Saturday, December 29, 2018

Dari Limabelas Hingga Tujuh : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 16)

Seven Sister by James Roderick


 Episode 16 : Dari Limabelas hingga Tujuh

Teka-teki yang sulit dipecahkan di dunia ini menurutku hanya ada tiga, yaitu: takdir, wanita dan SMSR. Siapa yang menyangka bila saat awal masuk sekolah, kelas kami diisi oleh limabelas anak, lalu mrotoli satu demi satu, hingga naik ke kelas dua, tinggal sepuluh, mrotoli lagi tinggal sembilan, kemudian Yohanes Lema meninggal dan akhirnya di kelas tiga ini kami hanya tinggal berdelapan.

Siapa juga yang menyangka para siswa ahli lukis seperti Yoppy Semprong, Paulus, dan kakak kelas kami seperti Fatkur Hartono dan lain-lain tidak lagi ada di kelas ini. Sebenarnya kemampuan mereka cukup bagus, namun dunia akademis mungkin bukan tempat mereka untuk mengembangkan bakatnya, karena bakat mereka tumbuh oleh tempaan lingkungan dan minat yang tinggi; berbeda dengan kami yang sekedar bisa mencampur warna saja rasanya perlu syukuran tujuh hari tujuh malam.

Di kelas tiga ini kami melakukan proses penyelesaian tugas akhir. Para guru membebaskan kami untuk membuat lukisan dengan tema dan media apapun. Aku mulai berbelanja cat akrilik untuk karyaku. Beberapa aku beli di toko cat yang ada di depan kuburan siwalankerto yang penjualnya terkenal ramah dan sering memberi harga murah; asal siswa yang membeli di toko itu datang dengan memasang wajah melas. Beberapa cat lainnya serta kuas berbagai macam ukuran aku beli di sebuah toko lukis di daerah Pandegiling, Surabaya.

Untuk kanvas, aku kerap mengajak Dina dan Pa'i untuk survey harga termurah. Akhirnya aku mendapatkan kanvas yang cocok, kubeli di daerah Pakis, Surabaya, dan saat itu kubawa ke sekolah sambil berboncengan dengan Mat Pa'i. Saat kubawa ke sekolah, aku dan Pa'i sempat tabrakan dengan sesama pengendara sepeda motor di daerah Karah gara-gara Mat Pa'i sok-sokan bermanuver ala pembalap profesional, padahal memindah persneling saja masih kelabakan.

Siang itu kami sibuk mengaduk adonan kalsium, semen putih dan lem rajawali untuk kami pakai sebagai tekstur kanvas. Paling berat adalah medium milik Tompel. Ia memakai triplek cukup besar, kemudian melaburinya dengan adonan cukup padat dan tebal, sehingga teksturnya sangat kasar dan terlihat menyembul bermunculan. Aku kira ia akan menggambar kobaran api neraka dengan karakter ekspressifnya, namun penonton kecewa ketika ia mulai mengguratkan sketsa seekor ikan piranha.

Setelah adonan kering, aku mulai menggambar tiga ekor 'Slinky Dog' yang aku rencanakan bergaya dekoratif. Main aman sajalah, yang penting tugas akhir selesai, pikirku. 

Hariono kuperhatikan membuat dua lukisan realis. Salah satunya adalah figur Siti Nurhaliza, satunya lagi ia menggambar sebuah masjid dengan seorang perempuan duduk di halaman masjid itu; sedang di kanan-kirinya penuh dengan reruntuhan. Ia bercerita, katanya ada sekumpulan air laut yang bisa memanjat gedung tinggi, lalu menenggelamkan daratan. 

"Airnya itu datang dari laut, terus bisa manjat gedung terus lari lagi ke bawah. Semuanya tenggelam, semuanya rusak, kecuali sebuah masjid berwarna putih. Lha ini masjidnya...," Tutur Hariono sambil menunjuk citraan masjid dalam lukisannya. 

"Oh, itu bencana Tsunami, Har!"

"Iya, iya, Ruh.. suami! suami! Lautnya suami!"

"Tsunami, Har, bukan suami!!"

"Iyaa.. itu.. itu.. Indonesia kemarin tenggelam karena air laut suami itu.."

"Tsunami Har!! Tenggelamnya tahun lalu, bukan tahun Ini," kataku. 

Saat pembicaraan kami terjadi, angka tahun menunjukkan awal tahun 2005, dan tsunami Aceh, seperti yang dimaksud oleh Hariono, terjadinya setahun lalu, tepatnya tahun 2004, dan memang masjid Baiturrahman, seperti yang dicitrakan Hariono dalam lukisannya adalah sebuah bangunan yang tidak tersentuh tsunami sedikitpun. Benarlah kata para psikolog, bahwa anak berkebutuhan khusus seperti Hariono jika dibimbing untuk menekuni hal yang disukainya, maka ia akan fokus dengan hal tersebut. Maka tidak heran bila seorang Hariono yang selama ini dikiranya hanya bisa berpikir tentang Siti Nurhaliza, ternyata bisa juga memikirkan bagaimana para korban selamat dari bencana tsunami Aceh mengucapkan syukur dan dzikir, karena Tuhan telah menjaga keselamatan jiwa, dan tempat ibadah mereka. Walaupun Hariono sangat sulit untuk mengungkapkannya secara lisan, namun ia mampu mengungkapkannya lewat lukisan. Pada periode itu secara disadari atau tidak, Hariono telah menyibak kebenaran dari sebuah quote sastrawan Pramoedya Ananta Toer, bahwa lukisan sejatinya adalah sebuah ungkapan sastra dalam warna-warna. Luar biasa, bukan?

Mat Pa'i kuperhatikan belum berbuat apapun. Ia masih membayangkan dan mengira-ngira akan melukis apa nantinya. Aku dan Tompel pernah ke rumahnya dan ia bercerita kalau akan membuat tugas akhir berupa sketsa. Mendengar itu Tompel murka, karena dalam anggapannya, siswa lain susah-susah melukis dengan kanvas dan cat, Pa'i hanya sekedar membuat sketsa, padahal goresan sketsanya juga tidak terlalu baik, bahkan Pak Khusnul pernah menganggap bahwa sketsa figur manusia karya Mat Pa'i tampak seperti ondel-ondel karena jauh dari proporsi anatomis.

Mahfud si penggila kungfu itu melukis sebuah rumah mewah berlantai dua yang terlihat megah dengan pilar-pilarnya. Di halaman bangunan itu berserakan harta benda pemilik rumah beserta mobil mewah yang terparkir begitu saja. Pemilik rumah digambarkannya sedang tepekur dan melamun.
"Ini judulnya 'Bosan dengan Kehidupan'," begitu katanya. Entahlah, mungkin ia baru saja terinspirasi oleh Siddharta Gautama yang meninggalkan segala kehidupan duniawinya. Aku sekedar menebak, bahwa Mahfud akan menjadi biksu selepas ia lulus SMA.

Kriswanto melukis pemandangan laut yang penuh dengan warna-warna semarak. Karyanya bernuansa dekoratif.
Maka ada dua pelukis ikan di kelas kami, yaitu Kriswanto dan Tompel. Persamaannya, kedua lukisan mereka cukup ringan untuk dicerna, dan bedanya, Tompel lebih berbobot dalam hal bobot. Media papan kayu tebal dengan tekstur keras dan padat, perlu dua-tiga anak untuk mengangkatnya.

Dina melukis figur seorang wanita sedang membawa keranjang berisi bunga-bunga. Ia kadang memakai cat minyak, akrilik, pensil warna, pokoknya segala macam pewarnaan dicobanya. Sosok wanita dalam lukisan Dina itu bersanggul, memakai kemben dan setangkup melati terselip di telinganya. Tangan kanan wanita pada lukisan itu terlihat sedang memegang sekuntum mawar, dan tampaknya figur itu sedang menikmati keindahan mawar yang dipegangnya. Aku hanya membayangkan dengan konyol, jika saja lukisan itu bergerak dan menjadi sebuah film, maka wanita itu akan sibuk mencabuti kelopak demi kelopak mawar yang dipegangnya, dan di tiap helainya ia memetiknya sambil berkata,
"semaput-tidak-semaput-tidak-semaput-tidak".

Pak Thalib Prasadja pernah melihat lukisan Dina dan memberi komentar positif. Beliau lalu mengambil papan dan membuat sketsa tentang wajah Dina yang selesai dalam beberapa menit. Sketsa itu diserahkan padanya, dan bodohnya, di kemudian hari Dina menghilangkannya, padahal sketsa itu dibuat oleh Pak Thalib sendiri, sang maestro sketsa Surabaya.

Aku tetap berkutat pada tiga ekor Slinky Dog. Hanya Pak Farid yang melihat lukisanku lalu menepuk punggungku dengan mata berbinar. Itu membuatku jadi cukup percaya diri, sampai ketika seorang pelukis bernama Beng Herman datang dan melihat karya anak-anak. Pelukis itu memang kerap ke sekolah, karena anak perempuannya bersekolah di SMSR dan menjadi adik kelas kami. Ketika ia datang, aku dengan percaya diri bertanya kepada beliau,

"Pak, gimana lukisan saya?"

"Hmmm.. you masih kurang..."

"Kurang apa, Pak? Kurang cerah? Komposisinya kurang bagus, atau kurang apa?"

"Kurang sering melukis"

Gubrak!!!!!
Gaya Pak Beng yang ceplas-ceplos membawaku terjun bebas menuju palung ketidakpedean yang paling dalam.

Imam Machmudi? Sayangnya Imam memutuskan keluar dari SMSR beberapa bulan sebelum ujian nasional. Alasannya tidak kami ketahui, namun ia pernah mengatakan bahwa lingkungan tempat tinggalnya begitu kacau dan ia mau pindah rumah ke Porong untuk mencari ketenangan. Maka dari itu ia memutuskan drop out dari sekolah (sampai saat ini aku masih bingung, mengapa mencari ketenangan saja harus drop out dari sekolah?), lalu pindah rumah demi mendapatkan kedamaian di Porong, Sidoarjo.. sebuah desa yang beberapa tahun kemudian terdampak bencana lumpur Lapindo.

