Suatu siang sebelum diadakannya upacara keagamaan untuk Raja, istana Singhasari dipenuhi oleh para pejabat tinggi kerajaan. Mereka semua menghadap pada Apanji Tohjaya, junjungan mereka yang naik tahta berkat siasat licik sabung ayamnya. Raja itu berhasil menyingkirkan Apanji Anengah Anusapati, raja sebelumnya.
Pranaraja, orang kepercayaan Tohjaya hadir dalam perjamuan itu. Tampak pula kedua cucu Ken Dedes : Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Ranggawuni adalah anak dari Anusapati, sedangkan Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wongateleng, saudara Tohjaya lain ibu. Kedua-duanya masih terhitung sebagai kemenakan Sang Raja.
Setelah perjamuan istana bersama para pejabat usai, Pranaraja dipanggil oleh Raja Tohjaya dan diajaknya berbincang.
"Pranaraja, bagaimana pendapatmu bila melihat kedua kemenakanku itu? Mereka bagus rupanya dan gagah pula perawakannya. Mungkinkah nantinya mereka akan jadi musuhku?," tanya Tohjaya pada Pranaraja. Raja baru itu selalu menaruh dengki dan curiga pada kedua kemenakannya. Ia dibayang-bayangi pikiran tentang pemberontakan kedua Pangeran itu yang secara garis keturunan sebenarnya lebih berhak atas tahta ketimbang dirinya yang hanya merupakan anak selir.
"Memang benarlah pikiran Tuanku. Hamba melihat mereka berdua seperti layaknya bisul yang tumbuh di pusat perut. Bila dibiarkan akan menjadi celaka di kemudian hari," jawab Pranaraja.
Tohjaya tampak merenungi jawaban Pranaraja. Sesaat kemudian ia memerintahkan orang kepercayaannya itu,
"Bawa Lembu Ampal kemari!".
Pranaraja segera memanggil dan menghadapkan Lembu Ampal pada Sang Nata. Apanji Tohjaya berdiri sembari menatapnya dengan tajam. Lembu Ampal bersiap atas segala titah yang akan diterimanya.
"Lembu Ampal, aku ingin engkau melenyapkan Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Entah bagaimana caramu, yang penting keduanya binasa," perintah Tohjaya.
"Titah paduka akan hamba junjung di atas batu kepala hamba," ujar Lembu Ampal.
"Tapi jika kau tidak berhasil melenyapkan keduanya, maka aku sendiri yang akan melenyapkanmu," ancam Sang Raja.
Lembu Ampal kembali berhatur sembah. Di kepalanya muncul keringat dingin. Ia tak boleh gagal, pikirnya.
Tanpa sengaja perbincangan itu didengar oleh seorang Brahmana yang kebetulan sedang menyiapkan sarana-sarana upacara. Brahmana itu menaruh belas kasihan terkait nasib kedua Pangeran yang dianggapnya tak berdosa itu. Dengan segera ia bergegas mencari keberadaan keduanya. Setelah ditemukan, brahmana itu mengajak kedua Pangeran untuk berbincang bersama.
"Ananda Pangeran, secara tidak sengaja hamba tadi mendengar ucapan Sang Nata Tohjaya. Lembu Ampal diperintahkan untuk melenyapkan nyawa ananda berdua. Maka dari itu ananda sebaiknya berhati-hati," ujarnya.
"Apa salah kami sehingga kami hendak dibunuh, wahai Dang Hyang Brahmana?," tanya Ranggawuni.
"Paduka telah mencermati bahwa secara garis keturunan, ananda berdua lebih pantas menduduki tahta Singhasari. Ananda berdua adalah cucu Batara Amurwabhumi dan Paramesywari Ken Dedes; terlebih ananda Pangeran Ranggawuni adalah keturunan langsung dari Batara Anusapati, Sang Nata sebelum Paduka Tohjaya".
"Lantas apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan diri?," tanya Mahisa Campaka.
