Wednesday, July 15, 2020

Ranggawuni dan Mahisa Campaka

Suatu siang sebelum diadakannya upacara keagamaan untuk Raja, istana Singhasari dipenuhi oleh para pejabat tinggi kerajaan. Mereka semua menghadap pada Apanji Tohjaya, junjungan mereka yang naik tahta berkat siasat licik sabung ayamnya. Raja itu berhasil menyingkirkan Apanji Anengah Anusapati, raja sebelumnya.

Pranaraja, orang kepercayaan Tohjaya hadir dalam perjamuan itu. Tampak pula kedua cucu Ken Dedes : Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Ranggawuni adalah anak dari Anusapati, sedangkan Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wongateleng, saudara Tohjaya lain ibu. Kedua-duanya masih terhitung sebagai kemenakan Sang Raja.

Setelah perjamuan istana bersama para pejabat usai, Pranaraja dipanggil oleh Raja Tohjaya dan diajaknya berbincang.

"Pranaraja, bagaimana pendapatmu bila melihat kedua kemenakanku itu? Mereka bagus rupanya dan gagah pula perawakannya. Mungkinkah nantinya mereka akan jadi musuhku?," tanya Tohjaya pada Pranaraja. Raja baru itu selalu menaruh dengki dan curiga pada kedua kemenakannya. Ia dibayang-bayangi pikiran tentang pemberontakan kedua Pangeran itu yang secara garis keturunan sebenarnya lebih berhak atas tahta ketimbang dirinya yang hanya merupakan anak selir.

"Memang benarlah pikiran Tuanku. Hamba melihat mereka berdua seperti layaknya bisul yang tumbuh di pusat perut. Bila dibiarkan akan menjadi celaka di kemudian hari," jawab Pranaraja.

Tohjaya tampak merenungi jawaban Pranaraja. Sesaat kemudian ia memerintahkan orang kepercayaannya itu,

"Bawa Lembu Ampal kemari!".

Pranaraja segera memanggil dan menghadapkan Lembu Ampal pada Sang Nata. Apanji Tohjaya berdiri sembari menatapnya dengan tajam. Lembu Ampal bersiap atas segala titah yang akan diterimanya.

"Lembu Ampal, aku ingin engkau melenyapkan Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Entah bagaimana caramu, yang penting keduanya binasa," perintah Tohjaya.

"Titah paduka akan hamba junjung di atas batu kepala hamba," ujar Lembu Ampal.

"Tapi jika kau tidak berhasil melenyapkan keduanya, maka aku sendiri yang akan melenyapkanmu," ancam Sang Raja.

Lembu Ampal kembali berhatur sembah. Di kepalanya muncul keringat dingin. Ia tak boleh gagal, pikirnya.

Tanpa sengaja perbincangan itu didengar oleh seorang Brahmana yang kebetulan sedang menyiapkan sarana-sarana upacara. Brahmana itu menaruh belas kasihan terkait nasib kedua Pangeran yang dianggapnya tak berdosa itu. Dengan segera ia bergegas mencari keberadaan keduanya. Setelah ditemukan, brahmana itu mengajak kedua Pangeran untuk berbincang bersama.

"Ananda Pangeran, secara tidak sengaja hamba tadi mendengar ucapan Sang Nata Tohjaya. Lembu Ampal diperintahkan untuk melenyapkan nyawa ananda berdua. Maka dari itu ananda sebaiknya berhati-hati," ujarnya.

"Apa salah kami sehingga kami hendak dibunuh, wahai Dang Hyang Brahmana?," tanya Ranggawuni.

"Paduka telah mencermati bahwa secara garis keturunan, ananda berdua lebih pantas menduduki tahta Singhasari. Ananda berdua adalah cucu Batara Amurwabhumi dan Paramesywari Ken Dedes; terlebih ananda Pangeran Ranggawuni adalah keturunan langsung dari Batara Anusapati, Sang Nata sebelum Paduka Tohjaya".

"Lantas apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan diri?," tanya Mahisa Campaka.

"Bersembunyilah, ananda. Carilah seseorang yang menaruh kepercayaan kepada ananda berdua, kemudian berdiamlah disana sembari mengatur siasat".

Seusai brahmana itu pergi, Ranggawuni dan Mahisa Campaka segera berbicara empat mata. Karena mereka khawatir brahmana itu berbohong, lalu atas kesepakatan berdua, mereka mendatangi kediaman pejabat Singhasari yang menaruh kepercayaan tinggi kepada keduanya. Orang itu bernama Panji Patipati.

"Pangeran berdua sebaiknya bersembunyi di kediaman hamba. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Tuan brahmana bahwa Paduka Tohjaya sedang mengincar nyawa ananda berdua," ujar Panji Patipati. Ia ternyata telah mengetahui ihwal rencana pembunuhan itu.

Ranggawuni dan Mahisa Campaka akhirnya berdiam dan bersembunyi di rumah Panji Patipati dalam waktu yang cukup lama. Pintarlah Panji Patipati dalam menyembunyikan kedua Pangeran itu hingga tak satupun orang yang tahu tentang keberadaan mereka. Lembu Ampal yang ditugaskan menjadi jagal juga kebingungan mencari-cari kedua Pangeran itu. Karena terlalu lama, Raja Tohjaya memanggilnya.

"Lembu Ampal, apa yang kau kerjakan sehingga sampai hari ini aku tak mendengar kabar tentang keberhasilan usahamu?," bentak Tohjaya kepada Lembu Ampal. Perwira itu ketakutan dan memohon ampun.

"Dalam tiga hari ini apabila aku tidak mendengar adanya pembunuhan itu, maka aku sendiri yang akan membinasakanmu!," ancam Sang Raja.

Lembu Ampal berhatur sembah. Ia bergidik ketakutan. Dalam keadaan putus asa karena tak bisa menemukan keberadaan kedua pangeran, Lembu Ampal memutuskan untuk lari dan bersembunyi di kediaman kerabatnya yang letaknya persis di sebelah rumah Panji Patipati. Panji Patipati rupanya tahu bahwa Lembu Ampal sedang bersembunyi di rumah tetangganya itu. Iapun mendatanginya dan menemukan Lembu Ampal sedang duduk menyendiri sembari merenung. Sang perwira terkejut melihat kedatangan Panji Patipati, lalu memberi hormat dengan penuh rasa khawatir dan takut. Panji Patipati berusaha menenangkannya.

"Apakah maksud kedatangan Tuan kemari hendak memberitahukan keberadaan hamba pada Sang Nata?," tanya Lembu Ampal setengah panik.

"Lembu Ampal, aku tahu bahwa telik sandi Paduka Tohjaya telah dikerahkan untuk mencari keberadaan Pangeran Ranggawuni, Pangeran Mahisa Campaka dan dirimu sendiri. Kedatanganku kemari justru bertujuan ingin melindungimu; namun penuhilah syaratku bila kau mau selamat"

"Hamba akan menuruti segala perintah Tuan. Berkenanlah Tuan menyebutkan syarat itu"

Panji Patipati tersenyum, kemudian memberikan syaratnya,

"Aku tahu persis dimana keberadaan Pangeran Ranggawuni dan Pangeran Mahisa Campaka. Menghambalah pada keduanya. Hanya itu saja syarat yang kuberikan".