Anak-anak grafis? Dimaz Ari sibuk membuat komik, Fajar membuat poster tentang anak-anak kecil, Agung dan Kokok membuat poster tentang hutan, Arif Catur membuat poster berlogo 'Skakley' -mungkin diambil dari plesetan namanya: 'catur'/'skak'- dan desain papan selancar yang cukup besar; Krisna membuat gambar yang ditempelkan pada papan melengkung, Suci Fita membuat desain poster tentang burung merpati yang sedang mengembangkan sayap, dan Riris membuat poster tentang pentingnya ASI. Ah, mereka berdua memang lengkap, satunya cinta damai, satunya lagi keibuan...
Rencananya karya kami akan dipamerkan di sebuah gedung kesenian di Surabaya. Bulan-bulan ini membuat kami begitu sibuk, apalagi setelah pameran selesai, kami harus menghadapi Ujian Nasional.

Aku melihat ke arah kawan-kawanku yang sedang sibuk itu, lalu kulihat di sudut studio lukis: tergeletak menyendiri sebuah karya yang belum paripurna tetapi sudah ditinggal oleh pemiliknya; sebuah lukisan abstrak figuratif dengan simbol lingkaran dan goresan garis-garis. Lukisan yang sekiranya dapat aku tafsirkan sebagai perwujudan antara 'ada' dan 'tidak', juga antara luapan emosi dan pengendalian diri; sebuah lukisan milik kawan kami, almarhum Yohanes Gregorius Lema. Karyanya yang belum selesai serta keceriaan anak itu masih tertinggal di ruang ini.
Bagaimanapun, ia adalah bagian dari teka-teki selama tiga tahun perjalanan panjang.

Kini, tinggal hanya kami yang sedang meniti langkah dan sesekali terbang terbawa angin.
Angin yang menghembus kenangan: dari limabelas hingga tujuh.


To be continued...

Wednesday, December 19, 2018

Selamat Jalan Kawan : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 15)

They Feed The Earth by Joshua Flint


Episode 15 : Selamat Jalan, Kawan

Bumi ini bukan bulat atau datar, melainkan berbentuk seperti panci diatas kobaran api. Kota Surabaya berada tepat dipantat panci bumi dan pagi ini Tuhan kembali memanaskan nyala apinya.
Kami kegerahan, padahal hari itu kami harus mengikuti upacara bendera.

Saat upacara berlangsung sesekali kami mengibaskan tangan kearah wajah karena saking gerahnya. Hanya Mahfud yang terlihat tegar berdiri di depan. Sun Go Kong saja kuat ketika ia dikurung dan dibakar dalam nyala api kahyangan, masa aku tidak? Begitu kira-kira isi pikirannya.

Sebelum pembina upacara menyampaikan pidatonya, perlahan-lahan doa kami dijawab. Segumpal awan mendung kecil datang dan menutupi separuh matahari. Eureka! Kami cukup lega. Awan mendung itu setidaknya menjadi penolong untuk sesaat, dan kami tak pernah mau memikirkan bagaimana mulanya segumpal awan mendung itu tiba-tiba datang, darimana asalnya, atau mengapa segumpal mendung itu sampai terpisah dari kumpulannya dan lain-lain, ah, yang penting terik itu sejenak sirna.

Pak Jito, pembina upacara tampak menuju kepala mikrophone. Ia akan memberi pidato sepatah dua patah kata.
Jangan lama-lama, Pak... Takutnya cuaca jadi panas lagi..

"Berita Duka....," Begitu pembukaan pidatonya. Satu sekolah tersentak, begitupula kami, delapan siswa jurusan seni rupa.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun.. telah meninggal dunia kawan kita, siswa dari jurusan...."

Aku dan kawan-kawan terkejut dan menoleh kanan-kiri. Siapa yang meninggal? Aku melihat barisan jurusan logam, tidak lengkap, kayu, lengkap, jurusan mesin, ada beberapa anak tidak terlihat, grafis juga begitu. Jurusan tekstil terlihat lengkap. Berita duka dari anak jurusan apa, Pak Jito?

"Seni Rupa..."

Barisan kami seperti tersambar petir. Seluruh barisan dari berbagai jurusan tampak kaget pula dan melihat kearah barisan kami.
Mereka semua menerka-nerka siapa yang tidak ada dalam barisan kami?
Tapi siapa Pak Jito?? siapa???

"Karena sakitnya, pagi ini kawan kita telah meninggalkan kita semua. Duka sedalam-dalamnya dan segala doa kita panjatkan untuk saudara kita....

Yohanes Gregorius Lema...."

Kami berteriak secara serempak, seakan tak percaya... Pak Jito, Bapak tidak bercanda kan Pak??
Kami saling bertanya-tanya karena masih tidak percaya. Dina terduduk di lantai sekolah sambil menutup kedua matanya. Aku tahu iapun tak percaya. Tak ada seorangpun yang percaya.

Cuaca menjadi terik kembali. Segumpal awan mendung yang terpisah dari kumpulannya itu bergerak meninggalkan matahari.

Seusai upacara, kami berdelapan bersama anak grafis yang lain terduduk di dalam kelas tanpa suara. Hening. Kami masih tak percaya bahwa Yohanes Lema meninggal, sedangkan beberapa hari yang lalu ia masih terlihat tertawa-tawa bersama Kriswanto di depan ruang airbrush, kemudian sibuk menggoda Dina dan memintanya uang limaratus, lalu aku tahu sendiri, sebelum pulang sekolah ia sempat duduk dan melamun. Setelah kutanya, ia hanya menjawab bahwa dirinya ingin membentuk band dengan adik-adiknya; band semacam Nirvana yang personilnya hanya tiga orang.
Yohanes Lema, masa sih kamu....

"Dia betul-betul meninggal, rek.. sakit lambung akut, dan kematiannya itu cukup mendadak karena dua malam sebelumnya, Lema mengkonsumsi makanan pedas dalam jumlah banyak,"

Dimas Ari membuyarkan kesunyian kelas dan ia menyampaikan berita yang benar walaupun pahit, bahwa kawan baik kami, Yohanes Gregorius Lema telah meninggal dunia.

Pak Jito masuk ke dalam kelas kami, memberi arahan bahwa hari ini anak seni rupa dan grafis dibebaskan dari pelajaran untuk mengunjungi kediaman Yohanes Lema di Siwalankerto, Surabaya. Rumah Yohanes Lema ketika itu tidak lagi di Deltasari, melainkan di Siwalankerto.

Kami bergegas mengambil sepeda motor kami masing-masing. Aku bersepeda motor keluar gerbang sekolah dan mencari Wartel terdekat untuk menelepon Yoppy Semprong, mengabarkan padanya bahwa Yohanes Lema telah meninggal dunia. Yoppy Semprong yang saat itu kakinya masih diperban, berjanji segera datang ke rumah Yohanes dengan diantar ayahnya. Ia ingin datang ke rumah sahabatnya itu untuk terakhir kalinya.

Rumah Yohanes Lema adalah rumah yang punya halaman lapang dan sebatang pohon mangga berdiri di sudutnya, tepat menghadap jendela kamar almarhum. Aku melihat suasana rumahnya ketika itu, penuh dengan deretan kursi-kursi dan sebuah ampli berukuran sedang yang telah disediakan oleh pengurus lingkungan setempat. Keluarga Yohanes Lema adalah penganut Nasrani yang taat, dan rencananya siang itu akan diselenggarakan upacara doa-doa oleh seorang pemuka agama, lalu dilanjutkan dengan upacara pemakaman almarhum.

Kami semua dipersilahkan masuk agar bisa menyaksikan jenasah kawan kami untuk terakhir kalinya.
Aku melihat sebuah peti jenasah panjang dan berwarna coklat. Peti itu masih terbuka. 
Aku menghampirinya dan melihat kawan baikku Yohanes Lema tampak terbujur di dalamnya. Ia didandani dengan pakaian serba putih. Seragam SMA dan beberapa benda kesayangannya diletakkan di samping kanan-kiri tubuhnya. Kulihat wajahnya begitu tenang dan teduh. Ia pergi dalam damai.
Kami tenggelam dalam duka.

Kulihat Ayah dan Ibu Almarhum, Bapak dan Nyonya Blasius Lema larut dalam duka mendalam. Ibu Yohanes tampak meratap sambil memegang tepian peti.

"Bangun, nak, bangun... Teman-teman sekolahmu sudah datang..."

Masih terbayang kelucuan-kelucuan Yohanes Lema, kebiasaan uniknya dan segala tentangnya, karena selama hampir tiga tahun ini kami selalu bersama-sama.
Aku melihat kawan-kawanku tampak begitu sedih, walau air muka mereka masih menyiratkan rasa tak percaya, karena Yohanes Lema secepat itu pergi meninggalkan kami, disaat menjelang UNAS dan tugas akhir hampir tiba.

Yoppy Semprong terlihat datang diantar oleh ayahnya, lalu ayahnya pulang dan meninggalkan Yoppy di rumah itu, karena Yoppy sudah memberitahunya bahwa ia nanti akan pulang denganku. Yoppy Semprong berjalan terhuyung-huyung dengan menggunakan kruk. Ia langsung menghampiri peti jenasah almarhum, lalu kulihat ia sempat berbincang-bincang sesaat dengan Ibu Blasius Lema, kemudian kudengar ratap beliau,

"Tak tahulah, kakak.. mengapa kawan kakak si Yohanes ini meninggalkan kita begitu cepat.. Padahal tanganku, kedua jariku ini belum lelah untuk merawat dan membesarkannya.." 

Isak tangis Ibu almarhum kembali membuncah, memecah suasana. Kami semakin tenggelam dalam duka, terlebih ketika melihat momen saat seorang ibu menghadapi kenyataan paling pilu dalam hidupnya, yaitu melihat anaknya pergi mendahuluinya.

Kami berdelapan tertunduk pilu. Semprong termangu sambil memegang kruknya. Aku melihat Suci dan Riris disamping peti jenasah, seakan ingin memberikan salam terakhir bagi kawannya itu. Airmata menetes dari kedua mata lentik dua gadis itu, dan kulihat Suci yang tampak begitu larut dalam duka. Ia begitu sentimentil.

Pak Jito menyampaikan sambutan mewakili sekolah, untuk menyampaikan rasa dukacita kami.
"Mewakili kawan-kawan almarhum, juga mewakili sekolah, kami menyampaikan dukacita teramat dalam atas meninggalnya Lema...."

