Friday, January 4, 2019

Memaknai Akhir Sebagai Awal : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 19 : Tamat)



Episode 19: Memaknai Akhir sebagai Awal

Saat sekolah, apalagi sebelum unas, kami selalu merasa iri melihat kakak-kakak kelas atau alumni yang kebetulan sedang berkunjung ke sekolah. Wajah mereka tampak bahagia dan lepas, seolah beban selama tiga tahun sekolah sudah tak lagi hinggap di kehidupan mereka. Kami pernah mengungkapkan ke-iri hati-an kami pada seorang kakak kelas yang ketika itu kebetulan datang ke sekolah kami. Adam, kakak kelas dari jurusan T.I itu malah mengatakan, 

"justru yang lebih membahagiakan itu masa-masa sekolah, karena keseruan masa-masa itu dengan segala suka-dukanya akan senantiasa mengendap dalam pikiran".
Ucapannya itu terdengar seperti filsuf kesiangan yang masih berusaha mencari pengikutnya. Wajar, karena kami baru mempercayainya bertahun-tahun kemudian.

Saat yang disebut akhir petualangan itu tiba. Hari dimana terakhir kali kami mengenakan seragam sekolah. Saat itu kami dijamu oleh perayaan pelepasan yang cukup meriah. Podium disediakan dan satu persatu siswa terpilih untuk tampil di depan. Arif Catur dari jurusan Grafis berdiri bersamaku untuk menerima sertifikat Pratita. Karya Arif memang bagus, yaitu sebuah papan seluncur plus desain produk dari media gips yang cukup besar, sedangkan aku masih bertanya-tanya, apa yang ada dalam pikiran para juri sehingga Slinky Dog-ku yang nggak ngalor nggak ngidul itu bisa menggigit sertifikat ini, sedangkan karya siswa lain masihlah jauh lebih bagus. Aneh....

Suci, jurusan grafis tampil sebagai siswi peraih nilai terbaik, dan Tompel tak dinyana berhasil mewakili jurusan seni rupa; dan wajahnya itu menunjukkan suatu kebanggaan, ia adalah pemenang yang berhasil menyisihkan para kontestan berjumlah enam orang.

Dimas, siswa yang berjasa sebagai produsen kunci jawaban unas, malah tidak berkesempatan naik podium, ia kalah beberapa nilai saja dari Suci. Aku masih ingat ketika mendengar ayahnya berkata,

"kamu kok nggak rangking satu sih, Dim?"

Dimas hanya menjawab perlahan, "nggak tahu juga, yah.." 

Aku bisa merasakan batinnya sedang protes keras, bahwa Tompel yang diberinya jawaban unas malah naik panggung, sedangkan ia hanya berdiri termangu. Bisa dimaklumi karena memang Dimas ada dalam kelas grafis, bersaing nilai dengan Riris dan Suci; sedangkan Tompel hanya bersaing dengan enam anak jurusan seni rupa yang sekedar bisa menghitung jumlah kembalian segelas es teh di warung Bu Suko dengan benar saja sudah berasa menjadi ahli kalkulus macam Wilhelm Leibniz.

Kami semua dikumpulkan dalam perayaan pelepasan itu. Para siswa bersalaman dengan kawan-kawan lain, juga dengan para guru. Kami takkan pernah lupa jasa dan kesabaran mereka selama tiga tahun.
Setelah usai, kami sibuk menandatangani seragam-seragam kami dengan spidol dan pilog. Khas perayaan anak SMA, namun kami tidak mengadakan acara macam konvoi karena sepeda motor kami rata-rata butut dan mudah mogok.

Setelah lulus sekolah, hari-hariku lebih banyak kuisi dengan kegiatan bermusik. Sempat pula aku melanjutkan studi di sastra Indonesia, Unair, kemudian mengajar di beberapa sekolah, seperti Smpk St Vincentius, Smk Trisila, Ponpes Amanatul Ummah sebagai guru teater, menjadi wartawan Surabaya Post, hingga dipasrahi untuk mengelola toko buku milik Unair. 

Selama bertahun-tahun itu aku masih sering bertemu dengan kawan-kawanku semasa SMA, seperti Mahfud dan Tompel yang rumahnya memang dekat dengan rumahku, Krisna jurusan grafis juga beberapa kali berkabar, ia sekarang jadi desainer jempolan. Arif Catur juga kerap main PlayStation di rental depan rumahku, si manis Riris sudah memiliki seorang anak (sekarang dua), dan pernah kutemui di rumahnya, ia tampak semakin manis. Sedikit lebih gemuk dan itu membuatnya terlihat anggun karena semasa SMA dulu ia sangat kurus. Riris juga bekerja sebagai desainer perhiasan di Surabaya.

