang sudah dalam keadaan kawin-mawin beranak-pinak.

Tompel? Ia tak henti-hentinya mengingatkan kepada siapa saja bahwa ia dulu adalah sosok yang paling berjasa memberikan contekan Unas. Selalu itu yang dikatakannya dari tahun ke tahun, dari zaman ke zaman, hingga punya istri dan seorang anak.
Pernah pula ketika aku datang ke rumahnya bersama anak dan istriku untuk menjenguk anaknya yang baru lahir, ia datang menemuiku, dan di ruang tamu sambil menimang anak bayinya, ia berkoar,

"Ini lho nak, teman bapak. Dulu waktu Unas, Bapak yang ngasih contekan..."

Bayangkan, bayi sekecil itu perlu tahu apa tentang Unas bapaknya??
Karena kebiasaannya itu aku jadi membayangkan begini:

Bertahun-tahun kemudian, Tompel yang sudah sangat tua dan sakit-sakitan, tergeletak di ranjang dan berpesan agar anak cucunya mengumpulkan seluruh kawannya semasa SMA.
Usulannya dipenuhi. Kami mengelilingi ranjang Tompel dan mendengar pesan terakhirnya.
Dengan bibirnya yang bergetar dan suaranya yang parau, ia berkata kepada kami:

"Rek, eling.... Rek... aku... dulu... yang.. mem.. beri.. kan.. kalian... coon.. tee... kaan.. un.. ass..."

Tompelpun menghembuskan nafas terakhirnya. Kami, kawan-kawannya semasa SMA yang juga telah tua-tua, sekalipun jengkel, namun kami tetap bersedia untuk bahu-membahu membantu proses pemakamannya.

Setelah kematiannya, arwah Tompel melayang-layang di udara, kemudian dihadang oleh seorang malaikat. Malaikat itu berkata kepada Tompel.

"Berhenti kau, kisanak! Aku membawakanmu kabar baik dan kabar buruk!"

Arwah Tompel terkejut namun tidak berani bertanya lebih jauh. Malaikat itu melanjutkan,

"Kabar baiknya, Tuhan telah memutuskan bahwa tempatmu adalah di surga!"

Mendengarnya, arwah Tompel girang bukan kepalang. Ia akhirnya bertanya,

"Wahai Malaikat, mengapa aku ditempatkan di surga?"

"Itu karena jasa-jasamu memberikan contekan Unas pada teman-teman sekelasmu!"

Tompel kembali girang. Arwahnya tertawa-tawa dan salto kesana-kemari.

"Tunggu, masih ada kabar buruk untukmu!"

Tompel terkejut. "Bagaimana kabar buruknya, wahai Malaikat?"

"Kabar buruknya, keputusan itu dibatalkan karena selama hidup kau terlalu sering mengungkitnya".

---

Itulah kisah tentang kenangan kami yang menjejal di benak dan terlontar dalam tiap kalimat.
Masa SMA adalah sebuah masa dimana ingatan tentangnya begitu memenuhi ruang memori dalam pikiran.
Bahkan, meskipun kami jarang bersua dalam bingkai pertemuan, kami masih dapat memaknai warna-warni kenangan.

2005 juga bukanlah masa dimana kami menyatakan perpisahan, melainkan sebuah masa yang menuntun kami untuk merajut perjumpaan dalam wajahnya yang sama sekali baru. 

Kamipun yakin bahwa cerita kami, alumni SMKN 11 Surabaya (SMSR) angkatan 2005, takkan pernah....


Tamat.


Theme song video: Naif - Hidup itu Indah.

Thursday, January 3, 2019

Ujian Nasional : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 18)




L' Aurora by Salvador Dali

Episode 18 : Ujian Nasional

Ujian Nasional pada masa itu adalah momok menakutkan bagi para pelajar. Bayangkan, tiga tahun menuntut ilmu harus dipertaruhkan dalam waktu tiga hari saja. Jika sampai tidak lulus, sia-sialah upaya sekolah selama tiga tahun itu. Apalagi, nilai minimal Unas pada tahun 2005 adalah 6. Jika nilai yang didapat dibawah 6 maka siswa akan tidak diluluskan. Tidak lulus sama artinya dengan ikut remidi. Jika tetap gagal, maka akan dikeluarkan dari sekolah. Tamatlah sudah.

Setelah mengikuti berbagai ujian praktek, kami mendatangi Dimaz Ari, Riris dan Suci yang selama tiga tahun ini berperan menjadi narasumber pemasok kunci jawaban soal-soal ulangan. Kami semua meminta mereka untuk tetap menjalankan perannya saat Unas nanti.