Sayangnya Pak Jito alpa menyebut nama almarhum dengan lengkap. Harusnya beliau menyebut 'Yohanes Gregorius Lema', bukan 'Lema' saja, karena Lema sebenarnya adalah nama ayah almarhum. Jadinya, para pengunjung, termasuk keluarga almarhum di kanan-kiri kami sejenak menoleh kearah Pak Jito.
Ah, gara-gara kami yang terlalu sering memanggil nama almarhum dengan panggilan 'Lema', maka Pak Jito juga ikut-ikutan memanggil 'Lema' pula.

Seusai penutupan peti, aku dan Semprong berinisiatif untuk mengambil sepeda motor dan mengiringi mobil jenasah almarhum. Kami berdua bersepeda dengan membawa bendera palang merah, bendera jenasah sampai ke tempat pemakaman almarhum di Kembang Kuning, Surabaya.

Aku menyaksikan detik-detik saat peti almarhum dimasukkan dalam liang lahat, kemudian ditutup oleh tanah. Ia selamanya telah beristirahat dalam damai. Usianya yang begitu muda ketika ia meninggal dan kesalahan-kesalahan yang belum banyak dilakukannya semasa hidup membuatku yakin bahwa ia kini ada dalam keabadian surga, dan dalam ketenangannya ia tersenyum, melihat tingkah polah kami di dunia.

Surabaya masih terik. Setelah pemakaman itu kulihat lagi segumpal awan mendung yang serupa seperti yang kulihat tadi pagi. Matahari kembali menundukkan wajahnya untuk sementara.

Aku pulang ke rumah, kemudian menghabiskan waktu untuk berdiam dan termangu selama beberapa jam. Masih terbayang wajah kawanku itu dan bagaimana dia meninggalkanku begitu cepat, hingga aku tertidur lalu melihatnya berpakaian serba putih. Ia mengulurkan tangannya, menyalamiku, lalu dengan senyum lepasnya ia pergi dan menghilang dalam kabut.
Aku terbangun, tergagap, kaget, lalu spontan berteriak, 

"Kawan, kamu masih disini???"



To be continued....


*Tulisan ini saya peruntukkan kepada Almarhum Yohanes Gregorius Lema, juga doa teriring kami panjatkan teruntuk almarhum Pak Guru Kami, Pak Adi, Almarhum Pak Guru M. Thalib Prasadja, Almarhum Pelukis Dani Widodo, Almarhum Pelukis Benk, juga almarhum ayah dari kawan-kawan kami: Almarhum ayahanda Yoppy Anugerah, Almarhum ayahanda Bagus Pribadi & Almarhum ayahanda Muhammad Mahfud. Semoga para almarhum diterima amal ibadahnya dan diberi tempat disisiNYA. Amin*

Benang Tipis Pembatas Kegilaan dan Kewarasan : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 14)

Buenos Aires by Xul Solar


Episode 14 : Benang Tipis Pembatas Kegilaan dan Kewarasan
 
"Har...."

Kupanggil Hariono. Waktu itu ia sedang asyik memandangi foto Siti Nurhaliza dari kliping koran. Rupanya ia tak mendengarku.

"Haaarrrrrr!!!"

"Oh apa, Ruh?," Ia menyahuti. Hanya Pa'i dan Hariono yang memanggilku 'Guruh', sesuai nama asliku, sedangkan teman-teman lain memanggilku 'Bean'. Mereka berdua memang seperti kakak-adik, satunya limbung, satunya bingung.

Aku berkata pada anak yang sedang duduk dihadapanku, yang sudah berusia 22 tahun ketika itu:

"Har, kamu tau nggak perasaannya Dina padamu?"

"Lho, Dina kenapa? Dina kenapa?"

"Perasaan, Har, perasaan.. aku bicara soal hati.. gini, gini, haaa...tiiii," aku menjawabnya sambil menekuk jari-jariku, membentuk 'love'.

"Hati? Hati itu katanya dibawahnya jantung, Ruh!"

"Itu hati liver, Har.. semua juga tahu.. Oalah.. cinta, Har, cinta.. Dina itu sebenarnya cinta sama kamu..," 

"Lho, iya ta Ruh?"

"Serius! Kamu harus cinta juga sama dia, Har! Nanti kalo lagi diluar, kamu harus segera menyatakan perasaanmu!"

"Oh iya, Ruh, iya.. aku juga cinta sama Dina, Ruh!"

"Nah!"

Apa yang kusarankan pada Hariono benar-benar dilakukan olehnya. Siang itu seorang anak yang bertempat tinggal di Kalibokor, Surabaya, menyatakan cintanya pada Dina. Tentu saja Dina tak menghiraukannya, dan aku dengar, Dina balik bertanya padanya,

"Kamu ngomong kayak gini disuruh siapa, Har?"

"Disuruh sama Guruh," begitu ucap Hariono. Lugu.

Aku tertawa keras. Dina menghampiriku dan memukuliku dengan buku tulisnya. Aku tak berhenti tertawa karena puas bisa mengerjai dua anak itu. Mungkin beberapa tahun kedepan kisah itu akan memberi kenangan tersendiri pada Dina, bahwa akhirnya ia pernah 'ditembak' oleh teman sekelas. Hehehee...

Tidak berapa lama aku mendengar kabar dari seorang kawan bahwa Yoppy 'Semprong' si Kumal itu mengalami kecelakaan motor di daerah Banyuurip. Saat kecelakaan, katanya Semprong sempat bangkit berdiri dengan gagah berani sebelum akhirnya tersungkur sambil memegangi kaki. Ia mengalami retak tulang kaki akibat kecelakaan itu.

Aku melihatnya terbaring di rumahnya dan sebelah kakinya diperban. Disampingnya diletakkan sebuah kruk untuk membantunya berjalan. Sambil berbaring, ia bercerita bahwa sehari sebelum kecelakaan, ia bermimpi melihat dirinya sendiri sedang memandikan motornya dengan air kembang tujuh rupa.

"Mungkin mimpi itu jadi petunjuk atas kejadian kecelakaan ini.. Dan setelah peristiwa ini, Aku sempat menelepon Dewi Aditya, siswi SMA Sejahtera itu dan mengabarkan bahwa aku kecelakaan.. tapi dia tidak begitu merespon.. aduh..," begitu katanya sambil memegangi sebelah kakinya. Waduh, Prong.. Sudah dirawat oleh Ibu dan Ayahnya, dikunjungi kawan-kawannya, ternyata hanya karena sosok gadis pujaannya yang acuh itu membuatnya masih saja serba merasa kurang..

Selesai mengunjungi Semprong, akhirnya aku, Tompel, Pa'i dan beberapa kawan lain melakukan perjalanan pulang, melewati jalan memutar arah Mayjend Sungkono, Surabaya. Beberapa meter setelah gedung TVRI, ada pemeriksaan polisi. Tompel terlihat gemetaran karena ia tak punya SIM.

"Yoopo iki? Yoopo iki?"

"Yowes ditilang yo ditilang," kata Pa'i dengan cueknya.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Tompel dapat ide untuk mendorong motornya ke arah pemeriksaan polisi, seolah motornya itu sedang mogok.
Motornya itu didorong sampai pada rombongan polisi yang sedang melakukan pemeriksaan surat-surat. Salah satu polisi melihat Tompel yang berlagak kelelahan sambil mendorong motornya.

"Kenapa motornya, mas? Mogok, ya?," tanya Polisi itu.

"Iya, Pak"

"Aduuhh kasihaaann.. sini, coba saya lihat," ucap Polisi itu sambil meminggirkan motor Tompel, kemudian menstarternya dengan satu hentakan kaki, dan...

"Bruuuummmmmm..."

Suara sepeda motor Tompel berbunyi. Motornya bisa berfungsi dengan baik. Tompel ketahuan bohongnya. Pak Polisi itu senyam-senyum sambil menepuk bahu Tompel...

"Oalah le, le... Polisi kok mbok bujukki..."

Sebuah kertas merah diterima oleh Tompel saat itu. Kertas tanda rasa sayang aparat terkait keselamatan lalu-lintas pengendara sepeda motor. Kertas tilang.

Itulah beberapa kisah tentang keseruan kami semasa menjalani sekolah di SMKN 11 (SMSR). Masa tiga tahun itu begitu penuh warna; ada kegembiraan, ada kesedihan, ada kebimbangan, ada keceriaan dan berbagai peristiwa silih berganti melukis perjalanan kami.

---

Aku bisa berenang, dan setidaknya hal itu patut kusyukuri karena jika aku tidak bisa berenang, maka anak itu hanya akan tinggal nama karena tenggelam.

Ceritanya, suatu hari Mat Pa'i membuat Tompel bermusuhan dengan Arif Catur, anak Grafis. Permusuhan yang aku cukup bingung atas alasan apa.. tidak bertengkar, juga tidak berselisih paham, tapi Pa'i sukses membuat Tompel dan Arif tak saling bertegur sapa, dan mungkin atas sebab itulah suatu ketika Pa'i jadi kualat.

Beberapa hari setelah Pa'i sukses membuat Tompel dan Arif bermusuhan, ia mengajak aku dan Arif untuk berenang bersama. Saat itu kami bertiga memutuskan untuk berenang di Kolam Renang Maspion, daerah Perumahan Pepelegi, Sidoarjo. 

Karena aku bisa berenang, aku langsung menceburkan diriku di sisi kolam sebelah selatan, sisi kolam yang paling dalam. Tak dinyana, Mat Pa'i dengan gayanya yang seperti atlet lompat indah, menceburkan dirinya juga di sisi kolam selatan itu. Aku melihat ia tercebur dalam air, kemudian sejenak menampakkan kepalanya, kemudian tenggelam lagi, lalu kepalanya tampak lagi sambil tangannya menggapai-gapai permukaan air.
Aku santai saja ketika itu sebab kukira Pa'i juga bisa berenang, hingga akhirnya para pengunjung kolam renang Maspion berteriak-teriak:

"Mas, teman sampean itu tenggelam! Tenggelam!,"

Aku terkejut bukan main. Arif Catur hanya pringisan di samping kolam, sepertinya bingung mau berbuat apa. Mat Pa'i benar-benar tenggelam!