Lembu Ampal terkejut. Ia tak mengira bahwa Panji Patipati mengetahui keberadaan kedua Pangeran yang selama ini diincarnya. Tanpa pikir panjang Lembu Ampal menyetujui syarat itu. Panji Patipati kemudian mengajaknya bertemu dengan kedua kedua cucu Ken Dedes itu di kediamannya. Lembu Ampal bersujud memohon ampun sembari menangis,

"Panjang umurlah Pangeran berdua. Hamba mohon ampun. Mulanya hamba diperintah oleh Paduka Tohjaya untuk membunuh Pangeran berdua. Kini, hamba bersumpah untuk mengabdikan jiwa dan raga hamba sepenuhnya," ujar Lembu Ampal.

"Jika memang demikian sumpahmu, maka kau akan berdiri di garis depan dalam merencanakan siasat perebutan kekuasaan," ujar Ranggawuni. Lembu Ampal mengangguk takzim.

Semua yang hadir di kediaman Panji Patipati mendiskusikan rencana-rencana yang akan mereka lakukan demi menyingkirkan Apanji Tohjaya dari tahta. Dalam situasi bersembunyi dan terasing dari lingkungan kerajaan, tentu mereka butuh pasukan untuk mengimbangi kekuatan pasukan Raja. Pada kesempatan itu Lembu Ampal mengutarakan taktik untuk mendapatkan pasukan secara cuma-cuma. Taktik itu berbahaya, namun jika berhasil akan sangatlah mudah mencapai tujuan utama.

"Hamba mohon izin untuk berangkat menuju Rajasa," ujar Lembu Ampal sembari menghaturkan sembah pada Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Mereka berdua melepas kepergian sang perwira yang termahsyur dengan kemampuan berlari yang tak tertandingi itu.

Lepas tengah malam Lembu Ampal berjalan mengendap-endap, kemudian dengan cerdik berhasil keluar dari gerbang Singhasari. Ia meneruskan perjalanannya dengan membawa sebilah pedang, masuk ke sebuah pemukiman bernama Desa Rajasa. Disana ia menusuk beberapa laki-laki yang dilihatnya. Warga Rajasapun menjadi marah dan mengejarnya. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju pemukiman tetangga yang bernama Desa Sinelir. Karena melihat sang penusuk berlari masuk ke Desa Sinelir, maka terdengar teriakan-teriakan mereka,

"Orang Sinelir telah membunuh orang Rajasa!".

Menjadi gegerlah perkampungan Sinelir oleh karena tuduhan warga Rajasa. Akhirnya warga dari kedua desa bersama-sama mencari sang pelaku, namun tidak ditemukan. Warga kedua desa akhirnya pulang ke rumah masing-masing dengan saling menaruh curiga.

Esoknya, Lembu Ampal pergi ke desa Sinelir. Pedang tajam diikatkan di punggungnya; dan seperti yang dilakukannya pada warga Rajasa, ia mengamuk di Sinelir, menebas beberapa laki-laki yang dilihatnya. Wargapun berbondong-bondong mengejarnya. Ia berlari kencang. Sangatlah cepat larinya hingga tak satupun warga yang dapat menerka wajah dari pembunuh itu. warga Sinelir terus mengejarnya hingga melihat pembunuh itu masuk ke Desa Rajasa. Warga Sinelir mengeluarkan teriakan-teriakan,

"Orang Rajasa telah membunuh orang Sinelir!"

Kedua warga akhirnya bertemu dan bersitegang. Mereka menganggap terdapat aroma dendam pada tragedi penusukan itu. Rusuhlah mereka semua. Tak terhitung bunyi denting parang, golok dan tak sedikit pula yang tewas. Pertikaian antar desa itu sampai juga ke telinga Raja Tohjaya. Raja itu mengutus orang untuk melerai, namun tak berhasil. Iapun segera menyiapkan pasukan untuk membumihanguskan kedua desa.

Ranggawuni dan Mahisa Campaka tersenyum mendengar kabar itu. Tahap pertama siasat Lembu Ampal telah berhasil. Kerusuhan itu memang sengaja dibuat untuk memuluskan rencana besar : penggulingan tahta Raja.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Bunga Rampai 700 Tahun Majapahit karya Sartono Kartodirdjo dkk

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

Siasat Tohjaya

Kalender Saka menunjukkan tahun 1170. Tibalah saatnya upacara pelantikan Sang Apanji Anengah Anusapati sebagai Raja baru kerajaan Singhasari. Raja baru itu menggantikan Ken Arok, Raja pertama yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Bathara Amurwabhumi. Anusapati berhasil melaksanakan siasat jitu yang menyingkirkan ayah tirinya dari tahta kerajaan. Selama Anusapati menjadi Raja, ia selalu menaruh curiga pada siapapun. Berhati-hatilah segala sikap dan tindak tanduk Raja itu. Sebagai perlindungan, Anusapati sengaja membuat kolam melingkar yang mengelilingi bilik peraduannya. Tak cukup sampai disitu, ia juga menyuruh para penjaga yang paling kuat, mahir beladiri dan olah senjata untuk ditempatkan sebagai penjaga utama di luar bilik.

Apanji Tohjaya, anak sulung perkawinan Ken Arok dan Ken Umang menaruh dendam kepada Anusapati. Ia tahu benar bahwa pelaku pembunuh ayahnya adalah Anusapati sendiri.

Tohjaya merencanakan siasat untuk menyingkirkan Anusapati dari tahta kerajaan. Ia telah mendapat banyak cerita, terutama dari Ibunya, Ken Umang, bahwa di pinggang kakak tirinya itu terselip keris bertuah buatan Empu Gandring. Tergores sedikit saja karena tajamnya keris itu, maka kematianlah akibatnya. Maka dari itu Tohjaya yang mengetahui bahwa keris itu pernah dipakai Anusapati untuk membunuh ayahnya, akan dipakainya pula untuk membalas dendam; selain itu Tohjaya mengetahui kegemaran kakak tirinya terhadap pertandingan sabung ayam. Rencanapun segera disiapkan dengan cermat.

Berdasarkan perhitungan hari baik, Tohjaya keluar dari kediaman sembari membawa ayam jantan peliharaannya. Ia berjalan menuju bilik Raja Anusapati. Di dalam biliknya, Anusapati tertawa riang melihat saudara tirinya itu membawa ayam jantan. Tak secuilpun kecurigaan tampak dalam pikirannya. Ia langsung menyambut kedatangan Tohjaya.

"Adinda Tohjaya, apakah kedatanganmu kemari hendak mengajakku untuk menyabung ayam?," tanya Anusapati.

"Sangat betul pikiran kakanda paduka. Mari menyabung ayam untuk menghibur hati," ucapnya dengan memasang wajah ramah dan bersahabat.

