Saturday, December 29, 2018

Dari Limabelas Hingga Tujuh : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 16)

Seven Sister by James Roderick


 Episode 16 : Dari Limabelas hingga Tujuh

Teka-teki yang sulit dipecahkan di dunia ini menurutku hanya ada tiga, yaitu: takdir, wanita dan SMSR. Siapa yang menyangka bila saat awal masuk sekolah, kelas kami diisi oleh limabelas anak, lalu mrotoli satu demi satu, hingga naik ke kelas dua, tinggal sepuluh, mrotoli lagi tinggal sembilan, kemudian Yohanes Lema meninggal dan akhirnya di kelas tiga ini kami hanya tinggal berdelapan.

Siapa juga yang menyangka para siswa ahli lukis seperti Yoppy Semprong, Paulus, dan kakak kelas kami seperti Fatkur Hartono dan lain-lain tidak lagi ada di kelas ini. Sebenarnya kemampuan mereka cukup bagus, namun dunia akademis mungkin bukan tempat mereka untuk mengembangkan bakatnya, karena bakat mereka tumbuh oleh tempaan lingkungan dan minat yang tinggi; berbeda dengan kami yang sekedar bisa mencampur warna saja rasanya perlu syukuran tujuh hari tujuh malam.

Di kelas tiga ini kami melakukan proses penyelesaian tugas akhir. Para guru membebaskan kami untuk membuat lukisan dengan tema dan media apapun. Aku mulai berbelanja cat akrilik untuk karyaku. Beberapa aku beli di toko cat yang ada di depan kuburan siwalankerto yang penjualnya terkenal ramah dan sering memberi harga murah; asal siswa yang membeli di toko itu datang dengan memasang wajah melas. Beberapa cat lainnya serta kuas berbagai macam ukuran aku beli di sebuah toko lukis di daerah Pandegiling, Surabaya.

Untuk kanvas, aku kerap mengajak Dina dan Pa'i untuk survey harga termurah. Akhirnya aku mendapatkan kanvas yang cocok, kubeli di daerah Pakis, Surabaya, dan saat itu kubawa ke sekolah sambil berboncengan dengan Mat Pa'i. Saat kubawa ke sekolah, aku dan Pa'i sempat tabrakan dengan sesama pengendara sepeda motor di daerah Karah gara-gara Mat Pa'i sok-sokan bermanuver ala pembalap profesional, padahal memindah persneling saja masih kelabakan.

Siang itu kami sibuk mengaduk adonan kalsium, semen putih dan lem rajawali untuk kami pakai sebagai tekstur kanvas. Paling berat adalah medium milik Tompel. Ia memakai triplek cukup besar, kemudian melaburinya dengan adonan cukup padat dan tebal, sehingga teksturnya sangat kasar dan terlihat menyembul bermunculan. Aku kira ia akan menggambar kobaran api neraka dengan karakter ekspressifnya, namun penonton kecewa ketika ia mulai mengguratkan sketsa seekor ikan piranha.

Setelah adonan kering, aku mulai menggambar tiga ekor 'Slinky Dog' yang aku rencanakan bergaya dekoratif. Main aman sajalah, yang penting tugas akhir selesai, pikirku. 

Hariono kuperhatikan membuat dua lukisan realis. Salah satunya adalah figur Siti Nurhaliza, satunya lagi ia menggambar sebuah masjid dengan seorang perempuan duduk di halaman masjid itu; sedang di kanan-kirinya penuh dengan reruntuhan. Ia bercerita, katanya ada sekumpulan air laut yang bisa memanjat gedung tinggi, lalu menenggelamkan daratan. 

"Airnya itu datang dari laut, terus bisa manjat gedung terus lari lagi ke bawah. Semuanya tenggelam, semuanya rusak, kecuali sebuah masjid berwarna putih. Lha ini masjidnya...," Tutur Hariono sambil menunjuk citraan masjid dalam lukisannya. 

"Oh, itu bencana Tsunami, Har!"

"Iya, iya, Ruh.. suami! suami! Lautnya suami!"

"Tsunami, Har, bukan suami!!"

"Iyaa.. itu.. itu.. Indonesia kemarin tenggelam karena air laut suami itu.."

"Tsunami Har!! Tenggelamnya tahun lalu, bukan tahun Ini," kataku. 