Akhirnya aku berenang mendekatinya, kemudian mencoba meraih rambutnya untuk kujambak dan kubawa menuju tepian kolam. Tak disangka, saat akan kujambak, Pa'i mengibaskan tangannya dan malah meraih lenganku. Akhirnya aku kehilangan keseimbangan dan sempat timbul-tenggelam bersamanya. Maka dalam satu kesempatan, aku berhasil melepas genggamannya di lenganku dan berhasil kuraih rambutnya yang hanya beberapa helai itu. Kujambaklah dia dan kubawa ke tepian kolam. Selamat! Iapun dinaikkan keatas dengan dibantu oleh beberapa orang. Diatas kolam ia tampak berkecipak-kecipak seperti ikan Mujair habis kena pancing. Sialan...

Mat Pa'i memang terkenal dengan sifatnya yang jahil. Pernah ketika pulang dari kegiatan magang, ia mampir ke rumahku. Belum beberapa lama di rumah, ia meraih telepon rumahku dan menelepon rumah Tompel. Tompel saat itu sedang melakoni kewajiban magang di kelas tiga bersama Mahfud, di sebuah perusahaan advertising di Tropodo, Sidoarjo.

"Gini ini kalau ada Tompel dan Mahfud pasti lebih seru," Begitu katanya sebelum panggilan teleponnya diangkat.

Pa'i menelepon Tompel, namun ia kecewa karena Bapaknya yang mengangkat telepon mengatakan bahwa ia belum pulang.
Tak disangka Mat Pa'i begitu kecewa karena Tompel tidak bisa hadir di rumahku, dan mendadak, ia beroleh ide jahil. Pa'i kembali mengambil telepon rumahku dan menelepon keluarga Tompel.

"Halo..."

"Halo, pak.. ini saya Pa'i yang tadi sudah menelepon..."

"Iya mas Pa'i.. kan tadi sudah saya bilang kalau Bagus Tompel belum pulang ke rumah. Sebenarnya ada perlu apa kok sepertinya sangat penting?"

"Begini, Pak, Tompel itu punya hutang pada saya, dan dia sampai sekarang belum melunasinya. Jadi dia saya tunggu di rumah Bean hari ini juga, Pak,"

Pa'i menutup teleponnya. Aku terbengong. suasana menjadi hening sesaat, sepertinya ini bisa berubah jadi gawat... Anak itu jahilnya agak keterlaluan.

Karena Tompel tak kunjung datang, Pa'i pamitan pulang dengan kesal. Aku sendirian di rumah dan merasa lapar, kemudian aku mengambil sepeda motorku untuk membeli gorengan di daerah Jalan Jatisari Besar, Medaeng. Tak disangka baru beberapa meter memasuki Jalan Jatisari, aku melihat Tompel memakai kaus kutang bersama Mahfud, sedang duduk di pinggir kali Medaeng. Tompel melihatku lewat kemudian memanggilku. Aku menghampirinya.

"Pa'i endi, Bean?? Pa'i endi???," Tompel menatapku dengan marah.

"Wes moleh arekke, Pel. Onok opo?"

"Bapakku dikibuli sama Pa'i!!! Katanya aku punya hutang sekian rupiah dan aku belum membayarnya!! Padahal selama hidup aku nggak pernah punya utang!!," ungkap Tompel dengan ekspresi geram.

Aku memegang jidatku, sambil tentu saja tak berhenti tertawa. Rupanya benar firasatku, kejahilan Pa'i berakibat serius: Tompel diusir dari rumahnya sendiri.

Ceritanya, ketika Bapak Tompel selesai ditelepon Pa'i, ia menunggu anak bungsunya itu pulang sambil berdiri di depan pintu. Ketika melihat Tompel datang bersama Mahfud, beliau langsung menghardik anaknya itu. Tompel kaget.

"Bapak selama ini nggak pernah mengajari kamu hutang!! Kenapa kamu sampai punya hutang sama temanmu?!!!," Bentak Bapaknya.

"Lhoh, lhoh, kapan aku punya hutang?? Bapak dengar kabar kalau aku punya hutang dari siapa??," kata Tompel.

"Dari temanmu yang namanya Pa'i! Pergi kamu! Bapak nggak seneng punya anak tukang hutang!!," Hardik Bapaknya.

"Pak, jangan percaya sama yang namanya Mat Pa'i!!"

Mendengar jawaban Tompel itu, Beliau malah masuk ke rumah dan keluar lagi sambil membawa sebilah parang.

"Pergi!! Lunasi dulu hutangmu!! Di rumah ini nggak ada tempat buat anak yang suka hutang!!!,"

Melihat Bapaknya membawa parang, Tompel lari terbirit-birit. Tompel melihat Mahfud yang sedang terbengong melihat kejadian itu.

"Fud, ayo ngaleh, Fud!! Ngaleh!! Pergi!!!," Ujar Tompel pada Mahfud.

"Aku nggak akan pergi, Pel, karena aku belum salaman sama Bapakmu," ucap Mahfud dengan gayanya yang menirukan Jet Lee.

Mahfudpun dengan konyol mendatangi Bapak Tompel yang masih membawa parang. Ketika Mahfud mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Bapak Tompel itu malah berteriak,

"Koen ngaliho pisan!!!! Ngaleeeehhh!!!!," jawabnya sambil mengibas-ibaskan parangnya. 

Mahfudpun kabur, mengambil langkah seribu dan mengikuti arah lari Tompel. Akhirnya mereka berdua terduduk sambil kelelahan, hingga bertemu denganku yang sedang bersepeda motor hendak membeli gorengan itu. Mat Pa'i benar-benar pembuat onar.

----

Keseruan-keseruan diluar kelas itu juga sering terjadi di dalam kelas, seperti yang telah kuceritakan di episode-episode sebelumnya. Tapi bagaimanapun, keseruan itulah yang membuat kami tetap bertahan sebagai sembilan kawan di kelas tiga itu, yang akan menghadapi UNAS, juga menghadapi tugas akhir. Keduanya memiliki batas waktu cukup singkat, kurang delapan bulan lagi dan kami harus memacu waktu.

Hari itu kulihat kembali kawan-kawan sekelasku. Ternyata saat itu lagi-lagi kami hanya berdelapan. Lho, dimana Yohanes Lema? Hari ini sudah terhitung hari ketiga dia bolos sekolah. Kemana dia?



To be continued....

Amdo Brada : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 13)


Wayang Gajah by Amdo Brada


Episode 13 : Amdo Brada

Aku geragapan karena buku tulisku hilang; padahal, sebentar lagi tiba waktunya pelajaran Bahasa Indonesia yang diampu Bu Nunik, guru yang agak-agak killer... Kucari ke kolong bawah meja, nihil; kolong kursi, juga nihil.. aku melongok kearah seorang kawan yang duduk di depanku, yaitu Hariono; saat itu dia terlihat senyam-senyum sambil memegang pulpen di tangannya. Lalu kulihat buku tulisku ada di mejanya! Akupun mengambil dengan paksa buku tulisku itu. Sepertinya si Hariono baru saja menulis sesuatu di buku tulis milikku yang saat itu kondisinya masih baru, gres, mengkilat, mereknya 'Sidu' pula..

Kubuka halaman pertama. Benar saja, ada tulisan tangan Hariono di bukuku: 

'GuruhGirihGerehGorohGurehGurohGurih'

Sungguh mampus aku tak mengerti tentang apa yang ditulis oleh anak yang sebenarnya agak berkebutuhan khusus itu...

Yohanes Lema yang kebetulan duduk di sebelahku, secara tidak sengaja membaca pula tulisan itu. Ia mendadak tertawa keras, sangat keras, seperti tak bisa berhenti.

"Bean, aku kemarin juga lihat tulisan Hariono di buku tulisnya Pa'i!!! Tak tahulah aku apa maksud anak itu!! Hahahaaa...," 

Ujarnya sambil terus tertawa; padahal, Bu Nunik saat itu sudah hadir di kelas kami.

"Lema, diam! Diam!, Bu Nunik sudah datang!," ucapku.

"Pukimai! pukimai! aku tak mampu berhenti tertawa!! Hahahaaaa...."

Bu Nunik, guru Bahasa Indonesia yang juga merupakan putri seorang sketser terkenal bernama M. Thalib Prasadja itu sedikit menahan emosi karena tawa Yohanes Lema terdengar menggema di seantero kelas, sehingga beliau tak bisa memulai pelajaran.

Beliaupun mendekat ke mejaku, menatap Yohanes Lema yang masih tertawa.

"Yohanes Lema, kamu kenapa tertawa?"

"Aduuhh tidak tahu saya bu..hahahaa.. ini lucu sekali.. hahahaaa.."

"Mau sampai kapan kamu tertawa?"

Yohanes Lema tidak menjawab, namun terus tertawa.

"Kamu melecehkan saya?"

Saat itu aku sudah agak merinding sambil menendang-nendang kaki si Yohanes Lema, sebagai kode agar ia segera menghentikan tawanya.

Kesabaran Bu Nunik sudah habis.
Bu Nunik menarik lenganku, dan karena tarikan beliau, aku jadi terhuyung kearah tempat duduk Mahfud yang berada disampingku. Tentu saja Bu Nunik menarikku keluar dengan tujuan supaya beliau mendapat ruang untuk melakukan sesuatu kepada anak asli NTT itu, kemudian....

"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"

Pipi Yohanes terlihat membekas merah, tergambar tiga buah telapak tangan.
Suasana hening.

"Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri!! jurus Tapak Buddha Suci Tak Tertandingi!," ujar Mahfud si penggemar Kera Sakti itu. spontan namun setengah berbisik.

Imam yang duduk di sebelahnya langsung menyenggol bahunya.

"Diam kau, Jackie Chan! Mau jadi korban berikutnya?," Kriswanto berujar kepada Mahfud. Iapun menutup mulutnya sambil mengacungkan dua jari. Peace...

Kami sudah kelas tiga ketika itu; dan hari itu adalah hari pertama Bu Nunik mengajar di kelas tiga.. ah, jadi kacau gara-gara Hariono dan Yohanes Lema..

