![]() |
Seven Sister by James Roderick |
Episode 16 : Dari Limabelas hingga Tujuh
Teka-teki
yang sulit dipecahkan di dunia ini menurutku hanya ada tiga, yaitu:
takdir, wanita dan SMSR. Siapa yang menyangka bila saat awal masuk
sekolah, kelas kami diisi oleh limabelas anak, lalu mrotoli satu demi
satu, hingga naik ke kelas dua, tinggal sepuluh, mrotoli lagi tinggal
sembilan, kemudian Yohanes Lema meninggal dan akhirnya di kelas tiga ini
kami hanya tinggal berdelapan.
Siapa juga yang menyangka para siswa ahli lukis seperti Yoppy Semprong, Paulus, dan kakak kelas kami seperti Fatkur Hartono dan lain-lain tidak lagi ada di kelas ini. Sebenarnya kemampuan mereka cukup bagus, namun dunia akademis mungkin bukan tempat mereka untuk mengembangkan bakatnya, karena bakat mereka tumbuh oleh tempaan lingkungan dan minat yang tinggi; berbeda dengan kami yang sekedar bisa mencampur warna saja rasanya perlu syukuran tujuh hari tujuh malam.
Siapa juga yang menyangka para siswa ahli lukis seperti Yoppy Semprong, Paulus, dan kakak kelas kami seperti Fatkur Hartono dan lain-lain tidak lagi ada di kelas ini. Sebenarnya kemampuan mereka cukup bagus, namun dunia akademis mungkin bukan tempat mereka untuk mengembangkan bakatnya, karena bakat mereka tumbuh oleh tempaan lingkungan dan minat yang tinggi; berbeda dengan kami yang sekedar bisa mencampur warna saja rasanya perlu syukuran tujuh hari tujuh malam.
Di kelas tiga ini kami melakukan proses penyelesaian
tugas akhir. Para guru membebaskan kami untuk membuat lukisan dengan
tema dan media apapun. Aku mulai berbelanja cat akrilik untuk karyaku.
Beberapa aku beli di toko cat yang ada di depan kuburan siwalankerto
yang penjualnya terkenal ramah dan sering memberi harga murah; asal
siswa yang membeli di toko itu datang dengan memasang wajah melas.
Beberapa cat lainnya serta kuas berbagai macam ukuran aku beli di sebuah
toko lukis di daerah Pandegiling, Surabaya.
Untuk kanvas, aku
kerap mengajak Dina dan Pa'i untuk survey harga termurah. Akhirnya aku
mendapatkan kanvas yang cocok, kubeli di daerah Pakis, Surabaya, dan
saat itu kubawa ke sekolah sambil berboncengan dengan Mat Pa'i. Saat
kubawa ke sekolah, aku dan Pa'i sempat tabrakan dengan sesama pengendara
sepeda motor di daerah Karah gara-gara Mat Pa'i sok-sokan bermanuver
ala pembalap profesional, padahal memindah persneling saja masih
kelabakan.
Siang itu kami sibuk mengaduk adonan kalsium, semen
putih dan lem rajawali untuk kami pakai sebagai tekstur kanvas. Paling
berat adalah medium milik Tompel. Ia memakai triplek cukup besar,
kemudian melaburinya dengan adonan cukup padat dan tebal, sehingga
teksturnya sangat kasar dan terlihat menyembul bermunculan. Aku kira ia
akan menggambar kobaran api neraka dengan karakter ekspressifnya, namun
penonton kecewa ketika ia mulai mengguratkan sketsa seekor ikan piranha.
Setelah adonan kering, aku mulai menggambar tiga ekor 'Slinky Dog' yang
aku rencanakan bergaya dekoratif. Main aman sajalah, yang penting tugas
akhir selesai, pikirku.
Hariono kuperhatikan membuat dua
lukisan realis. Salah satunya adalah figur Siti Nurhaliza, satunya lagi
ia menggambar sebuah masjid dengan seorang perempuan duduk di halaman
masjid itu; sedang di kanan-kirinya penuh dengan reruntuhan. Ia
bercerita, katanya ada sekumpulan air laut yang bisa memanjat gedung
tinggi, lalu menenggelamkan daratan.
"Airnya itu datang dari
laut, terus bisa manjat gedung terus lari lagi ke bawah. Semuanya
tenggelam, semuanya rusak, kecuali sebuah masjid berwarna putih. Lha ini
masjidnya...," Tutur Hariono sambil menunjuk citraan masjid dalam
lukisannya.
"Oh, itu bencana Tsunami, Har!"
"Iya, iya, Ruh.. suami! suami! Lautnya suami!"