Kawan-kawan lain seperti Kriswanto, yang sebelumnya tak kuketahui kabarnya, tiba-tiba mengirim pesan singkat dan memberitahu bahwa ia sedang menempuh studi di UNIPA dan sekarang menjadi guru seni rupa.

Suci, sudah menikah dan memiliki seorang anak. Ia kuliah di UNESA, menjadi guru di kota asalnya, Banyuwangi.

Dimas Ari kuliah di UNESA dan kini menjadi guru di almamaternya sendiri, SMSR atau SMKN 11 yang kini menjadi SMKN 12. Sekolah kami dulu.

Mat Pa'i kudengar sedang berada di Jakarta; tak tahulah, kurasa mungkin ia bergabung dengan komunitas penyebar hoax disana.
Soal kejahilan Mat Pa'i, aku masih ingat ketika ia mengompori Heru Kolet, mantan pacar Dina semasa SMA, bahwa aku pernah datang ke rumah Dina di Lawang, Malang, padahal setelah lulus sampai beberapa tahun, aku tak sekalipun mendengar kabar dari Dina. Walhasil, gara-gara dia Kolet menemuiku dan mendesakku untuk mengatakan keberadaan mantannya itu. Akupun jadi bingung saat didesak, karena memang aku tidak tahu sedikitpun tentang keberadaannya. Kolet kecewa karena dikiranya aku tidak jujur, hingga aku tanyakan padanya tentang info itu didapat dari siapa, ternyata memang benar, berasal dari mulut Mat Pa'i, seorang anak yang jadi sumber segala kericuhan.
Aku jadi bertanya-tanya, apakah di seluruh dunia ini hanya Kolet seorang yang percaya dengan Mat Pa'i? 

Dari sekian banyak dampak negatifnya, media sosial nyatanya juga berperan menyambung tali silahturahmi. Setelah beberapa tahun, akun bernama Maleeka Al Tair Megaluna tiba-tiba mengirim inbox, dan ternyata pemilik akun tersebut adalah Dina! Kami saling bertegur sapa ketika itu. Kuketahui ia sudah menikah dan memiliki anak, sekarang tinggal di daerah Lawang, di kota Malang. Sayangnya, pelbagai postingan yang ditulisnya di medsos sebagian besar merupakan keluhan receh dan tumpah menumpah aibnya sendiri. Mulai dari postingan tentang tetangga binal, persoalan ranjang, utang-piutang, ketidakberdayaan yang amat sangat, isak tangis yang menghujam dan lain semacamnya. Satu dari sedikit postingannya yang bisa dinikmati hanyalah ketika ia memposting barang-barang dagangannya.
Namun dari semua itu aku paham, bahwa ia sekedar membutuhkan teman curhat yang baik untuk menumpahkan keruwetan isi kepalanya. Apabila di kemudian hari ia tak juga menemukannya, maka segala keluhannya itu akan tetap tumpah ruah di media sosial, menjadi konsumsi publik dan panggung opera para penyuka gosip.

Mahfud sendiri yang awalnya obsesif terhadap kungfu namun pendiam, sekarang sudah mulai meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia berubah menjadi banyak omong karena jasa Tompel, dimana mereka berdua sama-sama mengajar sebagai guru lukis dan sering berdiskusi bersama. Mahfud sekarang memiliki kekasih yang imut dan ginuk-ginuk, mau menikah, serta sibuk berkarya sambil mengasuh keponakan yang nakalnya luar biasa.

Hariono kudengar dari kawan-kawan, ia membantu usaha kakaknya sebagai penghias karangan bunga di daerah Kayun, Surabaya.
Pernah suatu kali Hariono mengirimkan pesan singkat:

"Guruhakumaupmrantungalayoruhikutanpmrantungal"

Terjemahan:

"Guruh, aku mau pameran tunggal. Ayo Ruh, ikutan pameran tunggal".

Har, yang namanya pameran tunggal itu tidak bersama-sama, namun hanya seorang saja; begitu balasan smsku, dan setelah itu ia tak pernah membalasnya lagi. Nomornyapun juga sudah tidak aktif.

Imam tak pernah kudengar kabarnya. Hanyalah kabar tentang kepindahannya ke Porong, sesaat sebelum drop out dari sekolah, dan Porong sekarang merupakan daerah yang terdampak lumpur Lapindo.

