Wednesday, July 15, 2020

Senja di Ujung Tahta

Sang Apanji Anengah Anusapati mengintip dari balik sebuah bilik di kedaton Singhasari. Ia melihat pemandangan ayahandanya, Sang Rajasa Amurwabhumi yang tengah bermain dan menimang putra-putrinya di sebuah taman telaga penuh rimbun bunga, yang dihiasi dengan latar belakang menjulangnya dua gunung perkasa penghias alam. Di keindahan lereng Arjuna dan kokohnya Kawi itulah Sang Raja menggendong anak-anaknya secara bergantian dan mencelupkan kedua kaki mungil mereka ke dalam air telaga. Terdengar kecipak dan tawa riang dari bibir-bibir kecil mereka. Apanji Tohjaya, anak tertua dari pernikahan sang ayah dengan selir Ken Umang, tampak membawakan nampan berisi buah dan sayuran. Ia tampak turut bergembira.

Suasana penuh tawa itu rupanya berlainan dengan apa yang dirasakan oleh Apanji Anengah Anusapati. Selama ini ia merasa bahwa sang ayah lebih menyayangi mereka ketimbang dirinya. Suatu kali ia pernah menanyakan hal itu pada Sang Amurwabhumi, namun Sang Raja tak pernah memberi jawaban yang melegakan,

"Lihatlah berapa umurmu sekarang, sudah tak layak lagi kau dimanja!".

Anusapati bahkan mengalami sendiri bahwa sejak kecil perlakuan ayahnya begitu sinis terhadapnya, seakan ia bukan anak kandungnya. Selama ini pula ia selalu mengeluh kepada Paramesywari Ken Dedes, Ibunya, namun berkali-kali ia disuruhnya untuk bersabar. Karena sudah meluap hingga ubun-ubun, iapun bertanya kepada pamongnya yang paling tua. Pamong ini telah turut mengabdi sejak Sang Amurwabhumi masih dipanggil dengan nama Ken Arok, yang ketika itu menjabat sebagai Senopati Tumapel.

Ketika ditanyai, sang pamong hanya menarik nafas panjang. Ia menoleh kesana-kemari seperti mencoba menyusun kata-kata yang baik untuk dapat ia utarakan; namun raut wajah sang Pamong tak dapat disembunyikan. Ia tentu tahu banyak perihal segala rahasia yang disimpan Sang Amurwabhumi tentang dirinya.

"Mohon ampun, Pangeran. Menurut hemat hamba, selayaknya Pangeran menanyakan itu kepada Rani Paramesywari. Hamba hanya Pamong, tentulah hamba tak memiliki kepantasan untuk berbicara tentang keluarga kerajaan," jawabnya.

Anusapati tahu bahwa lontaran tutur sang Pamong menunjukkan bahwa ada rahasia menyangkut dirinya yang telah sekian lama disembunyikan rapat-rapat. Iapun segera menuju bilik peraduan Sang Ibu. Ia menangis sesenggukan sembari berhatur sembah. Rani Paramesywari Ken Dedes duduk di tepi peraduan kemudian membelai kepala anak itu di pangkuannya.

"Apakah kiranya yang kau risaukan, anakku?," tanya Ibunya.

"Hamba mohon Ibu menjawab dengan jujur, sebenarnya siapakah hamba ini? Mengapa perlakuan sang Nata begitu berbeda terhadap saya?"

Ken Dedes tak menyangka bahwa untuk kesekian kalinya ia mendapat pertanyaan itu. Ia menatap dalam-dalam sosok Anusapati dari kaki hingga ujung kepala. Telah dewasalah putra sulungnya itu.

"Memang sudah cukuplah usiamu, dan mungkin ini saatnya kau harus mengetahui kenyataan tentang dirimu. Ketahuilah, bahwa sebenarnya kau bukan anak kandung Sang Amurwabhumi".

