Wednesday, July 15, 2020

Gelombang Dukungan Datang dari Kadhiri

Nasib baik selalu menaungi Ken Arok dalam perjalanannya menuju puncak kekuasaan tanah Jawa. Setelah strategi pengambilalihan kekuasaan di tanah Tumapel berhasil dengan gemilang, secara kebetulan pula terjadi pembangkangan besar-besaran di lingkungan kerajaan Daha (Kediri). Sebabnya tak lain adalah perilaku Raja Kertajaya yang semena-mena serta kerap mengagungkan dirinya sehingga banyak orang yang mengungsi ke Tumapel dan berpihak pada Ken Arok.

Kertajaya adalah Raja yang pongah; namun kepongahannya itu diimbangi dengan kesaktiannya yang mampu membuat siapa saja tertegun dibuatnya. Suatu ketika ia mengumpulkan para brahmana, pendeta, resi, cerdik cendekia dan para bujangga ahli sastra. Kertajaya berkata pada mereka semua,

"Tuan-tuan pemeluk Siwa, pemeluk Buddha, tuan-tuan bujangga, ketahuilah bahwa kesaktianku telah melampaui dewa. Itulah sebabnya tuan-tuan semua harus tunduk dan menghaturkan sembah sujudnya padaku. Akulah raja alam semesta".

Para hadirin yang berada dalam sidang tersebut mengungkapkan ketidaksetujuannya. Salah satu brahmana mengungkapkan bahwa tidak ada dalam sejarah, para brahmana dan bujangga harus menyembah rajanya hingga memperlakukannya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Jika tuan-tuan semua menginginkan bukti, maka lihatlah apa yang kulakukan ini!," ujar Kertajaya.

Raja Daha yang dikenal juga dengan nama Prabu Dandang Gendhis itu mengambil tombak, kemudian dipancangkannya tombak itu di dalam tanah. Setelah berdiri tegak, Raja Kertajaya melompat dan secara ajaib ia bisa duduk diatas ujung tombak yang runcing. Tak cukup sampai disitu, ia mengeluarkan kesaktian yang membuatnya seperti berlengan empat, bermata tiga, seperti halnya Bathara Guru. Dengan kemampuannya luar biasanya itu Raja Kertajaya memaksa semua orang untuk tunduk, memperlakukannya sebagai Tuhan dan menyembahnya.

Walau kesaktian Kertajaya begitu memukau semua yang hadir, namun tetaplah terjadi penolakan hebat dari mereka semua. Keributanpun terjadi. Prajurit Daha menangkapi mereka yang tak mau memenuhi keinginan Raja. Seantero Daha geger, lalu terjadilah gelombang pengungsian besar-besaran kaum brahmana, pendeta, resi cerdik cendekia, juga para bujangga beserta rakyat Daha. Arus pengungsi itu menuju ke Tumapel, satu-satunya tempat merdeka diluar kekuasaan Daha, dimana penguasanya sangat berpotensi untuk menjadi lawan sepadan bagi Kertajaya.

Maka datanglah para pengungsi itu ke Tumapel. Para brahmana disambut oleh Dang Hyang Lohgawe yang begitu termahsyur namanya dan dihormati oleh siapapun dari segenap penjuru Nusantara. Sukacitalah mereka yang sedang berada dalam lindungan brahmana linuwih dari Jambudwipa itu; terlebih, Ken Arok sang penguasa menjamin kebutuhan mereka sehari-hari.

"Mengapakah tuan-tuan datang kemari? Tidakkah Prabu Dandang Gendhis dengan segala kekurangannya tetap mampu untuk memenuhi segala keinginan tuan di Daha?," bertanyalah Dang Hyang Lohgawe.

Mereka semua bercerita tentang kepongahan Kertajaya hingga paksaan untuk menyembahnya. Dang Hyang Lohgawe menyimak pembicaraan itu kemudian memberi tawaran pada mereka,

"Kalau begitu alangkah baiknya tuan-tuan mengabdi pada Tumapel. Di bawah pemerintahan Ken Arok, segalanya akan berjalan dengan baik. Ken Arok memanglah sasmita yang membuat saya jauh-jauh datang ke Jawadwipa".