"Eling Ris, Dim, Ci, awak dewe seduluran lho yo...," Pinta kami serempak. Mereka bertiga mengiyakan.

Hari-H ujian nasionalpun tiba. Kami bersyukur bahwa anak jurusan seni rupa ditempatkan satu kelas dengan anak grafis, namun kabar buruknya, Suci ditempatkan di kelas sebelah, duduk bersama anak-anak jurusan T.I. Walhasil, kami sekelas hanya mengandalkan Dimas Ari dan Riris demi kelangsungan hidup kami di sekolah itu.

Posisi dudukku cukup menguntungkan. Aku ada di bangku ketiga pada baris ketiga. Tiga anak di depanku, ada Dina, Tompel dan Dimas, sedangkan persis dibelakangku adalah... Hariono (hanya dia yang merepotkan). Riris ada di bangku paling belakang di baris pertama. Dua bangku di sebelahku. Jadi aku bisa menoleh ke depan dan ke samping kiri ketika sedang membutuhkan kunci jawaban.

Tompel duduk dalam posisi paling mujur karena ia berada tepat dibelakang Dimas. Ia berperan menerima supplai jawaban darinya dan menyalurkannya ke kawan-kawannya di belakang. Cukup menguntungkan karena Tompel berani tampil dengan suara keras dan gesture yang komunikatif sehingga kawan-kawan paham semua kunci jawaban yang diterimanya dari Dimas. Sedangkan Dimas sendiri tidak pernah kami ganggu karena ia selayaknya tenggelam dalam pikiran-pikiran cemerlangnya untuk mengurai soal dan menemukan jawaban. Ia kulihat hanya setengah berbisik kepada Tompel saat sudah menemukan jawabannya.

Riris di belakang, ternyata juga bergantung pada jawaban Dimas. Ia mulanya mengerjakan sendiri soal-soalnya, namun ternyata ia malah menghapus jawabannya ketika jawabannya itu tidak sesuai dengan jawaban Dimas.

"Riris, nomor duapuluhenam jawabannya apa?," Aku tanya padanya.

"B".

Akupun melingkari opsi 'B' pada lembar jawabanku.
Tidak lama, Tompel memberitahukan jawaban nomor duapuluhenam yang diterimanya dari Dimas, yaitu 'D'.

"Riris, jawabannya Dimas kok 'D'?"

Gadis manis itu tampak mengernyitkan dahi lalu bertanya padaku,

"Apa? Apa jawaban Dimas?"

"D"

Riris lalu menatap soalnya sendiri dan tiba-tiba saja menghapus jawabannya. Jadinya aku juga menghapus jawabanku yang semula ikut apa kata Riris. Rupanya Riris lebih percaya pada jawaban yang diberikan oleh Dimas. Aku jadi menggaruk-garuk kepalaku dan merubah fokus kearah Dimas.
Semua anak menggantungkan nasibnya pada Dimas yang dikomunikasikan oleh Tompel. Sesekali ia memperlihatkan telunjuknya, tanda jawaban 'A', atau dua jari sebagai 'B', tiga jari sebagai 'C' dan seterusnya. Tiga hari itu kami mengikuti ujian dengan metode yang sama, mirip seperti alur perdagangan bisnis: Dimas (produsen) - Tompel (distributor+konsumen) - Teman Sekelas (konsumen).

Hari ketiga adalah hari yang paling riuh karena kami mengerjakan mapel unas tersulit yang aku sendiri bahkan bersumpah tidak akan membuka soal itu sama sekali. Menurutku, membuka soal adalah tindakan percuma karena sekalipun dibuka dan dibaca, aku tetap tidak paham isi dan jawabannya. Itulah matematika, mata pelajaran paling horor sepanjang masa.

"Yang mau nyontek silahkan nyontek, tapi jangan rame-rame," ujar pengawas
ruangan. Mungkin beliau paham tentang momok unas dan konsekuensi yang diterima siswa apabila sampai tidak lulus.

Tiga hari mendebarkan itupun telah kami lewati bersama. Selang beberapa hari kemudian pengumuman telah tertempel di mading sekolah. Semua siswa lulus ujian! Hanya menyisakan seorang siswa dari jurusan logam. Diantara sekian banyak siswa, hanya satu siswa itu yang tidak lulus.