Tidak lama, Pak Pracihara, guru matpel airbrush masuk kelas kami, memberitahukan pada kami tentang kewajiban magang untuk kali kedua:

"Di kelas tiga ini ada kewajiban untuk magang lagi. Kalau saat kelas dua kemarin kalian magang selama tiga bulan, di kelas tiga ini kalian tidak magang selama tiga bulan, tapi...."

Berapa bulan pak? Satu bulan? Dua bulan?

"Bisa lebih bisa kurang, tapi setidaknya kalian magang di kelas tiga ini selama.... sembilanpuluh hari!! hahahaaa," ujar Pak Praci.

Maaf pak, sembilanpuluh hari itu kan sama dengan tiga bulan? Anda sedang bercanda, Pak?
Oh, demi Neptunus.. sebenarnya apa yang terjadi dengan situasi sekolah siang ini? Tertawa-marah-bingung-takut seperti silih berganti semenjak pagi tadi...

Aku melihat papan pengumuman magang di sekolah. Aku membaca namaku tertulis di urutan nomor satu, sebagai siswa magang di tempat pelukis bernama Amdo Brada. Dibawah namaku kubaca dua nama di urutan selanjutnya sambil bergidik:
2. Hariono
3. Yohanes Gregorius Lema.

Aku menahan geram dan otakku sudah mendidih penuh emosi; jika tahun kemarin aku magang dengan Kriswanto dan Mahfud, maka hari ini aku harus menerima kenyataan pahit: menjadi satu kelompok dengan golongan yang bikin rusuh tadi pagi.
Wahhh... Aku hanya bisa mengelus dada sambil mencoba menerima kenyataan: bersama dua anak itu, rasanya tempat magang yang cocok bagi kami bertiga bukanlah di instansi kebudayaan, perusahaan advertising atau di tempat pelukis, melainkan cocoknya magang di Liponsos Keputih...

Esoknya aku membonceng Lema untuk mampir ke rumah Pak Amdo Brada di daerah Kupang Krajan dengan maksud untuk memperkenalkan diri. Hariono datang belakangan dengan bersepeda dari rumahnya di daerah Kalibokor, Surabaya.
Kami masuk gang sempit, kemudian sampai di sebuah rumah bergaya etnik, penuh dengan hiasan-hiasan dekoratif yang begitu indah dan semarak. Lukisan-lukisan panjang terpajang di dinding-dindingnya.
Seorang laki-laki duduk lesehan di ruang tamu. Ia memakai hem lengan pendek, bersarung, rambutnya keriting namun tebal, kumisnya tipis, dan ketika tersungging untuk mempersilahkan kami masuk, ternyata giginya ompong.

"Silahkan, masuk, mas. Silahkan duduk"

Kami bertigapun duduk bersama.

"Terimakasih Pak. Lho, panjenengan ini Pak Amdo Brada, ya?," Tanyaku membuka percakapan.

"Ooo bukan. Saya bukan Amdo"

"Lho, lantas Bapak siapa?"

"Saya Pakleknya".

Kamipun mengangguk-angguk, lalu melanjutkan pembicaraan. Kami banyak bertanya pada laki-laki itu tentang sosok Pak Amdo. Kata guru kami di sekolah, Pak Amdo itu pelukis etnik tersohor; Kata Pak Farid, Pak Amdo itu ahli dekorasi taman yang tiada bandingannya; kata kabar burung di sekolah, banyak pelukis-pelukis terkenal yang pernah magang di tempatnya. Benarkah demikian?

"Oo itu terlalu berlebihan.. yang jelas kalau magang di tempat Amdo, kalian harus siap digembleng"

"Lantas kapan kami bisa bertemu dengan Pak Amdo, Pak?"

"Amdonya masih pergi luar kota, tapi nanti malam sudah sampai disini. Saya sudah dititipi pesan, kalau ada siswa SMSR datang untuk magang, suruh kembali lagi esok hari dengan membawa perlengkapan melukis"

Kamipun menurut saja apa kata orang yang mengaku Pakleknya Pak Amdo itu; lalu kamipun berpamitan untuk pulang, dengan alasan sampai di rumah nanti kami akan menyiapkan perlengkapan melukis yang akan kami bawa keesokan harinya. Iapun mempersilahkan kami pulang. 

Belum sampai seratus meter kami menuntun sepeda menyusuri gang Kupang Krajan, kami mendengar suara seorang anak kecil yang sedang masuk ke rumah kediaman Pak Amdo.

"Pak, aku pamit metu nang omahe koncoku!"

"Yo, ati-ati, le!," Terdengar suara dari orang yang mengaku Pakleknya Pak Amdo tadi. 

Anak kecil itu berlari kecil keluar rumah, kebetulan arah larinya menuju kearah kami. Aku mencegatnya.

"Dik, dik, yang kamu ajak bicara tadi siapa?"

"Bapak saya, mas.."

"Bapakmu namanya siapa?"

"Pak Amdo..."

"Lho, yang kamu ajak ngobrol tadi bukan Pakleknya?"

"Paklek sing endi maneh... Wong saya ngomong sama Pak Amdo, Bapak saya sendiri kok.."

Saat itu kami baru tahu kalau kami sedari tadi berbicara dengan Pak Amdo sendiri, bukan pakleknya; kami tidak tahu apa alasan beliau tidak mengaku saja kalau dirinya adalah Amdo Brada. Aku jadi pusing. Hariono sudah duluan pulang, Yohanes Lema tertawa-tawa hingga sepanjang perjalanan pulang.

"Bean, jadi kita tadi bicara tentang Pak Amdo pada Pak Amdo? Hahahaaa...."

Aku tidak tahu harus berpikir dan berbuat apa... yang terjadi dua hari ini seolah mengingatkan aku agar lebih rajin beribadah, sebab di dunia ini semakin banyak orang bertingkah aneh, dan juga, dua hari ini aku merasakan sendiri godaan setan berupa perasaan mabuk tanpa minum minuman keras.

Hari kedua magang, kami datang ke rumah Pak Amdo. Orang yang kami temui kemarin tampak senyam-senyum menyambut kami; mungkin ia berpikir bahwa kami masih menganggap dia adalah pakleknya Pak Amdo, padahal dia sendirinya itu Pak Amdo.

Aku membuka percakapan:
"Pak, Pak Amdo mana? Pak Amdo mana? Anda kan Pakleknya... hehehee.."

Pak Amdo tertawa lepas, setelah itu bisa-bisanya dia bercanda:
"Yang kemarin itu kembaran saya..hahahaaa"

Kami memulai hari kedua di rumah Pak Amdo. Saat mengeluarkan perlengkapan melukis, Pak Amdo malah menyuruh kami untuk meninggalkan alat-alat itu di rumahnya. Ia hendak mengajak kami ke tempat dimana ia sedang mengerjakan taman. Kami nurut saja.

Daerah Ngagel, Surabaya. Di kawasan itulah Pak Amdo mengajak kami bertiga ke kediaman seorang anggota DPRD Surabaya bernama Pak Armuji. Pak Armuji itu sosok yang tinggi, berkumis tipis dan potongan rambutnyapun tipis.
Di rumah itulah kami melihat kemampuan Pak Amdo dalam membuat dekorasi taman. Mulai dari membuat lekukan macam tebing yang terjal, membuat dekorasi air mancur, lalu menatah lekukan demi lekukan sesuai dengan sketsa yang dibuatnya. Hasilnya sangat luar biasa. Aku dan Yohanes Lema memandangnya dengan kagum. Hanya Hariono sendiri yang sibuk melihat-lihat ember luluh dan kami tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Saat itu kami diajari soal pewarnaan tebing, tentang bagaimana cara mencampur warna hingga mendapatkan warna yang sesuai dengan lumutan maupun kontur lekukan. Warna gelap untuk cekungannya, warna agak terang untuk sudut lancipnya, dan hijau gelap untuk membuat kesan dinding itu berlumut. Benar kata para guru di SMSR.. Pak Amdo memang rajanya dekorasi taman.

Setelah itu kami bertiga diajak ke Balai Pemuda. Disana sedang ada bazaar dan Pak Amdo punya stan. Ia menjajakan kaos dan tas lukis yang bergaya etnik karyanya. Banyak pengunjung yang tertarik kemudian membeli barang-barang produk kreasi Pak Amdo itu. Ketika kami tanya mengapa beliau menekuni lukisan etnik, beliau hanya menjawab,

"Jangan sampai kita meninggalkan tradisi, karena meninggalkan tradisi sama saja dengan meninggalkan keindonesiaan".

Saat itu kami bengong.

"Tahu artinya?"

"Mmmmmm...."

"Gini, kalian sering-sering saja lihat pameran; lalu lihat karyanya pelukis-pelukis itu. Mulai dari realis, ekspresionis, impresif, hyper-realis, abstrak, dan sebagainya, lalu cobalah berpikir sejenak dan bertanyalah: dimana keindonesiaannya?"

"Oooo..."

"A-O-A-O sakjane ngerti ta gak??"

Kami hanya senyam-senyum saja. Sebenarnya sudah tertebak jawabannya: saat itu kami nggak ngerti.

"Awakmu ketokke kudu magang nang nggonku selama setahun....," Tukas beliau melihat kami bertiga yang cuma bisa plonga-plongo.

Beberapa hari kemudian kami diajak beliau untuk mendekor sebuah kafe di kawasan depan Carrefour, Mayjend Sungkono, Surabaya; namun tidak lama, karena Pak Amdo lebih ingin kami fokus melukis. Di kelas tiga ini selain kami akan menghadapi UNAS, kami juga akan menghadapi kewajiban untuk menyelesaikan tugas akhir siswa.

Di rumah Pak Amdo yang bergaya etnik dan sejuk itu, aku melukis bersama kawanku Yohanes Lema dan Hariono. Kami mencoba-coba melukis etnik, karena pajangan-pajangan lukisan di dinding itu seolah menghipnotis kami agar kami membuat lukisan yang setidaknya senada dengan lukisan Pak Amdo; hanya Hariono yang keukeuh melukis Siti Nurhaliza.

