Wednesday, July 15, 2020

Empu Gandring

Sesuai saran dari Bango Samparan, ayah angkatnya, Ken Arok pergi ke daerah Lulumbang untuk menemui Empu Gandring, sang pakar keris bertuah. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, sampailah ia di kediaman Empu Gandring. Disana Ken Arok melihat-lihat cara kerja Empu Gandring yang sangat cermat dalam mengolah keris-keris pesanannya. Wujud keris yang telah selesai tampak sangat sempurna, tanpa cacat sedikitpun. Arok juga melihat betapa hebatnya keris Empu Gandring yang diperagakan langsung di depan matanya; karena terkesan dan tak mau berlama-lama, Arok segera meminta agar keris pesanannya selesai dalam waktu lima bulan.

"Ananda Ken Arok, jika menginginkan bentuk keris dengan tuah yang sempurna, maka perlu asahan dan tempaan dalam waktu cukup lama. Tidak mungkin untuk selesai dalam waktu lima bulan. Maka sebaiknya kembalilah lagi kemari setelah satu tahun," ujar sang empu.

Ken Arok merasa kecewa terhadap jawaban Empu Gandring. Ia tak mau menunggu terlalu lama karena siasatnya sangat mendesak untuk segera diwujudkan sebelum semua terlambat.

"Entah bagaimana cara tuan menyelesaikannya; tapi aku harus mendapatkan keris pesananku dalam waktu lima bulan!".

Sebelum Empu Gandring menyanggah perkataannya, Ken Arok segera pergi meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Pendiriannya begitu kaku.

Setelah dari Lulumbang, Ken Arok segera pulang ke Tumapel. Sesampainya disana ia langsung menemui gurunya, Dang Hyang Lohgawe.

"Anakku, mengapa engkau lama sekali berada di Karuman?," tanya sang guru.

"Mohon maaf, Bapa Guru, setelah menemui ayah Bango Samparan, saya pergi ke Lulumbang untuk memesan sebilah keris bertuah kepada ahli keris bernama Empu Gandring".

Dang Hyang Lohgawe tersenyum lalu berpesan, "Berhati-hatilah dan bersabarlah. Ingatlah bahwa semua batasan ada pada kehendakmu sendiri".

Satu bulan, dua bulan, hingga lima bulan berlalu, Ken Arok teringat pada keris pesanannya. Iapun segera pergi menuju Lulumbang untuk menagih keris pesanannya itu pada Empu Gandring.

Sesampainya di kediaman Empu Gandring, ia segera bertanya pada sang Empu yang tampak sedang bekerja.

"Tuan, kedatangan saya kemari hendak mengambil keris pesanan saya"

Sang Empu menghela nafas sejenak dan berkata pada Ken Arok sembari tetap bekerja mengasah kerisnya, "Ananda Arok, saya sudah bilang bahwa membuat keris dengan bentuk dan tuah yang sempurna dibutuhkan waktu satu tahun. Sekarang ini saya sedang mengasahnya. 'Isi' dalam keris ini juga masih belum bisa dikendalikan sebelum saya bertapa kembali untuk menjinakkannya. Maka sekarang ini sebaiknya ananda kembali ke Tumapel; kelak jika tiba waktunya, datanglah lagi kemari".

Mendengar ucapan Empu Gandring, mendidihlah darah Ken Arok. Amarahnya memuncak, dan dengan kasar ia mengambil keris yang sedang dikerjakan oleh Empu Gandring. Arok mengamuk dengan ganas. Dipukulkannya keris itu pada lumpang batu dan ternyata lumpang yang sedemikian besar itu pecah menjadi dua; kemudian digoreskannya keris itu pada wadah penampa, wadah itupun pecah menjadi dua. Ken Arok sangat terkesima dengan tajamnya keris yang dipegangnya itu. Seakan tak pernah lupa pada amarahnya, Arok menatap Gandring dengan mata menyalang,

"Aku sudah bilang bahwa keris pesananku harus selesai dalam lima bulan! Celakalah kau, Gandring!"

Dengan gerakan cepat Ken Arok menikamkan kerisnya tepat pada dada Empu Gandring. Ahli keris sepuh itu roboh dan tergolek kesakitan. Sebelum ajal menjemputnya, ia memberi kutukan pada Ken Arok :

"Dengarlah kutukanku, Arok! kelak keris yang kaubawa itu akan meminta tumbal tujuh nyawa, termasuk nyawamu!"

Setelah mengucap kutukan, Empu Gandring meninggal. Ken Arok menyesal karena tak mampu menahan amarah hingga membunuh Empu keris termahsyur itu. Empu Gandring sangat sulit dicari penggantinya, bahkan di seantero Nusantara. Ken Arok akhirnya menggenggam tangan Gandring. Ia berkata pada jasad tersebut :

"Kemuliaan yang kelak akan kudapatkan akan senantiasa terpancar kepada anak-cucu Empu Gandring, juga kepada seluruh pandai keris di Lulumbang".

Setelah berkata demikian, Ken Arok menyuruh para pekerja yang ketakutan untuk segera mengkremasi jenazah Empu Gandring. Setelah usai upacara kremasi, lelaki asal Pangkur itu kembali ke Tumapel. Disana ia mempersiapkan siasatnya. Di dalam pikirannya hanya ada impian tentang kemuliaan, juga bayang paras jelita Ken Dedes.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News


No comments:

Post a Comment