Anusapati senang bukan kepalang. Soal sabung ayam memang telah menjadi kegemarannya sejak lama. Iapun memerintahkan abdinya untuk mengambil ayam jantan miliknya. Segera setelah abdinya datang untuk membawakan ayam jantan, Sang Raja hendak menggendong ayam itu di ketiaknya; saat itulah Tohjaya menasehatinya,

"Kakanda Raja, keris yang terselip di pinggang kakanda sebaiknya dititipkan dulu padaku. Sebab tak elok jika keris sebaik itu terkena bulu-bulu ayam atau malah mengganjal tubuh ayam yang sedang digendong; juga menurut hemat saya, agar kakanda bisa bergerak bebas tanpa ada ganjalan," ujar Tohjaya.

Anusapati yang sedikitpun tak menaruh rasa curiga akhirnya menitipkan keris itu pada Tohjaya, dan Tohjayapun menyelipkan keris itu di pinggangnya. Anusapati menggendong dua ayam jantan kesayangannya, dihimpit di sela-sela antara lengan dan ketiaknya. Berjalanlah Sang Raja menuju arena sabung ayam. Tohjaya mengikutinya dari belakang.

Saat di arena, mulailah keduanya mengadu ayam masing-masing. Tampak giranglah Anusapati dibuatnya, apalagi ayamnya memang perkasa. Berbeda halnya dengan Tohjaya. Kegembiraan putra Ken Umang itu semata terjadi karena kepura-puraan. Ia tetap mengamati keadaan dan kelengahan saudara tirinya itu. Ketika kegirangan itu membuat Anusapati lupa akan segala-galanya, saat itulah Tohjaya menangkap saat yang tepat. Ia memutar perlahan menuju tempat yang tepat berada di belakang Anusapati, kemudian dengan tangan kirinya, ia mengunci leher Sang Raja. Tangan kanannya mencabut keris Gandring dari pinggangnya lalu ditusukkannya keris itu ke tubuh kakak tirinya. Darah membuncah. Suasana gembira pertandingan sabung ayam mendadak berubah menjadi jerit kepanikan, tak terkecuali para petinggi dan pasukan kerajaan. Tohjaya melepaskan kuncian lehernya. Tubuh Anusapati yang sudah tak bernyawa menggelosor di tanah. Ia tersenyum puas kemudian mengacungkan keris Gandring itu kepada mereka semua yang ada disana.

"Sang Prabu telah kubunuh. Aku telah menuntaskan dendamku atas perbuatannya pada ayahandaku, sang Bathara Amurwabhumi. Kini sembah sujudlah kalian semua, karena akulah penguasa baru tahta Singhasari".

Para prajurit dan para petinggi tak dapat berkata apa-apa. Mereka rupanya juga banyak tahu bahwa Anusapati adalah dalang utama pembunuhan Sang Nata Amurwabhumi. Di satu sisi, ternyata Apanji Tohjaya juga beroleh dukungan dari para abdi dan pengikutnya yang telah bersekongkol. Para abdi dan pendukungnya itu dengan segera berdiri berjajar di samping dan di belakangnya.

Tombak-tombak diletakkan, pedang-pedang kembali disarungkan. Mereka semua menghaturkan sujud takzim kepada Tohjaya yang masih dalam posisi menghunus keris Gandring dengan darah segar yang menetes dari ujung tajamnya.

Malam setelah peristiwa berdarah itu berlangsung, Apanji Tohjaya pergi berjalan bersama semua abdi menuju istana dan langsung duduk di atas singgasana kerajaan. Mahkota raja dikenakannya di kepala. Peristiwa tragis kematian Anusapati terjadi pada tahun 1171 Saka. Sang Apanji Anengah Anusapati diperabukan di candi Kidal, dan semua percaya, peristiwa-peristiwa berdarah masih akan terjadi hingga ujungnya ketika kutukan keris Gandring itu tergenapi.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Bunga Rampai 700 Tahun Majapahit karya Sartono Kartodirdjo dkk

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

Senja di Ujung Tahta

Sang Apanji Anengah Anusapati mengintip dari balik sebuah bilik di kedaton Singhasari. Ia melihat pemandangan ayahandanya, Sang Rajasa Amurwabhumi yang tengah bermain dan menimang putra-putrinya di sebuah taman telaga penuh rimbun bunga, yang dihiasi dengan latar belakang menjulangnya dua gunung perkasa penghias alam. Di keindahan lereng Arjuna dan kokohnya Kawi itulah Sang Raja menggendong anak-anaknya secara bergantian dan mencelupkan kedua kaki mungil mereka ke dalam air telaga. Terdengar kecipak dan tawa riang dari bibir-bibir kecil mereka. Apanji Tohjaya, anak tertua dari pernikahan sang ayah dengan selir Ken Umang, tampak membawakan nampan berisi buah dan sayuran. Ia tampak turut bergembira.

Suasana penuh tawa itu rupanya berlainan dengan apa yang dirasakan oleh Apanji Anengah Anusapati. Selama ini ia merasa bahwa sang ayah lebih menyayangi mereka ketimbang dirinya. Suatu kali ia pernah menanyakan hal itu pada Sang Amurwabhumi, namun Sang Raja tak pernah memberi jawaban yang melegakan,

"Lihatlah berapa umurmu sekarang, sudah tak layak lagi kau dimanja!".

Anusapati bahkan mengalami sendiri bahwa sejak kecil perlakuan ayahnya begitu sinis terhadapnya, seakan ia bukan anak kandungnya. Selama ini pula ia selalu mengeluh kepada Paramesywari Ken Dedes, Ibunya, namun berkali-kali ia disuruhnya untuk bersabar. Karena sudah meluap hingga ubun-ubun, iapun bertanya kepada pamongnya yang paling tua. Pamong ini telah turut mengabdi sejak Sang Amurwabhumi masih dipanggil dengan nama Ken Arok, yang ketika itu menjabat sebagai Senopati Tumapel.

Ketika ditanyai, sang pamong hanya menarik nafas panjang. Ia menoleh kesana-kemari seperti mencoba menyusun kata-kata yang baik untuk dapat ia utarakan; namun raut wajah sang Pamong tak dapat disembunyikan. Ia tentu tahu banyak perihal segala rahasia yang disimpan Sang Amurwabhumi tentang dirinya.

"Mohon ampun, Pangeran. Menurut hemat hamba, selayaknya Pangeran menanyakan itu kepada Rani Paramesywari. Hamba hanya Pamong, tentulah hamba tak memiliki kepantasan untuk berbicara tentang keluarga kerajaan," jawabnya.

Anusapati tahu bahwa lontaran tutur sang Pamong menunjukkan bahwa ada rahasia menyangkut dirinya yang telah sekian lama disembunyikan rapat-rapat. Iapun segera menuju bilik peraduan Sang Ibu. Ia menangis sesenggukan sembari berhatur sembah. Rani Paramesywari Ken Dedes duduk di tepi peraduan kemudian membelai kepala anak itu di pangkuannya.

"Apakah kiranya yang kau risaukan, anakku?," tanya Ibunya.

"Hamba mohon Ibu menjawab dengan jujur, sebenarnya siapakah hamba ini? Mengapa perlakuan sang Nata begitu berbeda terhadap saya?"