Aku sempat bertanya dalam hati, bagaimana cara untuk menciptakan karakter goresan seperti Pak Amdo? Lalu aku memandangi lukisan beliau cukup lama, kemudian aku beroleh ide untuk membuat lukisan ornamentik. Bagaimana jika berbagai macam motif ornamen kubuat dalam diameter yang kecil, namun jumlahnya banyak hingga tampak berjejal, dan dalam kepadatan tertentu tumpukan-tumpukan motif itu akan kubuat membentuk sebuah figur. Entah figur apa itu aku masih berpikir keras, sampai ketika secara tak sengaja aku melihat tv yang sedang menyala di rumah Pak Amdo, menayangkan cuplikan film kartun toystory yang diantaranya menampilkan karakter 'Slinky Dog': boneka anjing yang bisa memanjangkan diri karena bagian tengah tubuhnya berupa lengkungan-lengkungan memanjang seperti pir. Ah!!!!
Aku mendapat ide membuat ornamen-ornamen kecil yang membentuk figur hewan-hewan seperti Slinky Dog yang tubuhnya panjang. Hewan-hewan itu ada tiga sampai empat ekor banyaknya. Tubuhnya penuh motif ornamen.

"Lha iki rodok kenek," ucap Pak Amdo.
Nah.. maka paling tidak aku akan menekuni lukisan semacam ini untuk tugas akhir nanti..

"Mbon, koen nggambar opo, Mbon?," Tanya Pak Amdo kepada Lema yang dipanggilnya 'Ambon'. Lema saat itu sedikit banyak sudah mengerti bahasa Jawa, walaupun masih belum lancar berbicara dalam bahasa itu.

"Apik gambarmu, Mbon!"

Lema hanya tertawa saja. Ia sedang menggarap lukisan pemandangan dekoratif.

Hariono beberapa hari ini tidak hadir ke rumah Pak Amdo. Lukisan Siti Nurhalizanya sedikit terbengkalai. Seminggu sebelum magang usai, hariono tiba-tiba hadir dan iapun menyelesaikan lukisannya itu.

Tiga bulan lamanya kami mendapat banyak ilmu dan pelajaran berharga dari Pak Amdo, hingga pada hari yang telah ditentukan, para siswa diwajibkan untuk kembali ke sekolah seperti biasanya.
Pada hari pertama di sekolah setelah tiga bulan magang itu aku melihat kembali delapan kawan-kawanku. Rasanya kurang satu? ah, iya, Yohanes Lema! Kemana dia hari ini?

Sebelum sempat aku bertanya pada kawan-kawanku tentang keberadaan Yohanes Lema, Mat Pa'i tiba-tiba datang sambil membawa buku tulisnya. Ia kemudian mengeluh:

"Siang tadi Hariono kembali mengambil buku tulisku. Ia menuliskan sesuatu di bukuku yang aku tak paham maksudnya. Sudah tiga kali aku diginiin..."

Kawan-kawan mengambil buku tulis itu dari tangan Mat Pa'i. Mereka membuka halaman pertama dan terbaca tulisan tangan Hariono di buku tersebut:

'PakiPakePakuPakoPikoPukoPiku'

Mampus!



To be continued.....

Sunday, December 16, 2018

Namaku Dina. Aku Mencari Ibu Kandungku : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 12)

Remember, My Son, by Ann Marie Oborn

Episode 12 : Namaku Dina. Aku Mencari Ibu Kandungku

Kepul asap rokok para penumpang lelaki, hilir mudik penjaja makanan, kernet mondar-mandir membawa karcis dan segepok uang. Sopir mengemudi dengan santainya sambil mendengarkan musik dangdut yang diputar di sebuah tape usang merek Pioneer. Disini aku duduk, di dalam bis kota tua dengan kepul asap hitam. Sesekali aku menoleh kaca belakang, kulihat para pengendara motor di belakang bis yang kutumpangi ini tampak menutup mulutnya sambil terbatuk-batuk.

Aku menuju Bangil, Pasuruan. Kupeluk erat tas di dadaku. Sesekali aku membuka tasku untuk mengeluarkan boneka bayi yang ada di dalamnya. Boneka bayi itu sudah lapuk, usianya kurang lebih tigabelas tahun. Di punggung boneka itu ada tulisan namaku: 


'Dina Suciati Romadhonna'. 


Kuusap tulisan itu dengan jemariku yang basah oleh lelehan airmata. Kiranya siapa yang memberi nama seindah itu padaku? Apakah ayah ataukah Ibuku? Kuharap Ibuku.. agar beliau saat kutemui nanti bercerita tentang arti namaku, sambil aku merebahkan diri di pangkuannya. Aku rindu....


"Pak, tolong beritahu jika sudah sampai di lokasi dekat asrama militer yonkav 8," 
ucapku pada kernet yang kebetulan melewatiku.

"Baiklah dik. Lho, pagi-pagi gini adik mau kemana? nggak sekolah?" Tanya kernet itu.

Aku tak menjawabnya karena tenggelam begitu dalam pada bayang wajah ibu yang terakhir kali kulihat saat aku masih TK Nol Kecil; usiaku saat itu masih empat tahun. Tigabelas tahun lalu sebelum Ibu mengucap salam perpisahan, Ibu membelikanku boneka, dan hanya boneka inilah kenang-kenangannya.

Sekali ini saja Pak Kernet, sekali ini, sehari ini saja kupinta pada seluruh dunia, termasuk pada kawan-kawan kelompokku yang sedang magang di PT Magriet, sehari ini saja aku tidak masuk ke kantor magang, karena panggilan hatiku agar aku menemui Ibu kandungku lebih mendesak untuk kuturuti. Kernet itu acuh karena aku tak menjawab pertanyaannya. Maaf, aku rindu....

"Asrama militeerrrrrr..." Ucap kernet itu. 

Sudah sampaikah? Ah iya, di kiri jalan kulihat perumahan berdinding doreng-doreng. Aku turun dari bis, tepat di depan asrama itu sambil menoleh kiri dan kanan. Aku melihat pos penjagaan yang dijaga oleh dua orang tentara. Berbekal secarik kertas berisi alamat yang diberikan oleh penjual tahu lontong di kota Malang, kawan ayahku yang berbaik hati memberi alamat ibuku, aku memberanikan diri untuk menghampiri dua orang penjaga itu. Mereka kuberikan saja secarik kertas itu, dan mereka kemudian membacanya:

'Sulidana-Isman. Asrama Yonkav 8'

"Kamu siapanya mereka, Dik?"

"Saya anaknya, Pak"

"Anak? Betul kamu anaknya?"

"Betul".

Salah seorang penjaga itu berbaik hati mengantarku ke asrama Pak Isman, lelaki yang telah menjadi suami ibuku. Tentara itu terus-menerus bertanya tentang aku, karena sepengetahuan mereka, Pak Isman dan Bu Sulidana hanya memiliki dua orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Aku hanya bilang kalau aku anaknya. Anaknya saja, tanpa perlu kuberitahu bahwa aku anak dari pernikahan sebelumnya.

"Masih jauh rumahnya Pak?"

"Ooh dekat sini, tinggal satu belokan lagi"

Hanya limaratus meter lokasi rumah ibuku dari pos penjagaan depan, tapi rasanya sangat jauh, langkahku sangat berat; apakah ibuku masih mengingatku? Ataukah ia justru menolakku hanya karena sejarah kelam dalam sepenggal hidupnya dulu?

Sepetak rumah berhias bougenville dan anggrek kuning. Pohon palem dengan daun menjuntai, juga latar halaman berkeramik putih. Pintu rumah sedang terbuka, tapi aku belum berani masuk. Kulihat bayangan seseorang sedang meminum segelas air di balik kaca. Apakah itu Ibu?

"Bu Sulidana, Pak Isman, ini ada tamu..." Begitu kata Tentara itu.

"Tamu siapa?"

Terdengar suara perempuan. Suara yang berasal dari bayang-bayang dibalik kaca itu.
Tentara itu menoleh padaku.

"Lho, sini masuk dik, katanya mau ketemu Bu Sulidana? Ini orangnya,"
Aku masih mematung di depan.

Sosok itu bangkit berdiri, kemudian menyorongkan kepalanya di pintu. Ia melihatku. Kemudian ia berjalan perlahan dan berdiri di depan pintu itu. Ia masih melihatku, aku masih mematung.
Sosok itu adalah sosok seorang perempuan yang memakai daster terusan bermotif batik kawung. Rambutnya agak bergelombang, sama dengan rambutku. Hidungnya tidak mancung, sama dengan hidungku dan paras wajahnya menyiratkan air muka yang sama denganku.

"Praaaang!!!!!"
Cangkir itu terlepas dari genggamannya, jatuh berkeping-keping di lantai keramik. Ia berlari ke arahku.
Sekalipun tigabelas tahun tak bertemu, tapi naluri seorang Ibu tentu tahu tentang siapa yang sedang berdiri di hadapannya; yaitu aku, anak kandungnya. Anak kandung dari seorang perempuan bernama Sulidana.

"Anakku!! Anakku!!! Anakku!!!"
"Dina!! Dina!! Dina!!"
"Ya Allah!! Ya Allah!! Ya Allah!!

Perempuan itu histeris dan memelukku dengan erat. Tigabelas tahun lamanya aku menanti rengkuh-peluk itu. Aku berbisik ditelinganya, 


"Ibuu..."

Itulah sepenggal kisah awal perjumpaan anak dan ibu di siang itu. Kami mendayung berdua ditengah danau linang airmata.

Aku telah masuk ke rumahnya dan benar-benar rebah dalam pangkuan ibuku. Kami berdua terisak bersama setelah tak bertemu selama tigabelas tahun lamanya. Seorang pria datang ke ruang depan dan terheran-heran. Ibuku menjelaskan bahwa akulah anak yang dulu pernah ia ceritakan; anak yang lahir dari perkawinan sebelumnya. Pria itu mengenalkan diri bahwa ia suami ibuku; nyatanya ia cukup ramah padaku, turut pula mengusap rambutku dengan tangan kekarnya. Setegap dan segagah apapun ia, luruh pula dalam haru menyaksikan perjumpaan itu.


"Maka aku juga ayahmu," ujarnya.

