Wednesday, July 15, 2020

Ihwal Kelahiran Ken Arok

Di tepi gunung Kawi, di desa Pangkur, terdapatlah sepasang suami-istri yang saling kasih-mengasihi. Ken Endog, sang istri selalu setia membawakan bekal makanan kepada Gajahpara, suaminya yang setiap harinya mengerjakan sawah di daerah Aruga. Suami-istri tersebut walaupun bukan dari golongan kaya, namun mereka berdua hidup berkecukupan. Gajahpara adalah pria gagah perkasa, sedangkan Ken Endog adalah wanita cantik jelita yang pernah menawan hati banyak pria, bahkan dewata.

Syahdan, pada suatu hari Batara Brahma turun ke bumi dan menyaksikan kecantikan Ken Endog. Sang Batara menghampiri Ken Endog yang saat itu sedang dalam perjalanan mengantar bekal makanan untuk suaminya yang bekerja di sawah Aruga. Pertemuan keduanya terjadi di ladang Lalateng. Ken Endog takjub melihat kebesaran Batara Brahma dengan cahaya berkilauan di tubuh dan parasnya. Sang Batara berkata padanya,

"Ken Endog, aku menitipkan jabang bayi di rahimmu. Kelak kelahiran mulia anak yang kaukandung ini akan menjadi penguasa tanah Jawa. Setelah pertemuan ini janganlah kau tidur dengan Gajahpara, suamimu, karena ia bisa tewas jika engkau melanggar ketentuan ini,".

Berbeda dengan Dewi Kunti yang mengucapkan mantra untuk mendatangkan para dewa dan menitipkan benih di rahimnya, Batara Brahma sendiri yang hadir langsung di hadapan Ken Endog. Setelah kejadian itu ia takjub namun juga bingung. Dapatkah Gajahpara menerima peristiwa ini dengan lapang dada?

Ken Endog berjalan dengan raut wajah yang diliputi keresahan. Suaminya melihat istrinya itu dari kejauhan dan segera menyapanya,

"Adinda, kiranya ada yang berbeda dari parasmu. Hal apa yang sedang engkau risaukan?," tanya suaminya itu.

"Kanda, aku telah beroleh anugerah. Hari ini Hyang Batara Brahma berkenan menemuiku. Hyang Batara menitipkan benih di rahimku dan membuat ketentuan bahwa aku tidak diperbolehkan lagi berkumpul denganmu. Bila aku tidak menuruti ketentuan itu, maka akibatnya akan buruk bagi keselamatan kakanda. Aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Ken Endog dengan suara parau berlinang air mata.

Gajahpara menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia mencoba duduk untuk menenangkan diri, lalu berbicara kepada istrinya,

"Apabila itu sudah merupakan suratan takdir yang digariskan oleh Ida Bathara, maka aku rela melepasmu. Ambillah milik kita yang sepantasnya menjadi milikmu, dan aku akan mengambil apa yang menjadi milikku. Setelah ini aku akan kembali ke Campara, tempat masa kecilku, sedangkan engkau bermukimlah di Pangkur. Percayalah sekalipun berpisah, hati kita tetap menyatu,".

Kedua pasang suami-istri itu akhirnya saling melepas masing-masing. Gajahpara pergi dengan penuh kesedihan, meninggalkan istrinya yang selama ini begitu dikasihinya. Ken Endog juga tak kuasa menahan tangis ketika Gajahpara pergi meninggalkannya. Pada beberapa langkah Gajahpara sempat menoleh kembali. Air matanya membasahi pipi. Ken Endog melambaikan tangan hingga sosok lelaki yang dicintainya itu menghilang ditelan turunnya kabut gunung Kawi.

Genap seminggu usia janin dalam rahim Ken Endog, pun genap seminggu perpisahannya dengan sang suami, Ken Endog mendengar kabar bahwa Gajahpara meninggal dunia. Ia menangis dan menjerit dalam hatinya. Kasak-kusuk penduduk menyebut bahwa jabang bayi yang dikandung Ken Endog memiliki aura sangat panas sehingga mengakibatkan Gajahpara meninggal dunia.

Setelah genap sembilan bulan, jabang bayi itu lahir ke dunia. Ken Endog melarikan bayi itu dan menaruhnya di sebuah kuburan bayi di tengah malam. Tidak berapa lama setelah Ken Endog pergi meninggalkan bayinya, datanglah seorang pencuri bernama Lembong. Ia menghampiri makam tersebut karena terperangah melihat cahaya berkilauan yang muncul di dalam makam, di tengah malam buta. Setelah didekati, ternyata cahaya tersebut muncul dari sosok seorang bayi laki-laki. Ia mengambil bayi itu dan merawatnya.

Kabar tentang Lembong yang menemukan bayi laki-laki bercahaya sampai juga di telinga Ken Endog. Ia khawatir bila anaknya itu diasuh oleh Lembong, yang mana masyarakat luas telah mahfum akan nama besarnya sebagai pencuri. Ia takut akan perangai anaknya kelak bila diasuh oleh Lembong. Atas ketakutan-ketakutan itu, Ken Endog mendatangi rumah Lembong dan bercerita banyak tentang pengalamannya bertemu dengan Batara Brahma sampai kelahiran bayi itu.

"Apa nama yang baik untuk anak ini?," tanya Lembong pada Ken Endog.

"Sesuai amanat Hyang Batara, anak ini hendaknya diberi nama : Arok".

"Baiklah. Arok bisa kita rawat berdua. Aku tak menutup-nutupi bahwa kau adalah ibunya. Tentu aku akan senantiasa mengijinkan anak ini bilamana ia berkehendak untuk mengunjungi kediamanmu".

Begitulah masa kecil Arok dirawat oleh Lembong dan Ken Endog; namun karena ia lebih banyak berada di rumah Lembong, Arok mulai menampakkan perangai-perangai buruk yang selama ini kerap dipertontonkan oleh ayah angkatnya itu. Bahkan ia kerap diajak mencuri bersama Lembong. Satu lagi, Arok sangat gemar berjudi. Ia menghabiskan harta-benda Lembong dan Ken Endog. Untuk meredakan tingkah buruknya, Arok kecil dipekerjakan sebagai gembala yang mengabdi pada seorang tuan tanah di Lebak; namun belum lama ia bekerja, ia sudah menghilangkan sepasang kerbau milik tuannya. Alhasil, Ken Endog marah besar. Arok mengancam pergi karena tak tahan dimarahi. Ken Endog dan Lembong menahannya dan berkata bahwa mereka berdua rela menjadi hamba sahaya sang tuan tanah asalkan Arok tidak pergi meninggalkan mereka. Tapi toh akhirnya Arok pergi juga.

Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko


Artikel ini pernah dimuat di UC News

No comments:

Post a Comment