Paulus sekarang giat berkarya dan menjadi seniman tattoo terkemuka di Bali. Customernya berasal dari dalam dan luar negeri. 

Ketika aku jadi wartawan, aku pernah meliput Paulus, dan profilnya itu dimuat dalam satu halaman besar di Surabaya Post.

Yoppy 'Semprong' benar-benar menjadi seniman tulen. Ia kebanjiran order melukis. Puluhan kafe dan restoran, bahkan ratusan customer pernah memakai jasanya. Karya raksasanya sempat viral, dipakai para bonek Persebaya dan pernah diliput televisi nasional. Agaknya ia jadi ikon seniman bonek pula.

Anak-anak grafis, tekstil dan jurusan lainnya kerap kusapa di media sosial. Mereka hidup dengan bahagia, berkeluarga, serta membuatku berpikir bahwa waktu dimana kami SMA dulu walaupun sudah lama berlalu namun rasanya sangat cepat, hingga tersadar bahwa kami sekarang sudah dalam keadaan kawin-mawin beranak-pinak.

Tompel? Ia tak henti-hentinya mengingatkan kepada siapa saja bahwa ia dulu adalah sosok yang paling berjasa memberikan contekan Unas. Selalu itu yang dikatakannya dari tahun ke tahun, dari zaman ke zaman, hingga punya istri dan seorang anak.
Pernah pula ketika aku datang ke rumahnya bersama anak dan istriku untuk menjenguk anaknya yang baru lahir, ia datang menemuiku, dan di ruang tamu sambil menimang anak bayinya, ia berkoar,

"Ini lho nak, teman bapak. Dulu waktu Unas, Bapak yang ngasih contekan..."

Bayangkan, bayi sekecil itu perlu tahu apa tentang Unas bapaknya??
Karena kebiasaannya itu aku jadi membayangkan begini:

Bertahun-tahun kemudian, Tompel yang sudah sangat tua dan sakit-sakitan, tergeletak di ranjang dan berpesan agar anak cucunya mengumpulkan seluruh kawannya semasa SMA.
Usulannya dipenuhi. Kami mengelilingi ranjang Tompel dan mendengar pesan terakhirnya.
Dengan bibirnya yang bergetar dan suaranya yang parau, ia berkata kepada kami:

"Rek, eling.... Rek... aku... dulu... yang.. mem.. beri.. kan.. kalian... coon.. tee... kaan.. un.. ass..."

Tompelpun menghembuskan nafas terakhirnya. Kami, kawan-kawannya semasa SMA yang juga telah tua-tua, sekalipun jengkel, namun kami tetap bersedia untuk bahu-membahu membantu proses pemakamannya.

Setelah kematiannya, arwah Tompel melayang-layang di udara, kemudian dihadang oleh seorang malaikat. Malaikat itu berkata kepada Tompel.

"Berhenti kau, kisanak! Aku membawakanmu kabar baik dan kabar buruk!"

Arwah Tompel terkejut namun tidak berani bertanya lebih jauh. Malaikat itu melanjutkan,

"Kabar baiknya, Tuhan telah memutuskan bahwa tempatmu adalah di surga!"

Mendengarnya, arwah Tompel girang bukan kepalang. Ia akhirnya bertanya,

"Wahai Malaikat, mengapa aku ditempatkan di surga?"

"Itu karena jasa-jasamu memberikan contekan Unas pada teman-teman sekelasmu!"

Tompel kembali girang. Arwahnya tertawa-tawa dan salto kesana-kemari.

"Tunggu, masih ada kabar buruk untukmu!"

Tompel terkejut. "Bagaimana kabar buruknya, wahai Malaikat?"

"Kabar buruknya, keputusan itu dibatalkan karena selama hidup kau terlalu sering mengungkitnya".

---

Itulah kisah tentang kenangan kami yang menjejal di benak dan terlontar dalam tiap kalimat.
Masa SMA adalah sebuah masa dimana ingatan tentangnya begitu memenuhi ruang memori dalam pikiran.
Bahkan, meskipun kami jarang bersua dalam bingkai pertemuan, kami masih dapat memaknai warna-warni kenangan.

2005 juga bukanlah masa dimana kami menyatakan perpisahan, melainkan sebuah masa yang menuntun kami untuk merajut perjumpaan dalam wajahnya yang sama sekali baru. 

Kamipun yakin bahwa cerita kami, alumni SMKN 11 Surabaya (SMSR) angkatan 2005, takkan pernah....


Tamat.


Theme song video: Naif - Hidup itu Indah.

No comments:

Post a Comment