"Tsunami, Har, bukan suami!!"
"Iyaa.. itu.. itu.. Indonesia kemarin tenggelam karena air laut suami itu.."
"Tsunami Har!! Tenggelamnya tahun lalu, bukan tahun Ini," kataku.
Saat pembicaraan kami terjadi, angka tahun menunjukkan awal tahun 2005,
dan tsunami Aceh, seperti yang dimaksud oleh Hariono, terjadinya
setahun lalu, tepatnya tahun 2004, dan memang masjid Baiturrahman,
seperti yang dicitrakan Hariono dalam lukisannya adalah sebuah bangunan
yang tidak tersentuh tsunami sedikitpun. Benarlah kata para psikolog,
bahwa anak berkebutuhan khusus seperti Hariono jika dibimbing untuk
menekuni hal yang disukainya, maka ia akan fokus dengan hal tersebut.
Maka tidak heran bila seorang Hariono yang selama ini dikiranya hanya
bisa berpikir tentang Siti Nurhaliza, ternyata bisa juga memikirkan
bagaimana para korban selamat dari bencana tsunami Aceh mengucapkan
syukur dan dzikir, karena Tuhan telah menjaga keselamatan jiwa, dan
tempat ibadah mereka. Walaupun Hariono sangat sulit untuk
mengungkapkannya secara lisan, namun ia mampu mengungkapkannya lewat
lukisan. Pada periode itu secara disadari atau tidak, Hariono telah
menyibak kebenaran dari sebuah quote sastrawan Pramoedya Ananta Toer,
bahwa lukisan sejatinya adalah sebuah ungkapan sastra dalam warna-warna.
Luar biasa, bukan?
Mat Pa'i kuperhatikan belum berbuat apapun.
Ia masih membayangkan dan mengira-ngira akan melukis apa nantinya. Aku
dan Tompel pernah ke rumahnya dan ia bercerita kalau akan membuat tugas
akhir berupa sketsa. Mendengar itu Tompel murka, karena dalam
anggapannya, siswa lain susah-susah melukis dengan kanvas dan cat, Pa'i
hanya sekedar membuat sketsa, padahal goresan sketsanya juga tidak
terlalu baik, bahkan Pak Khusnul pernah menganggap bahwa sketsa figur
manusia karya Mat Pa'i tampak seperti ondel-ondel karena jauh dari
proporsi anatomis.
Mahfud si penggila kungfu itu melukis sebuah
rumah mewah berlantai dua yang terlihat megah dengan pilar-pilarnya. Di
halaman bangunan itu berserakan harta benda pemilik rumah beserta mobil
mewah yang terparkir begitu saja. Pemilik rumah digambarkannya sedang
tepekur dan melamun.
"Ini judulnya 'Bosan dengan Kehidupan',"
begitu katanya. Entahlah, mungkin ia baru saja terinspirasi oleh
Siddharta Gautama yang meninggalkan segala kehidupan duniawinya. Aku
sekedar menebak, bahwa Mahfud akan menjadi biksu selepas ia lulus SMA.
Kriswanto melukis pemandangan laut yang penuh dengan warna-warna semarak. Karyanya bernuansa dekoratif.
Maka ada dua pelukis ikan di kelas kami, yaitu Kriswanto dan Tompel. Persamaannya, kedua lukisan mereka cukup ringan untuk dicerna, dan bedanya, Tompel lebih berbobot dalam hal bobot. Media papan kayu tebal dengan tekstur keras dan padat, perlu dua-tiga anak untuk mengangkatnya.
Maka ada dua pelukis ikan di kelas kami, yaitu Kriswanto dan Tompel. Persamaannya, kedua lukisan mereka cukup ringan untuk dicerna, dan bedanya, Tompel lebih berbobot dalam hal bobot. Media papan kayu tebal dengan tekstur keras dan padat, perlu dua-tiga anak untuk mengangkatnya.
Dina melukis figur seorang wanita sedang membawa keranjang berisi
bunga-bunga. Ia kadang memakai cat minyak, akrilik, pensil warna,
pokoknya segala macam pewarnaan dicobanya. Sosok wanita dalam lukisan
Dina itu bersanggul, memakai kemben dan setangkup melati terselip di
telinganya. Tangan kanan wanita pada lukisan itu terlihat sedang
memegang sekuntum mawar, dan tampaknya figur itu sedang menikmati
keindahan mawar yang dipegangnya. Aku hanya membayangkan dengan konyol,
jika saja lukisan itu bergerak dan menjadi sebuah film, maka wanita itu
akan sibuk mencabuti kelopak demi kelopak mawar yang dipegangnya, dan di
tiap helainya ia memetiknya sambil berkata,
"semaput-tidak-semaput-tidak-semaput-tidak".