Bapak dan Ibu kandungku memang telah bercerai sejak aku berusia 2,5 tahun. Setelah perpisahan itu aku diasuh oleh Bude, kakak Ayahku, dan sebulan sekali kusempatkan waktu untuk menjenguk ayah kandungku yang bekerja sebagai juragan lombok, dan telah menikah lagi dengan perawan desa Sumbermanjing, Malang. Dari pernikahan itu ayahku mendapat dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Aku tidak punya kecocokan dengan ibu tiriku itu.
Yang kuingat tentang ibu kandungku, hanya ketika aku pertama kali bertemu beliau saat aku masih berusia empat tahun seperti yang telah kuceritakan diatas, dan sejak itu aku tidak begitu ingat paras wajah ibu sampai ketika hari ini aku bertemu dengannya.

Saat itu aku menginap dua hari di rumah Ibuku, dan malam hari kedua aku pulang ke Surabaya karena sudah dua hari ini aku bolos magang.
Esoknya, aku bercerita tentang pertemuan dua hari yang lalu itu pada Debby, Yuyun, Wiwien Fajar, Eka, dan semua sahabat dari jurusan tekstil yang juga kawan semagangku. Mereka jadi agak terharu. Salah satu kawanku bernama Debby mengatakan bahwa ia ingin melihat wajah ibuku dan tampak begitu penasaran. Oleh karena itu seminggu kemudian saat kantor libur, kuajak dia menginap semalam di rumah Ibu kandungku. Saat disana, aku dan Debby bercerita pada Ibu tentang sekolahku, kebiasaan-kebiasaanku dan segala tentangku; namun tidak tentang ayahku, dengan alasan sejarah kelam itu.

Ibuku pernah mengumpulkan beberapa anak bujang untuk makan bersamaku di tempatnya, dengan harapan ia mau memilihkan lelaki yang cocok untukku; namun aku menolak rencana itu karena aku masih sekolah, lagipula siapa juga lelaki yang mau terburu-buru meminangku dengan usiaku yang masih belia ini?
Ibuku tersenyum saja mendengar alasanku.

Sampai suatu ketika berita tentangku telah menyebar di lingkungan asrama itu. Ibu kandungku tentu risih juga karena tetangga akhirnya tahu bahwa ia pernah punya anak dari perkawinan sebelumnya, dan beliau sekuat tenaga mengarang cerita bahwa aku sebenarnya adalah anak kandungnya dari Pak Isman, suaminya yang sekarang, yang telah menikah sebelum tinggal di asrama ini; namun tetangga-tetangga penggosip itu tak mau percaya.
Dari situ aku merasakan sendiri kekuatan gosip dan hoax yang beredar dari mulut ke mulut emak-emak milenial tahun 2004, jauh sebelum media sosial menguasai akal, hati dan pikiran manusia. Dampak dari gosip itu begitu dalam hingga menikam jauh ke kehidupan pribadi seseorang; Kehidupan pribadiku, Ibuku serta keluarganya yang baru itu.

Dampaknya, belakangan Ibu mulai menjaga jarak denganku. Aku begitu kecewa ketika Ibu menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan 'tante' saja.
Terlebih, pada suatu waktu ketika aku berkunjung kesana, Ibu mengulik sejarah kelam masa lalunya ketika masih berstatus sebagai istri dari ayah kandungku.

"Melihatmu hanya membuatku teringat ayahmu yang jahat itu. Perlu kamu tahu, ayahmu dulu sudah menginjak-injak harga diriku. Membuangku seperti sampah!"

Aku mengingatkan beliau bahwa semuanya hanyalah tragedi masa lalu yang tak perlu untuk terus diingat, dan yang ada kini hanyalah realita yang terkuak di depan matanya: aku senyata-nyatanya adalah anak kandungnya.
Tapi beliau tak mau peduli.

Tingkah Ibuku dari hari ke hari semakin kaku dan sinis, ah, petaka gosip tetangga telah menjalar di pikirannya. Aku ditolak ke rumahnya selama beberapa kali oleh anak laki-lakinya dengan alasan Ibu sedang pergi, padahal kutahu dia ada dan bersembunyi di dalam rumah.

Bertahun-tahun kemudian setelah aku menikah dan membawa anak lelakiku yang masih bayi ke rumah Ibu, aku masih saja dipandanginya dengan begitu sinis, karena alasan bahwa aku menikah dengan pria yang tidak berpangkat, tidak berkasta dan bukan konglomerat. Suamiku dalam pandangan matanya sama seperti sosok suami pertamanya dulu, yaitu ayah kandungku. Dari situ aku tersinggung berat, padahal, ayah Isman menyambutku dengan ramah dan sempat menimang anakku. Beliau tak henti-hentinya menasehati ibuku tapi ia tetap tak peduli.
Sejak itu aku tak lagi mengunjungi Ibu, namun selalu kusempatkan tiap waktu untuk mengirimkan pesan singkat tentang rasa sayangku, sebagai ungkapan takzim seorang anak pada Ibu kandungnya, walau pesan itu tak pernah berbalas.

Suatu siang setelah berlalunya peristiwa itu aku kembali ke sekolah; kembali ke SMSR. Kewajiban magang di PT Magriet sudah kutunaikan selama tiga bulan yang panjang, penuh keharuan, melelahkan jiwa dan pikiran.
Aku potong rambut untuk membuang sial.

Kulihat lagi teman-teman sekelasku yang selama tiga bulan ini menghilang karena mereka magang di tempat mereka masing-masing.
Bean tampak agak murung, entah mengapa; Yohanes Lema masih tetap meminta limaratus rupiah walaupun sudah berkali-kali kuusir dia; Hariono duduk di studio lukis sambil memandangi foto-foto artis majalah Hai yang ada Siti Nurhalizanya;

Tompel datang di hari pertama itu dengan potongan rambut punk dan wajahnya yang culun. Cukup membuatku terhibur, lalu berubah menjadi aneh ketika ia membuka seragamnya dan menunjukkan kaos dalamnya yang bertuliskan: 'Kalian Taek Semua'.
Sebenarnya apa yang ada dalam kepala anak gila itu?

"Lho, Dina potongan rambutnya dimodel kayak Nirina," ujar Hariono.

Memang saat itu aku memotong rambutku dengan model potongan rambut ala Nirina Zubir, VJ MTV; selain membuang sial, agar aku lebih terlihat kekinian, tentu saja kekinian dimasa itu.

"Wah ada Nirina, Nirina, Nirina...," Imam meledekku.

"Stop! Itu bukan Nirina!!!," Tompel tiba-tiba berteriak.

"Lantas siapa?," Tanya Pa'i

"Kirik-na! Kirik-na!!!!,"

Tompel menghinaku dengan memelesetkan 'Nirina' menjadi 'Kirik-na'. Lalu ia berjoget-joget di depanku.

Aku yang masih memendam kerinduan sekaligus kekecewaan terhadap Ibuku, masih juga ditambah dengan polah ABG gila yang hari itu meledekku. Maka dengan amarah yang memuncak, aku mengacungkan telunjukku pada wajahnya,

"Tompel, suatu saat kamu akan mendapat Karma! Karma yang kau tuai dari perbuatan-perbuatanmu padaku! Ingat itu, Tompel, karmaa!!"
Aku menjerit histeris di depannya.

Tompel takut juga dengan kata 'Karma' itu. Ia memohon-mohon padaku untuk menarik ucapanku, namun aku tak peduli.
Aku hanya peduli pada bayang wajah dan belaian lembut tangan Ibuku, namun toh hanya beberapa waktu saja aku mendapatkannya; selebihnya, aku kembali terbuang, seperti layang-layang putus benang tak tahu arah tujuan.

Itulah alasan mengapa selama ini aku terlihat murung dan semaputan. Rasanya tak kuat menanggung beban ini seorang diri, dan mau curhat, curhat ke siapa? Teman-teman sekelasku, anak-anak lelaki itu bukan pendengar yang baik, juga bukan pemberi solusi yang baik; bagaimana mereka bisa menuntaskan masalahku sementara mereka sendiri belum bisa menuntaskan masalah kewarasan mereka?
Ah, biarlah kutanggung sendiri. Aku meyakinkan diriku sekaligus menghibur diriku sendiri: aku adalah perempuan yang kuat; aku, Dina yang biasa dipanggil 'Pethuk' ini adalah wonder woman!

Lalu aku berpikir sembari melihat kearah para guru yang menyambut para murid yang baru pulang dari magang: Bu Ellys, Pak Farid dan Pak Khusnul; biarlah aku tak punya bapak-ibu, setidaknya mereka menjadi ibu dan ayah-ayahku di sekolah ini.

Kawan-kawanku yang unik dan aneh itu... Sekalipun aku kadang keterlaluan, dan anak-anak itu juga berlebihan dalam menjahiliku, tapi merekalah keluargaku untuk sementara waktu, setidaknya selama tiga tahun aku menuntut ilmu; dan aku yakin, di tengah keusilan dan humor penuh gelitik, mereka semua menjagaku dengan cara mereka yang unik.




To be Continued......

Saturday, December 15, 2018

Magang Tiba Aku Menjemput Cinta : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 11)

First Love  By Leonid Afremov


Episode 11 : Magang Tiba, Aku Menjemput Cinta

Seorang guru yang masuk ke kelas kami mengatakan bahwa papan pengumuman sekolah sudah ditempeli kertas pemberitahuan nama-nama siswa magang beserta penempatannya. Rencananya kami akan magang selama tiga bulan penuh di instansi-instansi yang berhubungan dengan kesenian, perusahaan advertising maupun magang di tempat pelukis yang telah dipilih oleh sekolah. Saat istirahat kami beramai-ramai mendatangi papan pengumuman itu. Namaku ditulis satu grup dengan Kriswanto dan Mahfud. Kami bertiga ditempatkan untuk magang di TVRI, Surabaya.
Jadi aku harus satu kelompok dengan Kriswanto dan Mahfud? Ah, aku harus membiasakan diri mendengar logatnya yang aneh itu, juga menahan diri apabila Mahfud bertindak memalukan di tempat magang dengan memamerkan jurus-jurus kungfunya.