Ken Dedes tak menyangka bahwa untuk kesekian kalinya ia mendapat pertanyaan itu. Ia menatap dalam-dalam sosok Anusapati dari kaki hingga ujung kepala. Telah dewasalah putra sulungnya itu.

"Memang sudah cukuplah usiamu, dan mungkin ini saatnya kau harus mengetahui kenyataan tentang dirimu. Ketahuilah, bahwa sebenarnya kau bukan anak kandung Sang Amurwabhumi".

Anusapati terperangah mendengar jawaban itu. Ia terkejut bukan main, rasanya seperti tersambar geledek.

"Lantas, siapakah ayah hamba?"

"Ayah kandungmu adalah Bapa Tunggul Ametung. Dulunya Bapamu adalah akuwu Tumapel. Sang Nata pernah mengabdi padanya dan diangkat menjadi senopati kerajaan"

"Dimana ayah sekarang? Apakah masih hidup atau sudah wafat?"

"Ayahmu sudah wafat"

"Mengapa ayah wafat? Apakah terbunuh? Siapa yang membunuhnya?"

"Sang Nata Amurwabhumi yang telah membunuh ayahmu. Lalu setelah kematian ayahmu, Sang Nata memperistri Ibu yang dulu tengah mengandungmu".

Mendengar jawaban itu Anusapati terdiam lemas. Air matanya tumpah mengetahui kenyataan tersebut. Rupanya ia tahu bahwa perlakuan Sang Nata begitu berbeda terhadapnya disebabkan karena ia bukanlah seorang putra kandung.

Sang Pramesywari Ken Dedes bercerita tentang peristiwa terbunuhnya Akuwu Tunggul Ametung dan perihal keris petaka buatan Empu Gandring. Ibunya pun bercerita bahwa keris itu memiliki kutukan tumbal tujuh nyawa. Sang Nata telah menitipkan keris itu pada Ken Dedes.

"Mengapa keris itu dititipkan pada Ibu? Kenapa bukan Sang Nata saja yang membawanya?," tanya Anusapati.

"Sang Nata menyadari bahwa beliau seringkali tak bisa menguasai emosinya. Bilamana keris itu ada di tangannya, Sang Nata khawatir keris itu akan kembali meminta tumbal. Di tangan Sang Nata sendiri keris itu sudah membunuh tiga orang : Empu Gandring, Bapamu Tunggul Ametung dan seorang petinggi kekuwuan bernama Kebo Ijo".

"Jika diperkenankan, biar hamba saja yang membawa keris itu, Ibu," pinta Anusapati

"Akan kaupergunakan untuk apa keris petaka itu?"

"Hamba takut bila di kemudian hari Sang Nata mempergunakan keris itu untuk menghilangkan nyawa hamba. Oleh sebab itu akan lebih baik jika hamba menyimpannya di tempat yang aman"

"Tidak, nak. Sekalipun perlakuan Sang Nata buruk terhadapmu, tetapi ia telah berjanji pada Ibu untuk merawatmu dengan baik"

Anusapati tak puas mendengar jawaban Ibunya. Ia terus memaksa agar keris itu jatuh ke tangannya. Karena terus dibujuk, Ken Dedes pun luluh dan memberikan keris itu pada putra sulungnya.

"Berhati-hatilah. Simpan dengan baik. Bukan tidak mungkin kelak keris ini akan tetap meminta tumbal untuk menggenapi kutukannya".

Anusapati merasa puas. Ia berhasil membawa keris itu, lalu segera berhatur sembah pada Ibunya dan segera pergi meninggalkan bilik. Tinggallah Ken Dedes yang merenung seorang diri. Ia tampak menyesali ucapannya.

"Seharusnya aku tak mengatakan semuanya pada Apanji Anusapati. Jika ia menaruh dendam bukan tidak mungkin ia membuat kekisruhan," begitu ungkapan hatinya; namun ia mencoba untuk tetap berpikir baik. Ia berdoa demi keselamatan orang-orang yang dikasihinya.

Keris Empu Gandring telah ada dalam genggaman Anusapati. Ia duduk di biliknya dan tampak sedang merencakan sesuatu. Lama ia merenung hingga kemudian ia menyuruh abdinya, yakni seorang Pengalasan dari daerah Batil. Ki Pengalasan berhatur sembah kemudian berujar akan melaksanakan segala perintah.

"Ki Pengalasan, selipkan keris ini di pinggangmu dan berangkatlah menuju kediaman Sang Amurwabhumi. Tunggulah sampai Sang Nata lengah, kemudian bunuhlah dengan menggunakan keris ini," ujar Anusapati.

Setelah dijanjikan upah yang tinggi, Pengalasan berangkat menunaikan tugasnya. Saat itu penanggalan tunjuk hari Kamis Pon, Minggu Landep di waktu senja menjelang malam. Sang Pengalasan mengendap-endap masuk istana Amurwabhumi, kemudian menemukan Sang Raja sedang bersantap dengan lahap. Ia melakukan segala persiapan dengan tenang. Tangannya telah diletakkan pada gagang keris Gandring dan tinggal menunggu waktu untuk dicabut dari sarungnya. Ia menunggu dan terus menunggu.

Perlahan matahari telah bersembunyi di peraduan garis cakrawala; awan-awan menepi, garis hitam meluas menyelimuti bumi seisinya. Burung-burung gagak hinggap di atap Kedaton. Suara-suara pekak burung-burung itu seakan menjadi lantunan musik pilu pengiring tragedi berdarah yang mungkin akan terjadi pada diri penguasa Bumi Jawadwipa : Sri Ranggah Rajasa Bathara Amurwabhumi.

Tepat ketika pergantian malam, saat orang-orang hendak menyalakan obor dan pelita mereka masing-masing, Sang Pengalasan mencabut keris Gandring dari pinggangnya, berlari lalu menusuk punggung Amurwabhumi. Penerangan yang tidak memadai membuat Pengalasan berhasil melarikan diri keluar ruangan usai menusuk sang Raja. Pendiri kerajaan Singhasari itu menjerit hingga kemudian tewas di ruang perjamuan istana. Peristiwa itu tercatat ketika perhitungan kalender Saka menunjuk angka tahun 1168.

Pengalasan itu berlari menuju kediaman Anusapati, dan melaporkan bahwa ia telah menunaikan tugasnya dengan baik. Anusapati senang melihat skenarionya sukses dengan gemilang. Ia memuji kemampuan Sang Pengalasan.

"Bagus! Sekarang kembalikan dulu keris yang kutitipkan padamu," pinta Anusapati pada Pengalasan.

Dengan rasa hormat yang tinggi, Pengalasan asal Batil itu menyerahkan keris Gandring pada Anusapati. Sang Pangeran putera Ken Dedes itu tersenyum melihat jejak darah segar ayah tirinya di badan keris. Tidak lama ia memandangi orang suruhannya itu, kemudian dengan gerakan cepat Anusapati menusuk perut Pengalasan dengan keris tersebut. Sang batil terkapar tak berdaya. Ia tak mengira akan menemui ajalnya di tangan Anusapati, seorang tuan yang selama ini tak satupun perintahnya dilanggar.