"Bersembunyilah, ananda. Carilah seseorang yang menaruh kepercayaan kepada ananda berdua, kemudian berdiamlah disana sembari mengatur siasat".
Seusai brahmana itu pergi, Ranggawuni dan Mahisa Campaka segera berbicara empat mata. Karena mereka khawatir brahmana itu berbohong, lalu atas kesepakatan berdua, mereka mendatangi kediaman pejabat Singhasari yang menaruh kepercayaan tinggi kepada keduanya. Orang itu bernama Panji Patipati.
"Pangeran berdua sebaiknya bersembunyi di kediaman hamba. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Tuan brahmana bahwa Paduka Tohjaya sedang mengincar nyawa ananda berdua," ujar Panji Patipati. Ia ternyata telah mengetahui ihwal rencana pembunuhan itu.
Ranggawuni dan Mahisa Campaka akhirnya berdiam dan bersembunyi di rumah Panji Patipati dalam waktu yang cukup lama. Pintarlah Panji Patipati dalam menyembunyikan kedua Pangeran itu hingga tak satupun orang yang tahu tentang keberadaan mereka. Lembu Ampal yang ditugaskan menjadi jagal juga kebingungan mencari-cari kedua Pangeran itu. Karena terlalu lama, Raja Tohjaya memanggilnya.
"Lembu Ampal, apa yang kau kerjakan sehingga sampai hari ini aku tak mendengar kabar tentang keberhasilan usahamu?," bentak Tohjaya kepada Lembu Ampal. Perwira itu ketakutan dan memohon ampun.
"Dalam tiga hari ini apabila aku tidak mendengar adanya pembunuhan itu, maka aku sendiri yang akan membinasakanmu!," ancam Sang Raja.
Lembu Ampal berhatur sembah. Ia bergidik ketakutan. Dalam keadaan putus asa karena tak bisa menemukan keberadaan kedua pangeran, Lembu Ampal memutuskan untuk lari dan bersembunyi di kediaman kerabatnya yang letaknya persis di sebelah rumah Panji Patipati. Panji Patipati rupanya tahu bahwa Lembu Ampal sedang bersembunyi di rumah tetangganya itu. Iapun mendatanginya dan menemukan Lembu Ampal sedang duduk menyendiri sembari merenung. Sang perwira terkejut melihat kedatangan Panji Patipati, lalu memberi hormat dengan penuh rasa khawatir dan takut. Panji Patipati berusaha menenangkannya.
"Apakah maksud kedatangan Tuan kemari hendak memberitahukan keberadaan hamba pada Sang Nata?," tanya Lembu Ampal setengah panik.
"Lembu Ampal, aku tahu bahwa telik sandi Paduka Tohjaya telah dikerahkan untuk mencari keberadaan Pangeran Ranggawuni, Pangeran Mahisa Campaka dan dirimu sendiri. Kedatanganku kemari justru bertujuan ingin melindungimu; namun penuhilah syaratku bila kau mau selamat"
"Hamba akan menuruti segala perintah Tuan. Berkenanlah Tuan menyebutkan syarat itu"
Panji Patipati tersenyum, kemudian memberikan syaratnya,
"Aku tahu persis dimana keberadaan Pangeran Ranggawuni dan Pangeran Mahisa Campaka. Menghambalah pada keduanya. Hanya itu saja syarat yang kuberikan".
Lembu Ampal terkejut. Ia tak mengira bahwa Panji Patipati mengetahui keberadaan kedua Pangeran yang selama ini diincarnya. Tanpa pikir panjang Lembu Ampal menyetujui syarat itu. Panji Patipati kemudian mengajaknya bertemu dengan kedua kedua cucu Ken Dedes itu di kediamannya. Lembu Ampal bersujud memohon ampun sembari menangis,
"Panjang umurlah Pangeran berdua. Hamba mohon ampun. Mulanya hamba diperintah oleh Paduka Tohjaya untuk membunuh Pangeran berdua. Kini, hamba bersumpah untuk mengabdikan jiwa dan raga hamba sepenuhnya," ujar Lembu Ampal.