Saat yang ditentukanpun tiba. Aku, Kriswanto dan Mahfud pagi itu mendatangi kantor TVRI dan langsung menuju ruang artistik. Disana kami menemui staff artistik yang cukup ramah seperti Pak Tri, Pak Puguh, Pak Badak dan seorang sepuh yang dipanggil 'Romo'. Disamping mereka cukup ramah, mereka juga sangat terlihat santai. Kami baru mengetahui penyebab kesantaian mereka setelah Pak Tri membuka percakapan,

"Selamat datang di TVRI, mas.. kalian disini cukup duduk-duduk sambil bersantai saja. Kalau ingin melihat proses produksi tayangan, monggo langsung ke studio. Maaf, mungkin selama kalian disini, tidak ada sesuatupun yang bisa kalian kerjakan, karena kondisi TVRI sedang sepi; dekorasi panggung pun menggunakan dekorasi lama yang sudah jadi".

Jadi selama tiga bulan kami sekedar numpang mampir? Dan memang selama tiga bulan itu kami menemukan kenyataan tentang ucapan Pak Tri.
Selama di TVRI, kami hanya bersantai. Hanya sekali kami melakukan pekerjaan, yaitu menggosok dekorasi lama yang terbuat dari styrofoam dengan kertas gosok. Selebihnya, kami bertiga hanya menikmati kecantikan MC acara kuis, sekaligus mendapat teman, yakni kakak-kakak magang dari sebuah Universitas di Jawa Tengah. Aku sempat mengajak salah satu cewek magang yang usianya empat tahun lebih tua dariku itu untuk berkeliling kota Surabaya. Lumayan..

Di TVRI pula kami menemui seorang pegawai yang juga pelukis, bernama Pak Dani Widodo. Beliau sangat perhatian dengan kami. Ketika kami bingung dengan apa yang akan kami lakukan di masa-masa santai itu, beliau mengajak kami ke rumahnya untuk melukis bersama. Bahkan apabila dompet kami tipis dan nyaris memutuskan untuk berpuasa, beliau menawarkan kami makan enak di rumahnya.

Walaupun santai kayak di pantai, pada masa itu aku berkenalan dengan dua orang pelajar yang sedang mengunjungi TVRI. Namanya Siti dan Neny Kristanti. Setelah perkenalan itu, aku memberanikan diri untuk mengajak mereka bertemu kedua kali dan berjalan-jalan bersama. Tak disangka mereka setuju. Sebelum hari yang telah ditentukan, aku mengajak Imam Machmudi untuk membonceng salah satu dari mereka. 

SMA 17 adalah sepenggal perjalananku dimana aku sempat melabuhkan perasaanku. Siang itu aku membonceng Siti, dan Imam membonceng Neny. Mereka berdua sama-sama cantik, tapi aku lebih menaruh hati pada Neny. Celakanya, Imam juga menaruh hati padanya. Jadi setelah kegiatan jalan-jalan itu, secara intens aku mendatangi Neny di rumahnya. Neny bercerita kalau minggu ini Imam sudah mengunjunginya dua kali, sedangkan aku sudah mengunjunginya tiga kali. Maka dari itu aku mencoba lebih intens lagi. Seminggu kalau perlu tujuh kali!

Terombang-ambing cinta memang membuatku seakan terbang melayang. Apalagi saat berduaan sambil melihat sekawanan rusa kawin-mawin di Kebun Binatang Surabaya, Neny menerimaku menjadi kekasihnya. Duniapun berbunga-bunga. Besoknya saat aku magang, aku melihat TVRI seakan menjadi gedung yang riuh, seperti pasar malam tempat berpasang-pasang kekasih memadu asmara.. Kriswanto yang medok, kurasakan suaranya begitu merdu, semerdu Freddie Mercury dengan gigi pasangan perak di mulutnya. Mahfud yang obsesif terhadap Kungfu, kulihat menjadi sehebat Jackie Chan dan selihai Jet Lee.. aku bahkan berilusi melihat ia meloncat dari satu gedung ke gedung lain, kemudian merayap seperti Spiderman.
Juga kulihat Imam yang sedikit geram karena gadis yang dicintainya malah melabuhkan pilihannya padaku, dan bolak-balik berkata "Sialan kamu, Bean", menjadi seakan begitu berterimakasih dan berhutang nyawa karena gadis itu lebih memilihku... Aku sudah gila.

Gara-gara aku pacaran, Mahfud yang selama magang kuajak bareng naik sepeda motorku, terpaksa harus bersepeda pancal dari rumahnya di daerah Bohar, Gedangan, Sidoarjo menuju TVRI di Jalan Mayjend Sungkono, Surabaya. Sangat jauh dan aku harus bolak-balik meminta maaf padanya karena alasan cinta. Setiap pagi aku bela-belain menjemput Neny di rumahnya untuk mengantarnya berangkat sekolah. Otomatis, aku datang ke TVRI agak siang. Saat itu Mahfud memang tidak punya sepeda motor dan gara-gara aku ia harus berlelah-lelah bersepeda jarak jauh. Aku masih ingat hal itu dan sampai hari ini aku merasa bersalah.. tapi aku jatuh cinta, Fud..

Neny sebenarnya wanita biasa. Sekolah di SMA 17, anak seorang sopir mikrolet bernama Slamet Wasono, yang tinggal di daerah Semampir, Surabaya. Parasnya cukup menawan, bentuk wajahnya bulat, alisnya tidak terlalu tebal, hidungnya tidak terlalu mancung, rambutnya lurus panjang, bodynya.. aduhai... Bersamanya aku merasakan romantisme lagu berjudul 'Kisah Kasih Lintas Sekolah' (bukan 'Kisah Kasih di Sekolah' karena kami memang pacaran lintas sekolah).

Sayangnya, orangtuanya, terutama Ibunya, kurang mengijinkan aku menjalin hubungan dengannya. alasannya cukup sialan, karena aku hanya anak STM (sebutan SMK pada waktu itu -juga SMK saat itu kurang populer dibanding SMA-), jurusan lukis pula. Ibu Neny membayangkan bila aku kelak hanya jadi pelukis. Beliau tenggelam dalam stereotipe 'pelukis'. Seorang pelukis mana bisa menghidupi anaknya? Padahal pelukis belum tentu hidup miskin; banyak kok pelukis kaya-raya. Dan juga, anak jurusan lukis apa melulu akan jadi pelukis? bisa saja ke depannya ia jadi guru, pemilik advertising, pelaku kreatif, pengusaha cinderamata, pegawai negeri, karyawan TVRI, Presiden, juga pengelola handycraft untuk mahar pernikahan!!!
....Ibu, bila kau setuju, aku, Guruh Dimas Nugraha anak SMK jurusan lukis ini, akan membuat sendiri hiasan mahar pernikahan untuk anakmu... 

Ibunda Neny memalingkan muka dan memberi alasan selanjutnya: Neny masih sekolah.
Berhari-hari kami tetap nekad melanjutkan hubungan, hingga karena tak kuasa melihat tekanan yang begitu berat dari orangtua Neny, maka kami berdua memutuskan untuk berpisah. Neny mengantarku di depan gang rumahnya, menggenggam tanganku sebagai salam terakhir. Basah air mata. Ia terdiam mematung melihatku pergi meninggalkannya. Dari kaca spion aku melihatnya tetap mematung, sampai ia menghilang dari pandangan.

Esoknya, hari-hari yang serba lemas. Aku jadi sedikit emosional namun banyak termenung. Jatuh cinta membuatku gila, putus cinta juga membuatku gila. Mahfud kubonceng lagi setiap harinya. Ia kembali lagi dalam bayanganku semula, seorang yang obsesif terhadap kungfu, sekaligus vegetarian.
Aku punya simpanan uang yang semula kugunakan untuk kepentingan pacaran, namun saat itu aku ingin menghabiskan saja uang itu karena aku tak mau mengingat segala sesuatu dan ingin mengubur bayang-bayang kekasihku yang sudah tak lagi bersamaku.

"Fud, aku punya uang. Ayo kita makan. Aku tahu kamu tidak suka daging ayam. Kalau begitu kamu pesan saja minuman atau kentang. Kita ke KFC!!!"

"Oke"

Saat di KFC, aku memesan ayam goreng dua potong. Aku menoleh ke Mahfud, menanyakan ia mau pesan apa.

"Fud, jadi kamu pesan kentang dan minuman?"

"Tidak. Aku juga dua potong ayam goreng!"

"Lho, kamu kan vegetarian?"

"Aku memang nggak suka dengan daging yang digoreng biasa, dibumbui kuah atau sambal. Tapi jangan salah, aku hanya mampu memakan daging olahan KFC!".

Wtf.. vegetarian nanggung! Hari itu seluruh simpanan uangku habis gara-gara empat ekor ayam goreng, dua minuman soda, satu kentang, dua burger, dan anak penggila kungfu yang pernah memaklumatkan dirinya sebagai vegetarian itu menyantap habis pesanannya.

"Daging adalah sumber hawa nafsu, hawa nafsu harus dimusnahkan.. caranya adalah dengan dimakan"

Setelah terluka karena putus cinta, aku masih dihenyak oleh pernyataan jancukkan semacam itu. Ingin kulempar Mahfud ke arah gerombolan tekstil yang sedang berjalan, lalu kuperintahkan gerombolan itu untuk memukulinya.

Suatu sore di TVRI, Kriswanto yang tahu tentang masalahku mencoba untuk meledek. Aku diam saja dan ia kuanggap angin semata. Setelah puas meledek, perutnya lapar.

"Bean, gak lapar? Mendung gini enaknya makan bakso..."

"Aku nggak mau bakso biasa!"

"Bakso apa?"

"Bakso Babi! Bakso Babi sekalian! Biar haram sekalian! Biar dosa sekalian! Dunia tidak mendukungku! Dunia menutup mata padaku!"

Aku berteriak kesana-kemari seperti orang berorasi di tengah kumpulan kambing congek yang sedang makan rumput. Aku terluka seterluka-terlukanya. Bayang wajah Neny berkelebat dalam keseharianku. Kriswanto menelungkup sambil tertawa. Aku tak peduli.

Perasaan terluka itu terbawa hingga selesai magang. Saat ke sekolah aku melihat sekolahku seperti biasanya. Aku kembali ke kumpulan teman sekelas yang penuh dengan anak-anak aneh.
Masih dengan perasaan terluka, aku masih saja harus kembali menanggung luka dengan bentakan Bu Ellys,

"Guurrruuuuhhhh!!!!!"

"Apa sih bu?"

"Rambutmuuuuuuu!!!!!!"

Ah iya.. Beberapa bulan magang rambutku sudah tumbuh sebahu.....



To be Continued......