Terjadilah kepanikan di seluruh Bumi Singhasari. Raja mereka tewas terbunuh, dan di saat yang sama seorang Pengalasan juga terbunuh. Anusapati mengarang cerita bahwa Sang Pengalasan seusai membunuh Raja, hendak meneruskan tujuannya untuk membunuh dirinya, namun beruntung, Anusapati dapat melawan kemudian menghabisinya. Cerita karangannya itu diterima banyak orang, walau tak sedikit pula yang tahu bahwa semua yang terjadi adalah siasat dari Panji Anengah Anusapati untuk menyingkirkan ayah tirinya dari tahta. Dengan demikian Anusapati telah membuat rencana yang persis sama dengan gemilangnya rencana Ken Arok di masa lalu, dimana ia pernah membunuh Kebo Ijo dan Tunggul Ametung demi merebut kekuasaan. 

Baru beberapa tahun Singhasari berdiri, perputaran karma telah mengaktualisasi diri.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Bunga Rampai Tujuhratus Tahun Majapahit karya Sartono Kartodirdjo dkk

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

Kemenangan Gemilang

Palagan Ganter dan suasana yang mencekam, berhadap-hadapanlah kedua pasukan dari dua kerajaan : Singhasari yang dipimpin langsung oleh Ken Arok Sang Amurwabhumi, dan Daha (Kediri) yang dipimpin oleh Mahesa Walungan. Raja Kertajaya mengamati dari belakang bersama para menterinya sembari tetap bersiap untuk menghunus pedang.

Matahari tepat diatas kepala dan aba-aba telah diteriakkan. Dalam sekejap kedua pasukan saling menghampiri. Terdengar suara gemerincing senjata, debum tubuh para prajurit yang jatuh ke tanah meregang nyawa serta ringkikkan kuda. Peperangan sungguh menyisakan amarah dan jeritan pilu mengiris hati.

Pasukan Singhasari bagai lahar Kelud yang tumpah dan membakar segala yang terlewati. Pasukan Daha kalah jumlah. Dalam pertempuran yang sengit, Gubar Baleman jatuh terjengkang saat menghadapi senopati Singhasari. Mahamentri kesayangan Raja Kertajaya itu tak selamat. Ia gugur di medan laga. Senapati agung Mahesa Walungan yang juga merupakan adik kandung dari sang Raja berteriak sangat kencang. Ia menyemangati pasukannya yang tercerai berai. Sabetan pedangnya setidaknya mampu menghadang laju puluhan prajurit yang mencoba membobol pertahanan Daha, namun sayang, ia bertempur sendirian di tengah pasukan Singhasari yang mengamuk, sedang tentaranya sendiri telah kehilangan semangat juang. Mahesa Walungan pun gugur sebagai perwira Daha yang gagah berani.

Raja Kertajaya dari kejauhan melihat kemungkinan untuk menang sangatlah kecil, bahkan bisa dibilang mustahil. Iapun segera memacu kudanya untuk sepenuhnya mundur dari palagan perang. Kertajaya bersama para abdi setia terus berlari dan kemudian bersembunyi di tempat pemujaan. Setelah para prajurit Singhasari mulai mendekati tempatnya bersembunyi, ia menampakkan dirinya tepat di gerbang candi pemujaan. Tombak-tombak tentara Singhasari telah diacungkan padanya. Iapun sejenak menyunggingkan senyum di hadapan mereka semua, kemudian dengan kesaktiannya, ia menjelma menjadi cahaya dan melesat ke angkasa. Para abdi beserta barang bawaannya pun secara ajaib juga menjadi cahaya dan melesat pula menyusul cahaya sang Raja, terbang ke alam dewata.

Sedang di dalam istana Daha, terdapatlah tiga perempuan bernama Dewi Amisani, Dewi Hasin dan Dewi Paja yang merupakan adik-adik Raja Kertajaya. Mereka diberitahukan bahwa Daha telah kalah dan Raja Dandang Gendhis telah mokhsa. Mereka bertigapun saling bergandengan tangan dan menjelma menjadi kelebat cahaya menuju angkasa, menyusul kakaknya yang telah mengungsi di alam dewata.

Kemenangan gemilang diraih oleh tentara Singhasari. Atas kebijakan sang Amurwabhumi, semua yang menyerah akan diampuni dengan catatan mereka bersedia menjadi abdi Singhasari. Anak-anak Kertajaya juga dijamin keselamatan dan dijanjikan kedudukan untuk menjadi penguasa daerah yang ada di bawah kendali Singhasari. Satu perbuatan mulia dilakukan oleh Ken Arok Sang Amurwabhumi, yakni ia didapati memberi minum kepada prajurit Kediri yang sedang terbaring bersimbah darah. Rakyat dan para petinggi kerajaan begitu terpukau dibuatnya. Prajurit-prajurit yang menyerah secara sukarela menghaturkan sembah, dan bersumpah akan menjadi abdi dari Singhasari sampai akhir hayat mereka.

Dengan ditaklukkannya Daha, maka Kerajaan Singhasari telah kokoh berdiri sebagai penguasa bumi Jawa. Rajasa Sang Amurwabhumi yang juga bergelar Bathara Girinata itu memegang tampuk kepemimpinan tertinggi tanda tercapainya takdir kemuliaan yang sekian lama dikawal penuh oleh sang Guru, Dang Hyang Lohgawe. Benarlah brahmana asal Jambudwipa itu mengemban tugas yang amat sangat berat. Ia menyempurnakan kehendak Bathara Wisnu dan Bathara Guru untuk membinasakan raja lalim bernama Kertajaya.

Ken Arok Sang Amurwabhumi memerintah dengan didampingi Ken Dedes, permaisurinya. Mereka berdua tampak saling mencintai. Tidak lama Ken Dedes yang sebenarnya telah mengandung sejak dinikahi Ken Arok akhirnya tiba saatnya untuk melahirkan. Anaknya itu diberi nama Sang Anusapati. Ken Arok memberinya gelar Sang Apanji Anengah, dan sejatinya bayi itu adalah anak kandung dari Tunggul Ametung.

Beberapa lama berlalu, dari pernikahannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mendapatkan empat orang anak, tiga putra dan satu putri. Anak pertama bernama Mahisa Wongateleng, lalu kedua adik laki-lakinya : Sang Apanji Saprang dan Agnibaya; sedangkan anak bungsunya bernama Dewi Rimba.

Selain dengan Ken Dedes, Ken Arok memiliki istri muda bernama Ken Umang. Dari pernikahan ini Sang Amurwabhumi beroleh empat anak : Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Twan Wregola dan anak perempuan bungsu bernama Dewi Rambi. Dengan demikian Sang Raja memiliki delapan anak kandung, dan satu anak tiri.

Ken Arok yang bergelar Bathara Girinata Sri Ranggah Rajasa Batara Amurwabhumi ini memerintah Singhasari dengan penuh kewaspadaan. Sebisa mungkin ia memerintah dengan bijak dan tidak sampai menyakiti hati rakyatnya, karena dengan perbuatan baik ia berharap dapat melunturkan kutukan yang pernah ditujukan padanya. Keris Empu Gandring yang diselipkan di pinggangnya sejauh ini baru memakan tumbal dua nyawa.

Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

Gelombang Dukungan Datang dari Kadhiri

Nasib baik selalu menaungi Ken Arok dalam perjalanannya menuju puncak kekuasaan tanah Jawa. Setelah strategi pengambilalihan kekuasaan di tanah Tumapel berhasil dengan gemilang, secara kebetulan pula terjadi pembangkangan besar-besaran di lingkungan kerajaan Daha (Kediri). Sebabnya tak lain adalah perilaku Raja Kertajaya yang semena-mena serta kerap mengagungkan dirinya sehingga banyak orang yang mengungsi ke Tumapel dan berpihak pada Ken Arok.

Kertajaya adalah Raja yang pongah; namun kepongahannya itu diimbangi dengan kesaktiannya yang mampu membuat siapa saja tertegun dibuatnya. Suatu ketika ia mengumpulkan para brahmana, pendeta, resi, cerdik cendekia dan para bujangga ahli sastra. Kertajaya berkata pada mereka semua,

"Tuan-tuan pemeluk Siwa, pemeluk Buddha, tuan-tuan bujangga, ketahuilah bahwa kesaktianku telah melampaui dewa. Itulah sebabnya tuan-tuan semua harus tunduk dan menghaturkan sembah sujudnya padaku. Akulah raja alam semesta".

Para hadirin yang berada dalam sidang tersebut mengungkapkan ketidaksetujuannya. Salah satu brahmana mengungkapkan bahwa tidak ada dalam sejarah, para brahmana dan bujangga harus menyembah rajanya hingga memperlakukannya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Jika tuan-tuan semua menginginkan bukti, maka lihatlah apa yang kulakukan ini!," ujar Kertajaya.

Raja Daha yang dikenal juga dengan nama Prabu Dandang Gendhis itu mengambil tombak, kemudian dipancangkannya tombak itu di dalam tanah. Setelah berdiri tegak, Raja Kertajaya melompat dan secara ajaib ia bisa duduk diatas ujung tombak yang runcing. Tak cukup sampai disitu, ia mengeluarkan kesaktian yang membuatnya seperti berlengan empat, bermata tiga, seperti halnya Bathara Guru. Dengan kemampuannya luar biasanya itu Raja Kertajaya memaksa semua orang untuk tunduk, memperlakukannya sebagai Tuhan dan menyembahnya.

Walau kesaktian Kertajaya begitu memukau semua yang hadir, namun tetaplah terjadi penolakan hebat dari mereka semua. Keributanpun terjadi. Prajurit Daha menangkapi mereka yang tak mau memenuhi keinginan Raja. Seantero Daha geger, lalu terjadilah gelombang pengungsian besar-besaran kaum brahmana, pendeta, resi cerdik cendekia, juga para bujangga beserta rakyat Daha. Arus pengungsi itu menuju ke Tumapel, satu-satunya tempat merdeka diluar kekuasaan Daha, dimana penguasanya sangat berpotensi untuk menjadi lawan sepadan bagi Kertajaya.

Maka datanglah para pengungsi itu ke Tumapel. Para brahmana disambut oleh Dang Hyang Lohgawe yang begitu termahsyur namanya dan dihormati oleh siapapun dari segenap penjuru Nusantara. Sukacitalah mereka yang sedang berada dalam lindungan brahmana linuwih dari Jambudwipa itu; terlebih, Ken Arok sang penguasa menjamin kebutuhan mereka sehari-hari.

"Mengapakah tuan-tuan datang kemari? Tidakkah Prabu Dandang Gendhis dengan segala kekurangannya tetap mampu untuk memenuhi segala keinginan tuan di Daha?," bertanyalah Dang Hyang Lohgawe.

Mereka semua bercerita tentang kepongahan Kertajaya hingga paksaan untuk menyembahnya. Dang Hyang Lohgawe menyimak pembicaraan itu kemudian memberi tawaran pada mereka,

"Kalau begitu alangkah baiknya tuan-tuan mengabdi pada Tumapel. Di bawah pemerintahan Ken Arok, segalanya akan berjalan dengan baik. Ken Arok memanglah sasmita yang membuat saya jauh-jauh datang ke Jawadwipa".

Tawaran itu disetujui oleh semua orang disana. Bahkan, semua bersepakat untuk mengangkat Ken Arok sebagai raja mereka. Maka melalui berbagai upacara, Ken Arok resmilah menjadi raja. Ia diberi gelar Sri Ranggah Rajasa Batara Amurwabhumi. Semua brahmana dan para pendeta merestui langkah-langkahnya sebagai raja baru, dan bukan lagi sekedar akuwu. Negara yang dipimpinnya itu diberi nama Singhasari. Sebagai raja baru, ia mengangkat Dang Hyang Lohgawe sebagai pendeta istana, kemudian bertitah untuk memanggil siapa saja yang pernah berjasa dalam kehidupannya dulu. Bango Samparan, para penduduk dan penyepuh emas di Turyantapada, semua pengrajin keris beserta warga Lulumbang, semua diberi perlindungan dan hak istimewa berupa pembebasan dari segala pajak. Tak terkecuali anak-anak Kebo Ijo yang juga beroleh keistimewaan dan hak yang sama dengan anak-anak Empu Gandring. Brahmana Lohgawe yang memiliki seorang putra bernama Wangbang Sandang, dinikahkan dengan puteri bungsu Bango Samparan yang bernama Cucu Puranti. Walaupun pernah memiliki masa lalu yang sangat kelam, pada saat berkuasa nyatanya sang Raja tak pernah lupa pada keteguhannya untuk membalas budi kepada orang-orang yang pernah menolongnya, bahkan kepada mereka yang pernah dikecewakannya. Bijak bestarilah pemerintahan pendiri kerajaan baru Singhasari, sang Rajasa Amurwabhumi.

Mengingat bertambahnya jumlah rakyat yang bisa digunakan sebagai tenaga militer, maka Ken Arok memulai untuk merencanakan misi penaklukkan yang pada akhirnya sampai ke telinga Raja Kertajaya.

"Arok? Anak petani yang tidak pantas menjadi raja itu akan dengan mudah kukalahkan. Para panglima tak usah khawatir, karena yang bisa mengalahkanku hanyalah Bathara Guru," ujar Kertajaya dengan sombong usai menerima laporan perkembangan kekuatan Singhasari. Ia tampak sangat menyepelekan.

Kepongahan itu ternyata juga dibawa oleh telik sandi dan sampai pada telinga Ken Arok. Setelah mendengarnya secara langsung, Ken Arok naik ke atas singgasananya dan hendak memaklumatkan nama nobatannya sebagai 'Bathara Guru'. Bak gayung bersambut, nama penobatan itu direstui pula oleh para brahmana, pendeta, resi dan para bujangga. Semakin kokohlah posisi Ken Arok, dan nama nobatan yang baik niscaya akan beroleh dukungan pula dari segenap rakyat di bumi Jawa.