Tawaran itu disetujui oleh semua orang disana. Bahkan, semua bersepakat untuk mengangkat Ken Arok sebagai raja mereka. Maka melalui berbagai upacara, Ken Arok resmilah menjadi raja. Ia diberi gelar Sri Ranggah Rajasa Batara Amurwabhumi. Semua brahmana dan para pendeta merestui langkah-langkahnya sebagai raja baru, dan bukan lagi sekedar akuwu. Negara yang dipimpinnya itu diberi nama Singhasari. Sebagai raja baru, ia mengangkat Dang Hyang Lohgawe sebagai pendeta istana, kemudian bertitah untuk memanggil siapa saja yang pernah berjasa dalam kehidupannya dulu. Bango Samparan, para penduduk dan penyepuh emas di Turyantapada, semua pengrajin keris beserta warga Lulumbang, semua diberi perlindungan dan hak istimewa berupa pembebasan dari segala pajak. Tak terkecuali anak-anak Kebo Ijo yang juga beroleh keistimewaan dan hak yang sama dengan anak-anak Empu Gandring. Brahmana Lohgawe yang memiliki seorang putra bernama Wangbang Sandang, dinikahkan dengan puteri bungsu Bango Samparan yang bernama Cucu Puranti. Walaupun pernah memiliki masa lalu yang sangat kelam, pada saat berkuasa nyatanya sang Raja tak pernah lupa pada keteguhannya untuk membalas budi kepada orang-orang yang pernah menolongnya, bahkan kepada mereka yang pernah dikecewakannya. Bijak bestarilah pemerintahan pendiri kerajaan baru Singhasari, sang Rajasa Amurwabhumi.

Mengingat bertambahnya jumlah rakyat yang bisa digunakan sebagai tenaga militer, maka Ken Arok memulai untuk merencanakan misi penaklukkan yang pada akhirnya sampai ke telinga Raja Kertajaya.

"Arok? Anak petani yang tidak pantas menjadi raja itu akan dengan mudah kukalahkan. Para panglima tak usah khawatir, karena yang bisa mengalahkanku hanyalah Bathara Guru," ujar Kertajaya dengan sombong usai menerima laporan perkembangan kekuatan Singhasari. Ia tampak sangat menyepelekan.

Kepongahan itu ternyata juga dibawa oleh telik sandi dan sampai pada telinga Ken Arok. Setelah mendengarnya secara langsung, Ken Arok naik ke atas singgasananya dan hendak memaklumatkan nama nobatannya sebagai 'Bathara Guru'. Bak gayung bersambut, nama penobatan itu direstui pula oleh para brahmana, pendeta, resi dan para bujangga. Semakin kokohlah posisi Ken Arok, dan nama nobatan yang baik niscaya akan beroleh dukungan pula dari segenap rakyat di bumi Jawa.

Pada hari yang telah ditentukan, bersiaplah semua armada tempur yang dipimpin langsung oleh Ken Arok Sang Amurwabhumi. Mereka berdegap menuju Bumi Kediri bak gelombang pasang yang siap meluluhlantakkan segala yang diterjang. Khawatir pulalah segenap pembesar Kediri. Raja Kertajaya dengan gemetar berbisik penuh rasa takut,

"Arok akan menang; ia mengambil nama nobatan Batara Guru, dan kulihat Dewata sedang berpihak disisinya".

Para senapati dan segenap panglima Daha sedikit mengendur semangatnya karena ucapan Raja mereka itu. Setelah sadar, Raja Kertajaya memerintahkan para pasukannya untuk bertempur sampai titik darah penghabisan.

"Ksatria tidaklah pantas mati di peraduan! Ksatria lebih pantas untuk gugur di medan perang, menghadang musuh yang datang!," seru Kertajaya.

Tentu seruan Prabu Dandang Gendhis membuat semangat pasukannya bangkit kembali. Serentak, mereka semua berjalan berderapan dengan kepala tegak, menyusuri jalan dengan membawa tombak, pedang, dan zirah tempur yang berkilauan. Di palagan Ganter pasukan Singhasari dan Daha Kediri berdiri saling berhadap-hadapan. Pertaruhan sebagai penakluk tanah Jawa telah dimulai. Siapa pemenang dan siapa yang kalah?

Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

No comments:

Post a Comment