Thursday, January 3, 2019

Ujian Nasional : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 18)




L' Aurora by Salvador Dali

Episode 18 : Ujian Nasional

Ujian Nasional pada masa itu adalah momok menakutkan bagi para pelajar. Bayangkan, tiga tahun menuntut ilmu harus dipertaruhkan dalam waktu tiga hari saja. Jika sampai tidak lulus, sia-sialah upaya sekolah selama tiga tahun itu. Apalagi, nilai minimal Unas pada tahun 2005 adalah 6. Jika nilai yang didapat dibawah 6 maka siswa akan tidak diluluskan. Tidak lulus sama artinya dengan ikut remidi. Jika tetap gagal, maka akan dikeluarkan dari sekolah. Tamatlah sudah.

Setelah mengikuti berbagai ujian praktek, kami mendatangi Dimaz Ari, Riris dan Suci yang selama tiga tahun ini berperan menjadi narasumber pemasok kunci jawaban soal-soal ulangan. Kami semua meminta mereka untuk tetap menjalankan perannya saat Unas nanti.

"Eling Ris, Dim, Ci, awak dewe seduluran lho yo...," Pinta kami serempak. Mereka bertiga mengiyakan.

Hari-H ujian nasionalpun tiba. Kami bersyukur bahwa anak jurusan seni rupa ditempatkan satu kelas dengan anak grafis, namun kabar buruknya, Suci ditempatkan di kelas sebelah, duduk bersama anak-anak jurusan T.I. Walhasil, kami sekelas hanya mengandalkan Dimas Ari dan Riris demi kelangsungan hidup kami di sekolah itu.

Posisi dudukku cukup menguntungkan. Aku ada di bangku ketiga pada baris ketiga. Tiga anak di depanku, ada Dina, Tompel dan Dimas, sedangkan persis dibelakangku adalah... Hariono (hanya dia yang merepotkan). Riris ada di bangku paling belakang di baris pertama. Dua bangku di sebelahku. Jadi aku bisa menoleh ke depan dan ke samping kiri ketika sedang membutuhkan kunci jawaban.

Tompel duduk dalam posisi paling mujur karena ia berada tepat dibelakang Dimas. Ia berperan menerima supplai jawaban darinya dan menyalurkannya ke kawan-kawannya di belakang. Cukup menguntungkan karena Tompel berani tampil dengan suara keras dan gesture yang komunikatif sehingga kawan-kawan paham semua kunci jawaban yang diterimanya dari Dimas. Sedangkan Dimas sendiri tidak pernah kami ganggu karena ia selayaknya tenggelam dalam pikiran-pikiran cemerlangnya untuk mengurai soal dan menemukan jawaban. Ia kulihat hanya setengah berbisik kepada Tompel saat sudah menemukan jawabannya.

Riris di belakang, ternyata juga bergantung pada jawaban Dimas. Ia mulanya mengerjakan sendiri soal-soalnya, namun ternyata ia malah menghapus jawabannya ketika jawabannya itu tidak sesuai dengan jawaban Dimas.

"Riris, nomor duapuluhenam jawabannya apa?," Aku tanya padanya.

"B".

Akupun melingkari opsi 'B' pada lembar jawabanku.
Tidak lama, Tompel memberitahukan jawaban nomor duapuluhenam yang diterimanya dari Dimas, yaitu 'D'.

"Riris, jawabannya Dimas kok 'D'?"

Gadis manis itu tampak mengernyitkan dahi lalu bertanya padaku,

"Apa? Apa jawaban Dimas?"

"D"

Riris lalu menatap soalnya sendiri dan tiba-tiba saja menghapus jawabannya. Jadinya aku juga menghapus jawabanku yang semula ikut apa kata Riris. Rupanya Riris lebih percaya pada jawaban yang diberikan oleh Dimas. Aku jadi menggaruk-garuk kepalaku dan merubah fokus kearah Dimas.
Semua anak menggantungkan nasibnya pada Dimas yang dikomunikasikan oleh Tompel. Sesekali ia memperlihatkan telunjuknya, tanda jawaban 'A', atau dua jari sebagai 'B', tiga jari sebagai 'C' dan seterusnya. Tiga hari itu kami mengikuti ujian dengan metode yang sama, mirip seperti alur perdagangan bisnis: Dimas (produsen) - Tompel (distributor+konsumen) - Teman Sekelas (konsumen).

Hari ketiga adalah hari yang paling riuh karena kami mengerjakan mapel unas tersulit yang aku sendiri bahkan bersumpah tidak akan membuka soal itu sama sekali. Menurutku, membuka soal adalah tindakan percuma karena sekalipun dibuka dan dibaca, aku tetap tidak paham isi dan jawabannya. Itulah matematika, mata pelajaran paling horor sepanjang masa.

"Yang mau nyontek silahkan nyontek, tapi jangan rame-rame," ujar pengawas
ruangan. Mungkin beliau paham tentang momok unas dan konsekuensi yang diterima siswa apabila sampai tidak lulus.

Tiga hari mendebarkan itupun telah kami lewati bersama. Selang beberapa hari kemudian pengumuman telah tertempel di mading sekolah. Semua siswa lulus ujian! Hanya menyisakan seorang siswa dari jurusan logam. Diantara sekian banyak siswa, hanya satu siswa itu yang tidak lulus.

Kami menyambut pengumuman itu dengan riang gembira. Tompel dari belakang datang dan melihat namanya masuk dalam daftar siswa yang lulus ujian.
Iapun menepuk-nepuk dadanya dan berlagak pongah sambil menunjuk ke arah kawan-kawannya.

"Hei, ingatlah kalian semua, ini aku, Bagus Pribadi alias Tompel yang telah berjasa memberikan contekan kepada kalian semua!!!"
Perkataan yang terus menerus diucapkannya dari tahun ke tahun, setiap bertemu siapapun, bahkan tetap diucapkannya sampai ia telah beranak-pinak.


To be continued...

No comments:

Post a Comment