"semaput-tidak-semaput-tidak-semaput-tidak".
Pak Thalib Prasadja pernah melihat lukisan Dina dan memberi komentar
positif. Beliau lalu mengambil papan dan membuat sketsa tentang wajah
Dina yang selesai dalam beberapa menit. Sketsa itu diserahkan padanya,
dan bodohnya, di kemudian hari Dina menghilangkannya, padahal sketsa itu
dibuat oleh Pak Thalib sendiri, sang maestro sketsa Surabaya.
Aku tetap berkutat pada tiga ekor Slinky Dog. Hanya Pak Farid yang
melihat lukisanku lalu menepuk punggungku dengan mata berbinar. Itu
membuatku jadi cukup percaya diri, sampai ketika seorang pelukis bernama
Beng Herman
datang dan melihat karya anak-anak. Pelukis itu memang kerap ke
sekolah, karena anak perempuannya bersekolah di SMSR dan menjadi adik
kelas kami. Ketika ia datang, aku dengan percaya diri bertanya kepada
beliau,
"Pak, gimana lukisan saya?"
"Hmmm.. you masih kurang..."
"Kurang apa, Pak? Kurang cerah? Komposisinya kurang bagus, atau kurang apa?"
"Kurang sering melukis"
Gubrak!!!!!
Gaya Pak Beng yang ceplas-ceplos membawaku terjun bebas menuju palung ketidakpedean yang paling dalam.
Gaya Pak Beng yang ceplas-ceplos membawaku terjun bebas menuju palung ketidakpedean yang paling dalam.
Imam Machmudi? Sayangnya Imam memutuskan keluar dari SMSR beberapa
bulan sebelum ujian nasional. Alasannya tidak kami ketahui, namun ia
pernah mengatakan bahwa lingkungan tempat tinggalnya begitu kacau dan ia
mau pindah rumah ke Porong untuk mencari ketenangan. Maka dari itu ia
memutuskan drop out dari sekolah (sampai saat ini aku masih bingung,
mengapa mencari ketenangan saja harus drop out dari sekolah?), lalu
pindah rumah demi mendapatkan kedamaian di Porong, Sidoarjo.. sebuah
desa yang beberapa tahun kemudian terdampak bencana lumpur Lapindo.
Anak-anak grafis? Dimaz Ari sibuk membuat komik, Fajar membuat poster tentang anak-anak kecil, Agung dan Kokok
membuat poster tentang hutan, Arif Catur membuat poster berlogo
'Skakley' -mungkin diambil dari plesetan namanya: 'catur'/'skak'- dan
desain papan selancar yang cukup besar; Krisna membuat gambar yang
ditempelkan pada papan melengkung, Suci Fita membuat desain poster tentang burung merpati yang sedang mengembangkan sayap, dan Riris membuat poster tentang pentingnya ASI. Ah, mereka berdua memang lengkap, satunya cinta damai, satunya lagi keibuan...
Rencananya karya kami akan dipamerkan di sebuah gedung kesenian di
Surabaya. Bulan-bulan ini membuat kami begitu sibuk, apalagi setelah
pameran selesai, kami harus menghadapi Ujian Nasional.
Aku
melihat ke arah kawan-kawanku yang sedang sibuk itu, lalu kulihat di
sudut studio lukis: tergeletak menyendiri sebuah karya yang belum
paripurna tetapi sudah ditinggal oleh pemiliknya; sebuah lukisan abstrak
figuratif dengan simbol lingkaran dan goresan garis-garis. Lukisan yang
sekiranya dapat aku tafsirkan sebagai perwujudan antara 'ada' dan
'tidak', juga antara luapan emosi dan pengendalian diri; sebuah lukisan
milik kawan kami, almarhum Yohanes Gregorius Lema. Karyanya yang belum
selesai serta keceriaan anak itu masih tertinggal di ruang ini.
Bagaimanapun, ia adalah bagian dari teka-teki selama tiga tahun perjalanan panjang.
Kini, tinggal hanya kami yang sedang meniti langkah dan sesekali terbang terbawa angin.
Angin yang menghembus kenangan: dari limabelas hingga tujuh.
Bagaimanapun, ia adalah bagian dari teka-teki selama tiga tahun perjalanan panjang.
Kini, tinggal hanya kami yang sedang meniti langkah dan sesekali terbang terbawa angin.
Angin yang menghembus kenangan: dari limabelas hingga tujuh.
To be continued...