Anusapati terperangah mendengar jawaban itu. Ia terkejut bukan main, rasanya seperti tersambar geledek.

"Lantas, siapakah ayah hamba?"

"Ayah kandungmu adalah Bapa Tunggul Ametung. Dulunya Bapamu adalah akuwu Tumapel. Sang Nata pernah mengabdi padanya dan diangkat menjadi senopati kerajaan"

"Dimana ayah sekarang? Apakah masih hidup atau sudah wafat?"

"Ayahmu sudah wafat"

"Mengapa ayah wafat? Apakah terbunuh? Siapa yang membunuhnya?"

"Sang Nata Amurwabhumi yang telah membunuh ayahmu. Lalu setelah kematian ayahmu, Sang Nata memperistri Ibu yang dulu tengah mengandungmu".

Mendengar jawaban itu Anusapati terdiam lemas. Air matanya tumpah mengetahui kenyataan tersebut. Rupanya ia tahu bahwa perlakuan Sang Nata begitu berbeda terhadapnya disebabkan karena ia bukanlah seorang putra kandung.

Sang Pramesywari Ken Dedes bercerita tentang peristiwa terbunuhnya Akuwu Tunggul Ametung dan perihal keris petaka buatan Empu Gandring. Ibunya pun bercerita bahwa keris itu memiliki kutukan tumbal tujuh nyawa. Sang Nata telah menitipkan keris itu pada Ken Dedes.

"Mengapa keris itu dititipkan pada Ibu? Kenapa bukan Sang Nata saja yang membawanya?," tanya Anusapati.

"Sang Nata menyadari bahwa beliau seringkali tak bisa menguasai emosinya. Bilamana keris itu ada di tangannya, Sang Nata khawatir keris itu akan kembali meminta tumbal. Di tangan Sang Nata sendiri keris itu sudah membunuh tiga orang : Empu Gandring, Bapamu Tunggul Ametung dan seorang petinggi kekuwuan bernama Kebo Ijo".

"Jika diperkenankan, biar hamba saja yang membawa keris itu, Ibu," pinta Anusapati

"Akan kaupergunakan untuk apa keris petaka itu?"

"Hamba takut bila di kemudian hari Sang Nata mempergunakan keris itu untuk menghilangkan nyawa hamba. Oleh sebab itu akan lebih baik jika hamba menyimpannya di tempat yang aman"

"Tidak, nak. Sekalipun perlakuan Sang Nata buruk terhadapmu, tetapi ia telah berjanji pada Ibu untuk merawatmu dengan baik"

Anusapati tak puas mendengar jawaban Ibunya. Ia terus memaksa agar keris itu jatuh ke tangannya. Karena terus dibujuk, Ken Dedes pun luluh dan memberikan keris itu pada putra sulungnya.

"Berhati-hatilah. Simpan dengan baik. Bukan tidak mungkin kelak keris ini akan tetap meminta tumbal untuk menggenapi kutukannya".

Anusapati merasa puas. Ia berhasil membawa keris itu, lalu segera berhatur sembah pada Ibunya dan segera pergi meninggalkan bilik. Tinggallah Ken Dedes yang merenung seorang diri. Ia tampak menyesali ucapannya.

"Seharusnya aku tak mengatakan semuanya pada Apanji Anusapati. Jika ia menaruh dendam bukan tidak mungkin ia membuat kekisruhan," begitu ungkapan hatinya; namun ia mencoba untuk tetap berpikir baik. Ia berdoa demi keselamatan orang-orang yang dikasihinya.

Keris Empu Gandring telah ada dalam genggaman Anusapati. Ia duduk di biliknya dan tampak sedang merencakan sesuatu. Lama ia merenung hingga kemudian ia menyuruh abdinya, yakni seorang Pengalasan dari daerah Batil. Ki Pengalasan berhatur sembah kemudian berujar akan melaksanakan segala perintah.

