Wednesday, July 15, 2020

Dua Nyawa di Ujung Keris Gandring

Keris yang belum sepenuhnya sempurna itu dibawa oleh Ken Arok ke Tumapel. Ia menyisipkan keris itu di pinggangnya. Segera setelah sampai disana, siasatnyapun segera dijalankan. Sasaran awalnya adalah Kebo Ijo, seorang pejabat tinggi Tumapel kepercayaan Tunggul Ametung yang selama ini bersahabat dengannya. Saat Kebo Ijo sedang berteduh di bawah rindangnya Beringin, Arok menghampirinya.

"Lama kau tak terlihat, Arok. Apa saja yang kau lakukan selama ini?" tanya Kebo Ijo.

"Aku menghabiskan waktuku untuk memesan keris pada seorang empu di Lulumbang. Ternyata keris yang dihasilkan belum sepenuhnya selesai karena sang empu meninggal dunia sebelum sempat menyelesaikannya; tapi walaupun belum paripurna, cukup terlihat bahwa keris ini dikerjakan dengan perhitungan yang sangat cermat, dan 'isi' di dalamnya terasa hebat; namun aku tak suka karena keris ini masih kasar," jawab Ken Arok.

"Coba kulihat"

Kebo Ijo yang penasaran akhirnya diperlihatkan wujud keris milik Ken Arok yang memang masih kasar. Keris itu berhulu kayu cangkring, masih terdapat duri dan perekatnya belum begitu kuat.

"Keris ini bagus, Arok! Benar katamu, walaupun belum sempurna tapi perhitungan pembuatannya sangat matang! Coba kau cermati lekuk demi lekuknya, keris ini benar-benar bagus!"

"Sahabatku, aku terlanjur tidak berminat dengan keris tersebut; jika kau ingin memilikinya, maka jadilah keris ini sebagai milikmu," ujar Ken Arok.

Kebo Ijo pun senang bukan kepalang. Ia berterimakasih dan segera menyisipkan keris itu di pinggangnya. Keesokan harinya Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada semua orang di Tumapel. Sayangnya ia tak sekalipun mengatakan bahwa keris itu merupakan pemberian dari Ken Arok.

Tepat pada perhitungan hari baik, di suatu malam ketika bulan tertutup awan, di tengah suasana gelap gulita, Ken Arok mengendap-endap. Ia menuju bilik kediaman Kebo Ijo dan mengamati keadaan. Setelah aman dan memastikan bahwa Kebo Ijo telah tertidur pulas, Ken Arok masuk ke dalam bilik tersebut, kemudian mencuri keris Empu Gandring yang beberapa hari lalu ia berikan padanya. Usaha pencurian Ken Arok berhasil. Kemampuannya sebagai pencuri memang telah teruji sekian lama, buah dari pengalaman masa lalunya. Arok berhasil keluar dari bilik Kebo Ijo kemudian segera menuju ke kediaman Akuwu Tunggul Ametung.

Kembali ia menyelinap, mengendap-endap di dalam gelap. Setelah menyingkirkan dua pengawal yang berjaga di depan pintu dengan tanpa suara sedikitpun, Ken Arok secara perlahan segera membuka bilik Tunggul Ametung. Disana ia menyaksikan sang Akuwu sedang tertidur lelap. Ia sedikit melenakan waktunya terbuang karena terpana melihat kemolekan Ken Dedes yang juga tertidur di ranjang yang sama. Ken Arok segera tersadar akan keterpanaannya, kemudian dengan segera ia menghunus keris milik Empu Gandring. Ia mendirikan keris itu di dahinya dan berbisik pada batang besinya,

"Semua ini kulakukan demi kemuliaanku yang akan terpancar di seluruh tanah Jawa".

Segera setelah berkata demikian, Ken Arok menancapkan keris itu di tubuh Tunggul Ametung. Sang Akuwu mengerang hebat. Ken Arok dengan cepat melarikan diri keluar bilik dan hilang dalam kegelapan malam, tanpa diketahui satu orangpun.