Pada hari yang telah ditentukan, bersiaplah semua armada tempur yang dipimpin langsung oleh Ken Arok Sang Amurwabhumi. Mereka berdegap menuju Bumi Kediri bak gelombang pasang yang siap meluluhlantakkan segala yang diterjang. Khawatir pulalah segenap pembesar Kediri. Raja Kertajaya dengan gemetar berbisik penuh rasa takut,

"Arok akan menang; ia mengambil nama nobatan Batara Guru, dan kulihat Dewata sedang berpihak disisinya".

Para senapati dan segenap panglima Daha sedikit mengendur semangatnya karena ucapan Raja mereka itu. Setelah sadar, Raja Kertajaya memerintahkan para pasukannya untuk bertempur sampai titik darah penghabisan.

"Ksatria tidaklah pantas mati di peraduan! Ksatria lebih pantas untuk gugur di medan perang, menghadang musuh yang datang!," seru Kertajaya.

Tentu seruan Prabu Dandang Gendhis membuat semangat pasukannya bangkit kembali. Serentak, mereka semua berjalan berderapan dengan kepala tegak, menyusuri jalan dengan membawa tombak, pedang, dan zirah tempur yang berkilauan. Di palagan Ganter pasukan Singhasari dan Daha Kediri berdiri saling berhadap-hadapan. Pertaruhan sebagai penakluk tanah Jawa telah dimulai. Siapa pemenang dan siapa yang kalah?

Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

Dua Nyawa di Ujung Keris Gandring

Keris yang belum sepenuhnya sempurna itu dibawa oleh Ken Arok ke Tumapel. Ia menyisipkan keris itu di pinggangnya. Segera setelah sampai disana, siasatnyapun segera dijalankan. Sasaran awalnya adalah Kebo Ijo, seorang pejabat tinggi Tumapel kepercayaan Tunggul Ametung yang selama ini bersahabat dengannya. Saat Kebo Ijo sedang berteduh di bawah rindangnya Beringin, Arok menghampirinya.

"Lama kau tak terlihat, Arok. Apa saja yang kau lakukan selama ini?" tanya Kebo Ijo.

"Aku menghabiskan waktuku untuk memesan keris pada seorang empu di Lulumbang. Ternyata keris yang dihasilkan belum sepenuhnya selesai karena sang empu meninggal dunia sebelum sempat menyelesaikannya; tapi walaupun belum paripurna, cukup terlihat bahwa keris ini dikerjakan dengan perhitungan yang sangat cermat, dan 'isi' di dalamnya terasa hebat; namun aku tak suka karena keris ini masih kasar," jawab Ken Arok.

"Coba kulihat"

Kebo Ijo yang penasaran akhirnya diperlihatkan wujud keris milik Ken Arok yang memang masih kasar. Keris itu berhulu kayu cangkring, masih terdapat duri dan perekatnya belum begitu kuat.

"Keris ini bagus, Arok! Benar katamu, walaupun belum sempurna tapi perhitungan pembuatannya sangat matang! Coba kau cermati lekuk demi lekuknya, keris ini benar-benar bagus!"

"Sahabatku, aku terlanjur tidak berminat dengan keris tersebut; jika kau ingin memilikinya, maka jadilah keris ini sebagai milikmu," ujar Ken Arok.

Kebo Ijo pun senang bukan kepalang. Ia berterimakasih dan segera menyisipkan keris itu di pinggangnya. Keesokan harinya Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada semua orang di Tumapel. Sayangnya ia tak sekalipun mengatakan bahwa keris itu merupakan pemberian dari Ken Arok.

Tepat pada perhitungan hari baik, di suatu malam ketika bulan tertutup awan, di tengah suasana gelap gulita, Ken Arok mengendap-endap. Ia menuju bilik kediaman Kebo Ijo dan mengamati keadaan. Setelah aman dan memastikan bahwa Kebo Ijo telah tertidur pulas, Ken Arok masuk ke dalam bilik tersebut, kemudian mencuri keris Empu Gandring yang beberapa hari lalu ia berikan padanya. Usaha pencurian Ken Arok berhasil. Kemampuannya sebagai pencuri memang telah teruji sekian lama, buah dari pengalaman masa lalunya. Arok berhasil keluar dari bilik Kebo Ijo kemudian segera menuju ke kediaman Akuwu Tunggul Ametung.

Kembali ia menyelinap, mengendap-endap di dalam gelap. Setelah menyingkirkan dua pengawal yang berjaga di depan pintu dengan tanpa suara sedikitpun, Ken Arok secara perlahan segera membuka bilik Tunggul Ametung. Disana ia menyaksikan sang Akuwu sedang tertidur lelap. Ia sedikit melenakan waktunya terbuang karena terpana melihat kemolekan Ken Dedes yang juga tertidur di ranjang yang sama. Ken Arok segera tersadar akan keterpanaannya, kemudian dengan segera ia menghunus keris milik Empu Gandring. Ia mendirikan keris itu di dahinya dan berbisik pada batang besinya,

"Semua ini kulakukan demi kemuliaanku yang akan terpancar di seluruh tanah Jawa".

Segera setelah berkata demikian, Ken Arok menancapkan keris itu di tubuh Tunggul Ametung. Sang Akuwu mengerang hebat. Ken Arok dengan cepat melarikan diri keluar bilik dan hilang dalam kegelapan malam, tanpa diketahui satu orangpun.

Erangan akuwu Tunggul Ametung mengundang kedatangan banyak orang. Istrinya, Ken Dedes yang terbangun karena teriakan itu langsung menjerit histeris karena banyaknya darah yang mengucur di tubuh sang akuwu. Tak berapa lama ia pingsan. Tumapel menjadi geger, semua orang larut dalam kekhawatiran karena sang akuwu, pemimpin mereka telah terbunuh.

Para prajurit dan pejabat kadipaten Tumapel melihat keris yang menancap di tubuh Tunggul Ametung. Mereka tidak asing dengan bentuk keris itu dan tidak asing pula dengan pemiliknya. Segeralah mereka mendapat anggapan bahwa sang pembunuh Akuwu adalah Kebo Ijo. Kebo ijo yang ada disitu menolak segala tuduhan, namun terlambat. Orang-orang yang kalap segera mengepungnya. Kebo Ijo dapat melepaskan diri dari kepungan, kemudian lari keluar Tumapel. Ken Arok yang kembali untuk menyaksikan peristiwa yang sebenarnya terjadi karena ulahnya sendiri, segera memerintahkan pasukan Tumapel untuk mengejar Kebo Ijo. Ken Arok memang memiliki kuasa untuk menggerakkan pasukan, karena jabatannya di Tumapel adalah senopati tertinggi yang membawahi semua prajurit. Ken Arokpun mengambil keris yang dipakai membunuh Tunggul Ametung, dan berteriak,

"Kebo Ijo yang telah menusuk Akuwu dengan keris ini, maka iapun harus dihabisi dengan keris ini pula! Hutang nyawa dibayar nyawa!".

