Wednesday, July 15, 2020

Siasat Tohjaya

Kalender Saka menunjukkan tahun 1170. Tibalah saatnya upacara pelantikan Sang Apanji Anengah Anusapati sebagai Raja baru kerajaan Singhasari. Raja baru itu menggantikan Ken Arok, Raja pertama yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Bathara Amurwabhumi. Anusapati berhasil melaksanakan siasat jitu yang menyingkirkan ayah tirinya dari tahta kerajaan. Selama Anusapati menjadi Raja, ia selalu menaruh curiga pada siapapun. Berhati-hatilah segala sikap dan tindak tanduk Raja itu. Sebagai perlindungan, Anusapati sengaja membuat kolam melingkar yang mengelilingi bilik peraduannya. Tak cukup sampai disitu, ia juga menyuruh para penjaga yang paling kuat, mahir beladiri dan olah senjata untuk ditempatkan sebagai penjaga utama di luar bilik.

Apanji Tohjaya, anak sulung perkawinan Ken Arok dan Ken Umang menaruh dendam kepada Anusapati. Ia tahu benar bahwa pelaku pembunuh ayahnya adalah Anusapati sendiri.

Tohjaya merencanakan siasat untuk menyingkirkan Anusapati dari tahta kerajaan. Ia telah mendapat banyak cerita, terutama dari Ibunya, Ken Umang, bahwa di pinggang kakak tirinya itu terselip keris bertuah buatan Empu Gandring. Tergores sedikit saja karena tajamnya keris itu, maka kematianlah akibatnya. Maka dari itu Tohjaya yang mengetahui bahwa keris itu pernah dipakai Anusapati untuk membunuh ayahnya, akan dipakainya pula untuk membalas dendam; selain itu Tohjaya mengetahui kegemaran kakak tirinya terhadap pertandingan sabung ayam. Rencanapun segera disiapkan dengan cermat.

Berdasarkan perhitungan hari baik, Tohjaya keluar dari kediaman sembari membawa ayam jantan peliharaannya. Ia berjalan menuju bilik Raja Anusapati. Di dalam biliknya, Anusapati tertawa riang melihat saudara tirinya itu membawa ayam jantan. Tak secuilpun kecurigaan tampak dalam pikirannya. Ia langsung menyambut kedatangan Tohjaya.

"Adinda Tohjaya, apakah kedatanganmu kemari hendak mengajakku untuk menyabung ayam?," tanya Anusapati.

"Sangat betul pikiran kakanda paduka. Mari menyabung ayam untuk menghibur hati," ucapnya dengan memasang wajah ramah dan bersahabat.

Anusapati senang bukan kepalang. Soal sabung ayam memang telah menjadi kegemarannya sejak lama. Iapun memerintahkan abdinya untuk mengambil ayam jantan miliknya. Segera setelah abdinya datang untuk membawakan ayam jantan, Sang Raja hendak menggendong ayam itu di ketiaknya; saat itulah Tohjaya menasehatinya,

"Kakanda Raja, keris yang terselip di pinggang kakanda sebaiknya dititipkan dulu padaku. Sebab tak elok jika keris sebaik itu terkena bulu-bulu ayam atau malah mengganjal tubuh ayam yang sedang digendong; juga menurut hemat saya, agar kakanda bisa bergerak bebas tanpa ada ganjalan," ujar Tohjaya.

Anusapati yang sedikitpun tak menaruh rasa curiga akhirnya menitipkan keris itu pada Tohjaya, dan Tohjayapun menyelipkan keris itu di pinggangnya. Anusapati menggendong dua ayam jantan kesayangannya, dihimpit di sela-sela antara lengan dan ketiaknya. Berjalanlah Sang Raja menuju arena sabung ayam. Tohjaya mengikutinya dari belakang.

Saat di arena, mulailah keduanya mengadu ayam masing-masing. Tampak giranglah Anusapati dibuatnya, apalagi ayamnya memang perkasa. Berbeda halnya dengan Tohjaya. Kegembiraan putra Ken Umang itu semata terjadi karena kepura-puraan. Ia tetap mengamati keadaan dan kelengahan saudara tirinya itu. Ketika kegirangan itu membuat Anusapati lupa akan segala-galanya, saat itulah Tohjaya menangkap saat yang tepat. Ia memutar perlahan menuju tempat yang tepat berada di belakang Anusapati, kemudian dengan tangan kirinya, ia mengunci leher Sang Raja. Tangan kanannya mencabut keris Gandring dari pinggangnya lalu ditusukkannya keris itu ke tubuh kakak tirinya. Darah membuncah. Suasana gembira pertandingan sabung ayam mendadak berubah menjadi jerit kepanikan, tak terkecuali para petinggi dan pasukan kerajaan. Tohjaya melepaskan kuncian lehernya. Tubuh Anusapati yang sudah tak bernyawa menggelosor di tanah. Ia tersenyum puas kemudian mengacungkan keris Gandring itu kepada mereka semua yang ada disana.

"Sang Prabu telah kubunuh. Aku telah menuntaskan dendamku atas perbuatannya pada ayahandaku, sang Bathara Amurwabhumi. Kini sembah sujudlah kalian semua, karena akulah penguasa baru tahta Singhasari".

Para prajurit dan para petinggi tak dapat berkata apa-apa. Mereka rupanya juga banyak tahu bahwa Anusapati adalah dalang utama pembunuhan Sang Nata Amurwabhumi. Di satu sisi, ternyata Apanji Tohjaya juga beroleh dukungan dari para abdi dan pengikutnya yang telah bersekongkol. Para abdi dan pendukungnya itu dengan segera berdiri berjajar di samping dan di belakangnya.

Tombak-tombak diletakkan, pedang-pedang kembali disarungkan. Mereka semua menghaturkan sujud takzim kepada Tohjaya yang masih dalam posisi menghunus keris Gandring dengan darah segar yang menetes dari ujung tajamnya.

Malam setelah peristiwa berdarah itu berlangsung, Apanji Tohjaya pergi berjalan bersama semua abdi menuju istana dan langsung duduk di atas singgasana kerajaan. Mahkota raja dikenakannya di kepala. Peristiwa tragis kematian Anusapati terjadi pada tahun 1171 Saka. Sang Apanji Anengah Anusapati diperabukan di candi Kidal, dan semua percaya, peristiwa-peristiwa berdarah masih akan terjadi hingga ujungnya ketika kutukan keris Gandring itu tergenapi.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Bunga Rampai 700 Tahun Majapahit karya Sartono Kartodirdjo dkk

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

No comments:

Post a Comment