Kami menyambut pengumuman itu dengan riang gembira. Tompel dari belakang datang dan melihat namanya masuk dalam daftar siswa yang lulus ujian.
Iapun menepuk-nepuk dadanya dan berlagak pongah sambil menunjuk ke arah kawan-kawannya.

"Hei, ingatlah kalian semua, ini aku, Bagus Pribadi alias Tompel yang telah berjasa memberikan contekan kepada kalian semua!!!"
Perkataan yang terus menerus diucapkannya dari tahun ke tahun, setiap bertemu siapapun, bahkan tetap diucapkannya sampai ia telah beranak-pinak.


To be continued...

Pameran Telah Tiba : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 17)

SMSR 2005


SMKN 11 Episode 17 : Pameran Telah Tiba


Di jaman sekarang ini seorang pelukis dapat menerima legitimasinya sebagai pelukis apabila ia pernah pameran; tak jadi soal apakah ia benar-benar mampu melukis atau tidak, yang penting pernah pameran.

Maka walaupun kami bertujuh masih pelajar, juga meskipun wawasan serta kemampuan melukis kami dibawah rata-rata, kami sudah bisa dilegitimasi sebagai pelukis setelah kami mengikuti pameran di bulan April esok. Apakah ke depan kami akan mempertahankan identitas kepelukisan itu, jawabannya adalah kembali kepada individu masing-masing.


Salah seorang siswa anggota OSIS memaklumatkan hasil rapat yang telah diselenggarakan bersama para dewan guru, bahwa tema besar pameran SMKN 11 adalah 'Variety in Unity' karena dalam pameran itu kami memajang berbagai karya dari berbagai genre dan jenis dari tiap jurusan yang berbeda-beda, serta dipamerkan dalam naungan nama sekolah: SMKN 11 Surabaya.

03 April 2005, malam sehari sebelum pameran kami berkumpul di gedung Cak Durasim, Taman Budaya, Surabaya. Kami menunggu kedatangan truk yang mengangkut karya-karya kami sembari menyeruput segelas teh hangat di warkop emperan setempat. Sekitar pukul 20.00, truk itu tiba. Kami beramai-ramai menghampiri truk tersebut dan mengusung karya masing-masing ke dalam ruang pamer.

Satu persatu siswa menuliskan judul karyanya di kertas label untuk ditempel di bagian bawah lukisan. Aku menulis judul karyaku 'Impossible Creature', Kriswanto menulis judulnya 'Pemandangan Laut', Pa'i memasang karyanya berupa kumpulan figur totem yang bernuansa dekoratif, tapi aku lupa judulnya. Tompel memasang karyanya dengan dibantu oleh beberapa anak, karena memang karyanya itu bobotnya cukup berat. Hariono belum sempat memasang karyanya karena kesulitan untuk menulis. Akhirnya ia kubantu untuk menulis judul lukisannya pada label yang telah disediakan. Beberapa hari lalu ketika Hariono ditanya judul karyanya oleh panitia pameran, ia bingung dan hanya menggeleng. Maka saat itu aku pula yang memberikan judul pada lukisannya itu: 'Di Depan Baiturrahman Aku Berpasrah'. Sama seperti ia yang pasrah saja soal judul yang kuberikan.

Ada satu lukisan, yaitu sebuah lukisan abstrak figuratif yang telah kami rampungkan pemasangannya terlebih dahulu. Pelukisnya tidak dapat turut serta karena sudah beberapa bulan ini ia meninggalkan kami. Lukisan itu milik almarhum Yohanes Lema yang walaupun belum selesai, kami tetap memasangnya sebagai penghormatan terakhir.

Pak Farid dan Pak Khusnul saat itu mengajarkan tentang tata letak karya di ruang pamer, serta penataan lighting. Kami mendapat banyak ilmu dari beliau berdua. Setelah pemberian wawasan itu usai, kami menerima bentuk katalog pameran yang sampulnya berwarna pink, dimana di dalamnya berisi lembaran-lembaran hitam putih, lengkap dengan foto siswa dan karyanya. Di bagian bawah sampul, ada logo McDonald's. Restoran cepat saji itu menjadi sponsor pameran.

"Lho, kok ada tulisannya McD?," tanya Hariono.

"Itu namanya sponsor, Har," Krisna menimpali.

Mendengar keterangan Krisna, Hariono hanya manggut-manggut dan langsung bergegas pulang dengan sepeda bututnya, tanpa peduli nasib karyanya yang masih tergeletak belum sempat dipasang. Maka kami yang akhirnya memasangnya. Kami tidak tahu mengapa Hariono tiba-tiba pulang. Mungkin ia sedang merencanakan sesuatu, dan kami tak ambil pusing. Kami memaklumi semua yang dilakukan Hariono, asal anak itu tidak makan beling, paku, kawat dan benda-benda tajam lainnya.