Ken Arok segera memimpin pengejaran terhadap Kebo Ijo. Cukup lama pengejaran itu berlangsung, hingga Kebo Ijo berhasil dikepung. Kebo Ijo tak mau menyerah begitu saja. Ia terus melakukan perlawanan, namun sia-sia. Prajurit Tumapel yang menang dalam jumlah dengan mudah membuatnya takluk. Melihat ketidakberdayaan Kebo Ijo, Ken Arok maju untuk menuntaskan hidup orang yang selama ini menganggapnya sebagai sahabat. Keris Empu Gandring dihunusnya, kemudian ditusukkannya pada tubuh Kebo Ijo. Lenyap sudah daya hidup sang pejabat Tumapel, orang kepercayaan sang Akuwu yang terfitnah itu.

Setelah semua peristiwa itu berlangsung, sebagai senapati perang tertinggi Tumapel, Ken Arok menahbiskan dirinya sebagai penguasa. Prajurit-prajurit bawahannya menuruti saja apa kata jendralnya. Para pejabat dan keluarga istana juga terdiam tak berdaya karena kekuasaan Ken Arok yang mampu menggerakkan seluruh tenaga militer Tumapel dengan jentikan jarinya. Tak cukup sampai disitu, Ken Arok mempersunting Ken Dedes dan menjadikan puteri Mpu Purwa itu sebagai pendampingnya. Dengan dukungan Dang Hyang Lohgawe sebagai brahmana terkemuka, Ken Arok mendapatkan restu untuk mengambil alih kekuasaan. Kebijakan yang pertama dilakukan oleh Arok adalah memaklumatkan Tumapel sebagai negara merdeka, lepas dari kekuasaan Kadhiri. Demikianlah kudeta pertama yang tercatat dalam sejarah panjang kerajaan Jawa telah menelan dua nyawa, penumbal tuah ujung keris Empu Gandring.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

Empu Gandring

Sesuai saran dari Bango Samparan, ayah angkatnya, Ken Arok pergi ke daerah Lulumbang untuk menemui Empu Gandring, sang pakar keris bertuah. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, sampailah ia di kediaman Empu Gandring. Disana Ken Arok melihat-lihat cara kerja Empu Gandring yang sangat cermat dalam mengolah keris-keris pesanannya. Wujud keris yang telah selesai tampak sangat sempurna, tanpa cacat sedikitpun. Arok juga melihat betapa hebatnya keris Empu Gandring yang diperagakan langsung di depan matanya; karena terkesan dan tak mau berlama-lama, Arok segera meminta agar keris pesanannya selesai dalam waktu lima bulan.

"Ananda Ken Arok, jika menginginkan bentuk keris dengan tuah yang sempurna, maka perlu asahan dan tempaan dalam waktu cukup lama. Tidak mungkin untuk selesai dalam waktu lima bulan. Maka sebaiknya kembalilah lagi kemari setelah satu tahun," ujar sang empu.

Ken Arok merasa kecewa terhadap jawaban Empu Gandring. Ia tak mau menunggu terlalu lama karena siasatnya sangat mendesak untuk segera diwujudkan sebelum semua terlambat.

"Entah bagaimana cara tuan menyelesaikannya; tapi aku harus mendapatkan keris pesananku dalam waktu lima bulan!".

Sebelum Empu Gandring menyanggah perkataannya, Ken Arok segera pergi meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Pendiriannya begitu kaku.

Setelah dari Lulumbang, Ken Arok segera pulang ke Tumapel. Sesampainya disana ia langsung menemui gurunya, Dang Hyang Lohgawe.

"Anakku, mengapa engkau lama sekali berada di Karuman?," tanya sang guru.

"Mohon maaf, Bapa Guru, setelah menemui ayah Bango Samparan, saya pergi ke Lulumbang untuk memesan sebilah keris bertuah kepada ahli keris bernama Empu Gandring".

Dang Hyang Lohgawe tersenyum lalu berpesan, "Berhati-hatilah dan bersabarlah. Ingatlah bahwa semua batasan ada pada kehendakmu sendiri".

Satu bulan, dua bulan, hingga lima bulan berlalu, Ken Arok teringat pada keris pesanannya. Iapun segera pergi menuju Lulumbang untuk menagih keris pesanannya itu pada Empu Gandring.

Sesampainya di kediaman Empu Gandring, ia segera bertanya pada sang Empu yang tampak sedang bekerja.

"Tuan, kedatangan saya kemari hendak mengambil keris pesanan saya"

Sang Empu menghela nafas sejenak dan berkata pada Ken Arok sembari tetap bekerja mengasah kerisnya, "Ananda Arok, saya sudah bilang bahwa membuat keris dengan bentuk dan tuah yang sempurna dibutuhkan waktu satu tahun. Sekarang ini saya sedang mengasahnya. 'Isi' dalam keris ini juga masih belum bisa dikendalikan sebelum saya bertapa kembali untuk menjinakkannya. Maka sekarang ini sebaiknya ananda kembali ke Tumapel; kelak jika tiba waktunya, datanglah lagi kemari".

Mendengar ucapan Empu Gandring, mendidihlah darah Ken Arok. Amarahnya memuncak, dan dengan kasar ia mengambil keris yang sedang dikerjakan oleh Empu Gandring. Arok mengamuk dengan ganas. Dipukulkannya keris itu pada lumpang batu dan ternyata lumpang yang sedemikian besar itu pecah menjadi dua; kemudian digoreskannya keris itu pada wadah penampa, wadah itupun pecah menjadi dua. Ken Arok sangat terkesima dengan tajamnya keris yang dipegangnya itu. Seakan tak pernah lupa pada amarahnya, Arok menatap Gandring dengan mata menyalang,

"Aku sudah bilang bahwa keris pesananku harus selesai dalam lima bulan! Celakalah kau, Gandring!"

Dengan gerakan cepat Ken Arok menikamkan kerisnya tepat pada dada Empu Gandring. Ahli keris sepuh itu roboh dan tergolek kesakitan. Sebelum ajal menjemputnya, ia memberi kutukan pada Ken Arok :

"Dengarlah kutukanku, Arok! kelak keris yang kaubawa itu akan meminta tumbal tujuh nyawa, termasuk nyawamu!"

Setelah mengucap kutukan, Empu Gandring meninggal. Ken Arok menyesal karena tak mampu menahan amarah hingga membunuh Empu keris termahsyur itu. Empu Gandring sangat sulit dicari penggantinya, bahkan di seantero Nusantara. Ken Arok akhirnya menggenggam tangan Gandring. Ia berkata pada jasad tersebut :

"Kemuliaan yang kelak akan kudapatkan akan senantiasa terpancar kepada anak-cucu Empu Gandring, juga kepada seluruh pandai keris di Lulumbang".

Setelah berkata demikian, Ken Arok menyuruh para pekerja yang ketakutan untuk segera mengkremasi jenazah Empu Gandring. Setelah usai upacara kremasi, lelaki asal Pangkur itu kembali ke Tumapel. Disana ia mempersiapkan siasatnya. Di dalam pikirannya hanya ada impian tentang kemuliaan, juga bayang paras jelita Ken Dedes.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News