"Jika memang demikian sumpahmu, maka kau akan berdiri di garis depan dalam merencanakan siasat perebutan kekuasaan," ujar Ranggawuni. Lembu Ampal mengangguk takzim.
Semua yang hadir di kediaman Panji Patipati mendiskusikan rencana-rencana yang akan mereka lakukan demi menyingkirkan Apanji Tohjaya dari tahta. Dalam situasi bersembunyi dan terasing dari lingkungan kerajaan, tentu mereka butuh pasukan untuk mengimbangi kekuatan pasukan Raja. Pada kesempatan itu Lembu Ampal mengutarakan taktik untuk mendapatkan pasukan secara cuma-cuma. Taktik itu berbahaya, namun jika berhasil akan sangatlah mudah mencapai tujuan utama.
"Hamba mohon izin untuk berangkat menuju Rajasa," ujar Lembu Ampal sembari menghaturkan sembah pada Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Mereka berdua melepas kepergian sang perwira yang termahsyur dengan kemampuan berlari yang tak tertandingi itu.
Lepas tengah malam Lembu Ampal berjalan mengendap-endap, kemudian dengan cerdik berhasil keluar dari gerbang Singhasari. Ia meneruskan perjalanannya dengan membawa sebilah pedang, masuk ke sebuah pemukiman bernama Desa Rajasa. Disana ia menusuk beberapa laki-laki yang dilihatnya. Warga Rajasapun menjadi marah dan mengejarnya. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju pemukiman tetangga yang bernama Desa Sinelir. Karena melihat sang penusuk berlari masuk ke Desa Sinelir, maka terdengar teriakan-teriakan mereka,
"Orang Sinelir telah membunuh orang Rajasa!".
Menjadi gegerlah perkampungan Sinelir oleh karena tuduhan warga Rajasa. Akhirnya warga dari kedua desa bersama-sama mencari sang pelaku, namun tidak ditemukan. Warga kedua desa akhirnya pulang ke rumah masing-masing dengan saling menaruh curiga.
Esoknya, Lembu Ampal pergi ke desa Sinelir. Pedang tajam diikatkan di punggungnya; dan seperti yang dilakukannya pada warga Rajasa, ia mengamuk di Sinelir, menebas beberapa laki-laki yang dilihatnya. Wargapun berbondong-bondong mengejarnya. Ia berlari kencang. Sangatlah cepat larinya hingga tak satupun warga yang dapat menerka wajah dari pembunuh itu. warga Sinelir terus mengejarnya hingga melihat pembunuh itu masuk ke Desa Rajasa. Warga Sinelir mengeluarkan teriakan-teriakan,
"Orang Rajasa telah membunuh orang Sinelir!"
Kedua warga akhirnya bertemu dan bersitegang. Mereka menganggap terdapat aroma dendam pada tragedi penusukan itu. Rusuhlah mereka semua. Tak terhitung bunyi denting parang, golok dan tak sedikit pula yang tewas. Pertikaian antar desa itu sampai juga ke telinga Raja Tohjaya. Raja itu mengutus orang untuk melerai, namun tak berhasil. Iapun segera menyiapkan pasukan untuk membumihanguskan kedua desa.
Ranggawuni dan Mahisa Campaka tersenyum mendengar kabar itu. Tahap pertama siasat Lembu Ampal telah berhasil. Kerusuhan itu memang sengaja dibuat untuk memuluskan rencana besar : penggulingan tahta Raja.
Sumber bacaan :
Pararaton terjemahan Gamal Komandoko
Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana
Bunga Rampai 700 Tahun Majapahit karya Sartono Kartodirdjo dkk
Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari
Artikel ini pernah dimuat di UC News