"Ki Pengalasan, selipkan keris ini di pinggangmu dan berangkatlah menuju kediaman Sang Amurwabhumi. Tunggulah sampai Sang Nata lengah, kemudian bunuhlah dengan menggunakan keris ini," ujar Anusapati.

Setelah dijanjikan upah yang tinggi, Pengalasan berangkat menunaikan tugasnya. Saat itu penanggalan tunjuk hari Kamis Pon, Minggu Landep di waktu senja menjelang malam. Sang Pengalasan mengendap-endap masuk istana Amurwabhumi, kemudian menemukan Sang Raja sedang bersantap dengan lahap. Ia melakukan segala persiapan dengan tenang. Tangannya telah diletakkan pada gagang keris Gandring dan tinggal menunggu waktu untuk dicabut dari sarungnya. Ia menunggu dan terus menunggu.

Perlahan matahari telah bersembunyi di peraduan garis cakrawala; awan-awan menepi, garis hitam meluas menyelimuti bumi seisinya. Burung-burung gagak hinggap di atap Kedaton. Suara-suara pekak burung-burung itu seakan menjadi lantunan musik pilu pengiring tragedi berdarah yang mungkin akan terjadi pada diri penguasa Bumi Jawadwipa : Sri Ranggah Rajasa Bathara Amurwabhumi.

Tepat ketika pergantian malam, saat orang-orang hendak menyalakan obor dan pelita mereka masing-masing, Sang Pengalasan mencabut keris Gandring dari pinggangnya, berlari lalu menusuk punggung Amurwabhumi. Penerangan yang tidak memadai membuat Pengalasan berhasil melarikan diri keluar ruangan usai menusuk sang Raja. Pendiri kerajaan Singhasari itu menjerit hingga kemudian tewas di ruang perjamuan istana. Peristiwa itu tercatat ketika perhitungan kalender Saka menunjuk angka tahun 1168.

Pengalasan itu berlari menuju kediaman Anusapati, dan melaporkan bahwa ia telah menunaikan tugasnya dengan baik. Anusapati senang melihat skenarionya sukses dengan gemilang. Ia memuji kemampuan Sang Pengalasan.

"Bagus! Sekarang kembalikan dulu keris yang kutitipkan padamu," pinta Anusapati pada Pengalasan.

Dengan rasa hormat yang tinggi, Pengalasan asal Batil itu menyerahkan keris Gandring pada Anusapati. Sang Pangeran putera Ken Dedes itu tersenyum melihat jejak darah segar ayah tirinya di badan keris. Tidak lama ia memandangi orang suruhannya itu, kemudian dengan gerakan cepat Anusapati menusuk perut Pengalasan dengan keris tersebut. Sang batil terkapar tak berdaya. Ia tak mengira akan menemui ajalnya di tangan Anusapati, seorang tuan yang selama ini tak satupun perintahnya dilanggar.

Terjadilah kepanikan di seluruh Bumi Singhasari. Raja mereka tewas terbunuh, dan di saat yang sama seorang Pengalasan juga terbunuh. Anusapati mengarang cerita bahwa Sang Pengalasan seusai membunuh Raja, hendak meneruskan tujuannya untuk membunuh dirinya, namun beruntung, Anusapati dapat melawan kemudian menghabisinya. Cerita karangannya itu diterima banyak orang, walau tak sedikit pula yang tahu bahwa semua yang terjadi adalah siasat dari Panji Anengah Anusapati untuk menyingkirkan ayah tirinya dari tahta. Dengan demikian Anusapati telah membuat rencana yang persis sama dengan gemilangnya rencana Ken Arok di masa lalu, dimana ia pernah membunuh Kebo Ijo dan Tunggul Ametung demi merebut kekuasaan. 

Baru beberapa tahun Singhasari berdiri, perputaran karma telah mengaktualisasi diri.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Bunga Rampai Tujuhratus Tahun Majapahit karya Sartono Kartodirdjo dkk

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

No comments:

Post a Comment