Anak yang paling rajin dalam memasang dan menata karya adalah Mukhlis dari jurusan desain grafis. Ia sangat aktif, sedangkan kami malah menyibukkan diri dengan foto bersama. Sampai sekarang foto itu masih ada dan hanya itu foto satu-satunya yang jadi kenangan buat kami bertujuh. Cekrik, cekrik, cekrik..
Semua karya telah terpasang dengan baik dan malam itu kami pulang ke rumah masing-masing. Esok paginya, 4 April 2005, hari-H pameranpun berlangsung. Setelah sambutan-sambutan selesai diucapkan oleh Kepala Sekolah dan perwakilan instansi-instansi terkait, para pengunjung dan para siswa memadati ruang pamer. Karya kami dilihat banyak orang dan agaknya membuat kami kikuk juga karena saat itu adalah saat dimana kami pertama kali pameran diluar sekolah. Tapi semenjak tadi kami tidak melihat Hariono. Kenapa ia tidak datang?

Tak dinyana, sebelum sempat kami membicarakan absennya Hariono, dari luar gedung, di jalan Genteng Kali, anak itu terlihat dengan topi khasnya dan tentu saja sepeda bututnya. Ia memakai kaos olahraga sekolah dan celana pramuka. Setelah meletakkan sepedanya di parkiran, ia menghampiri kami dan betapa semua orang dibuat terkejut ketika ia memutar badannya, kemudian memunggungi semua orang yang ada disitu. Ia bermaksud memperlihatkan gambar di bagian belakang kaosnya. Rupanya, semalam suntuk ia menggambar kaos olahraganya itu, memberinya logo serta tulisan:

Di Sepongsori oleh
MCD

Logo McD dilukisnya besar-besar di belakang kaosnya. Diatas logo ia tuliskan dengan spidol: 'Di Sepongsori oleh'.

Astaga, Har.. untuk apa pula kau bersusah-payah menulis itu semua.. tulisannya salah pula.. tak pelak, Hariono adalah pemancing tawa yang manjur untuk meredakan kekikukan kami di siang itu.

Malam hari 05 April 2005 adalah saat dimana para siswa mempresentasikan karyanya di depan penguji. Jurusan seni rupa sendiri pengujinya ada dua, yaitu Pak Thalib Prasadja dan Pak Farid Ma'ruf. Beberapa anak keluar dari ruang pengujian dengan wajah kusut. Aku berdebar pula saat tiba giliranku masuk ruang itu. Ketika masuk, aku melihat kedua penguji memasang mimik serius, seakan hendak menjadikanku sebagai samsak tinju; namun aku sudah menyiapkan argumentasiku.

"Guruh, karya apa ini?," tanya Pak Thalib.

"Dekoratif, Pak. Saya menampilkan figur-figur hewan yang penuh dengan motif ornamen, dan pewarnaan sedikit gelap, juga sentuhan-sentuhan aksentuasi sebagai komposisi untuk memperkuat tiga hewan sebagai fokus obyek karya saya"

"Apa sih dekoratif itu?"

"Dekoratif itu sebuah lukisan yang memiliki pola tertentu, seperti ornamen, juga kecenderungan distorsi yang meliputi stilisasi, elongasi dan deformasi, lalu ritme pewarnaan untuk menunjang bentuk dan fungsinya sebagai sarana penghias ruangan,"
Aku bisa menjawab begitu karena seminggu sebelum pameran, aku membeli buku 'seni rupa untuk SMA' yang didalamnya ada pengertian seni dekoratif. Aku mati-matian menghafalkannya.

"Lalu kenapa kamu melukis seperti ini?," Tanya Pak Farid.

"Saya mencoba mengeksplorasi bentuk-bentuk ornamen untuk mewujudkan figur tiga hewan ini, Pak; di samping itu saya berusaha menemukan karakter lukisan saya. Kalau sekiranya ini mendapat nilai lebih, maka ke depan saya akan mengembangkannya dalam bentuk dan pemaknaan yang akan saya gali lebih dalam".

Aku membatin: Tolonglah, Pak, selanjutnya jangan susah-susah pertanyaannya.. ini sudah tumpahan hafalan saya yang terakhir...

"Lalu judulnya kok 'Impossible Creature', kenapa?"