Erangan akuwu Tunggul Ametung mengundang kedatangan banyak orang. Istrinya, Ken Dedes yang terbangun karena teriakan itu langsung menjerit histeris karena banyaknya darah yang mengucur di tubuh sang akuwu. Tak berapa lama ia pingsan. Tumapel menjadi geger, semua orang larut dalam kekhawatiran karena sang akuwu, pemimpin mereka telah terbunuh.

Para prajurit dan pejabat kadipaten Tumapel melihat keris yang menancap di tubuh Tunggul Ametung. Mereka tidak asing dengan bentuk keris itu dan tidak asing pula dengan pemiliknya. Segeralah mereka mendapat anggapan bahwa sang pembunuh Akuwu adalah Kebo Ijo. Kebo ijo yang ada disitu menolak segala tuduhan, namun terlambat. Orang-orang yang kalap segera mengepungnya. Kebo Ijo dapat melepaskan diri dari kepungan, kemudian lari keluar Tumapel. Ken Arok yang kembali untuk menyaksikan peristiwa yang sebenarnya terjadi karena ulahnya sendiri, segera memerintahkan pasukan Tumapel untuk mengejar Kebo Ijo. Ken Arok memang memiliki kuasa untuk menggerakkan pasukan, karena jabatannya di Tumapel adalah senopati tertinggi yang membawahi semua prajurit. Ken Arokpun mengambil keris yang dipakai membunuh Tunggul Ametung, dan berteriak,

"Kebo Ijo yang telah menusuk Akuwu dengan keris ini, maka iapun harus dihabisi dengan keris ini pula! Hutang nyawa dibayar nyawa!".

Ken Arok segera memimpin pengejaran terhadap Kebo Ijo. Cukup lama pengejaran itu berlangsung, hingga Kebo Ijo berhasil dikepung. Kebo Ijo tak mau menyerah begitu saja. Ia terus melakukan perlawanan, namun sia-sia. Prajurit Tumapel yang menang dalam jumlah dengan mudah membuatnya takluk. Melihat ketidakberdayaan Kebo Ijo, Ken Arok maju untuk menuntaskan hidup orang yang selama ini menganggapnya sebagai sahabat. Keris Empu Gandring dihunusnya, kemudian ditusukkannya pada tubuh Kebo Ijo. Lenyap sudah daya hidup sang pejabat Tumapel, orang kepercayaan sang Akuwu yang terfitnah itu.

Setelah semua peristiwa itu berlangsung, sebagai senapati perang tertinggi Tumapel, Ken Arok menahbiskan dirinya sebagai penguasa. Prajurit-prajurit bawahannya menuruti saja apa kata jendralnya. Para pejabat dan keluarga istana juga terdiam tak berdaya karena kekuasaan Ken Arok yang mampu menggerakkan seluruh tenaga militer Tumapel dengan jentikan jarinya. Tak cukup sampai disitu, Ken Arok mempersunting Ken Dedes dan menjadikan puteri Mpu Purwa itu sebagai pendampingnya. Dengan dukungan Dang Hyang Lohgawe sebagai brahmana terkemuka, Ken Arok mendapatkan restu untuk mengambil alih kekuasaan. Kebijakan yang pertama dilakukan oleh Arok adalah memaklumatkan Tumapel sebagai negara merdeka, lepas dari kekuasaan Kadhiri. Demikianlah kudeta pertama yang tercatat dalam sejarah panjang kerajaan Jawa telah menelan dua nyawa, penumbal tuah ujung keris Empu Gandring.


Sumber bacaan :

Pararaton terjemahan Gamal Komandoko

Menuju Puncak Kemegahan karya Slamet Muljana

Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti karya Boechari

Artikel ini pernah dimuat di UC News

No comments:

Post a Comment