"Creature itu mahluk, Impossible itu ketidakmungkinan. Jadi mahluk dalam lukisan saya itu adalah 'Impossible Creature', mahluk yang tidak mungkin ada dan hanya rekaan saya semata."

"Wah, omong kosong! Kamu bilang mahlukmu ini tidak ada?? lha ini ada kok!," Sergah Pak Thalib sambil menunjuk tiga hewan lukisanku itu.

"Ya nggak ada dong pak, masa Bapak pernah melihat hewan semacam itu berkeliaran?"

" 'Ada' itu tidak harus berkeliaran, tapi dengan obyekmu ini sudah menunjukkan bahwa mahlukmu itu 'ada' " kata Pak Farid.

"Hewannya cuma ada dalam lukisan ini saja kan pak?"

"Maka tidak tepat jika kamu memberinya judul 'Impossible' karena apa yang kamu sebut ketidakmungkinan itu sudah kamu wujudkan dalam lukisanmu. Jika apa yang sudah berhasil diwujudkan dalam lukisan tapi kamu tetap menyebutnya sebagai ketidakmungkinan, maka kamu sama saja tidak mempercayai karyamu sendiri!"

"Anu, begini, Pak Farid...."

"Apa lagi yang mau kamu omongkan?," ucap Pak Farid dengan ketus.
Pak Farid benar-benar membuatku KO.

Pak Thalib tersenyum sinis sembari menopang dagunya. Aku seperti ada dalam panggung pencarian bakat, dan sedang dibantai oleh dua juri senior.
Aku juga sedikit menyesal bahwa selama tiga tahun aku mengenal Dina, aku lupa belajar padanya tentang bagaimana cara pingsan saat dicecar pertanyaan. Jadinya aku hanya diam, termangu dan merasa kalah....

"Ya sudah, sana keluar. Orang nggak yakin sama lukisannya sendiri gitu kok," kata Pak Thalib.

Okelah.. aku kalah.. akupun melangkah keluar dengan tertunduk pilu. Mereka berdua telah sukses mencabik-cabik argumentasiku. Belum sampai aku di ujung pintu ruangan...

"Guruh, kembali kesini sebentar..," Pak Farid memanggilku.

Aku menoleh dan sebelum aku melangkah kearah beliau, pria berkumis dan berkacamata tebal itu menghampiriku, mengembangkan senyumnya dan menggenggam tanganku.

"Selamat, kamu siswa yang dapat Pratita tahun ini...."

Mendengar itu aku hanya terpana dengan mulut menganga. Seperti yang kujelaskan di episode sebelumnya, Pratita Adi Karya adalah penghargaan atas pencapaian tertinggi siswa di tiap jurusan, dan di jurusan seni rupa, kata Pak Farid, piagam itu diberikan untukku.

Saat itu aku masih tak percaya. Jangan-jangan Pak Farid ini guyon? Sebab selama sekolah, kualitas gambarku sangat buruk, dan dibanding kawan-kawan yang lain, aku masih jauh tertinggal. Kepantasan atas Pratita Adi Karya harusnya ada di tangan salah satu dari mereka, bukan aku.

"Alasannya, karyamu cukup unik, kamu memasukkan kumpulan motif ornamen yang begitu riuh, lalu kamu mampu memadu-padankannya hingga membentuk citraan tertentu," ujar Pak Thalib.

Aku masih tenggelam dalam ketidakpercayaanku sampai tersadar ketika Pak Farid melepas genggamannya kemudian menepuk-nepuk pipiku.

"Sudah sana. Selanjutnya belajar lagi ya...".

Aku keluar ruangan dengan sumringah, persis seperti kontestan Indonesian Idol yang mendapat golden ticket. Bedanya, teman-teman diluar ruangan tidak menyambutku dengan gembira karena ternyata mereka sibuk ngopi di warung emperan. Akupun menghampiri mereka dan larut dalam perbincangan-perbincangan santai, lebih ke arah obrolan tentang bagaimana kami semua masih terkenang dengan sosok Yohanes Lema.
06 April 2005, hari terakhir pameran. Para siswa sibuk mencopoti karya-karyanya, dan dengan truk yang sama karya-karya kami dibawa kembali ke sekolah. 

Pameran Tugas Akhir telah usai. Kamipun bersiap menjemput ujian nasional yang tinggal satu bulan lagi. Ujian nasional adalah sebuah pertaruhan dimana proses belajar kami selama tiga tahun akan diuji dalam waktu tiga hari.



To be continued....