Saat pembicaraan kami terjadi, angka tahun menunjukkan awal tahun 2005, dan tsunami Aceh, seperti yang dimaksud oleh Hariono, terjadinya setahun lalu, tepatnya tahun 2004, dan memang masjid Baiturrahman, seperti yang dicitrakan Hariono dalam lukisannya adalah sebuah bangunan yang tidak tersentuh tsunami sedikitpun. Benarlah kata para psikolog, bahwa anak berkebutuhan khusus seperti Hariono jika dibimbing untuk menekuni hal yang disukainya, maka ia akan fokus dengan hal tersebut. Maka tidak heran bila seorang Hariono yang selama ini dikiranya hanya bisa berpikir tentang Siti Nurhaliza, ternyata bisa juga memikirkan bagaimana para korban selamat dari bencana tsunami Aceh mengucapkan syukur dan dzikir, karena Tuhan telah menjaga keselamatan jiwa, dan tempat ibadah mereka. Walaupun Hariono sangat sulit untuk mengungkapkannya secara lisan, namun ia mampu mengungkapkannya lewat lukisan. Pada periode itu secara disadari atau tidak, Hariono telah menyibak kebenaran dari sebuah quote sastrawan Pramoedya Ananta Toer, bahwa lukisan sejatinya adalah sebuah ungkapan sastra dalam warna-warna. Luar biasa, bukan?

Mat Pa'i kuperhatikan belum berbuat apapun. Ia masih membayangkan dan mengira-ngira akan melukis apa nantinya. Aku dan Tompel pernah ke rumahnya dan ia bercerita kalau akan membuat tugas akhir berupa sketsa. Mendengar itu Tompel murka, karena dalam anggapannya, siswa lain susah-susah melukis dengan kanvas dan cat, Pa'i hanya sekedar membuat sketsa, padahal goresan sketsanya juga tidak terlalu baik, bahkan Pak Khusnul pernah menganggap bahwa sketsa figur manusia karya Mat Pa'i tampak seperti ondel-ondel karena jauh dari proporsi anatomis.

Mahfud si penggila kungfu itu melukis sebuah rumah mewah berlantai dua yang terlihat megah dengan pilar-pilarnya. Di halaman bangunan itu berserakan harta benda pemilik rumah beserta mobil mewah yang terparkir begitu saja. Pemilik rumah digambarkannya sedang tepekur dan melamun.
"Ini judulnya 'Bosan dengan Kehidupan'," begitu katanya. Entahlah, mungkin ia baru saja terinspirasi oleh Siddharta Gautama yang meninggalkan segala kehidupan duniawinya. Aku sekedar menebak, bahwa Mahfud akan menjadi biksu selepas ia lulus SMA.

Kriswanto melukis pemandangan laut yang penuh dengan warna-warna semarak. Karyanya bernuansa dekoratif.
Maka ada dua pelukis ikan di kelas kami, yaitu Kriswanto dan Tompel. Persamaannya, kedua lukisan mereka cukup ringan untuk dicerna, dan bedanya, Tompel lebih berbobot dalam hal bobot. Media papan kayu tebal dengan tekstur keras dan padat, perlu dua-tiga anak untuk mengangkatnya.

Dina melukis figur seorang wanita sedang membawa keranjang berisi bunga-bunga. Ia kadang memakai cat minyak, akrilik, pensil warna, pokoknya segala macam pewarnaan dicobanya. Sosok wanita dalam lukisan Dina itu bersanggul, memakai kemben dan setangkup melati terselip di telinganya. Tangan kanan wanita pada lukisan itu terlihat sedang memegang sekuntum mawar, dan tampaknya figur itu sedang menikmati keindahan mawar yang dipegangnya. Aku hanya membayangkan dengan konyol, jika saja lukisan itu bergerak dan menjadi sebuah film, maka wanita itu akan sibuk mencabuti kelopak demi kelopak mawar yang dipegangnya, dan di tiap helainya ia memetiknya sambil berkata,
"semaput-tidak-semaput-tidak-semaput-tidak".

Pak Thalib Prasadja pernah melihat lukisan Dina dan memberi komentar positif. Beliau lalu mengambil papan dan membuat sketsa tentang wajah Dina yang selesai dalam beberapa menit. Sketsa itu diserahkan padanya, dan bodohnya, di kemudian hari Dina menghilangkannya, padahal sketsa itu dibuat oleh Pak Thalib sendiri, sang maestro sketsa Surabaya.

Aku tetap berkutat pada tiga ekor Slinky Dog. Hanya Pak Farid yang melihat lukisanku lalu menepuk punggungku dengan mata berbinar. Itu membuatku jadi cukup percaya diri, sampai ketika seorang pelukis bernama Beng Herman datang dan melihat karya anak-anak. Pelukis itu memang kerap ke sekolah, karena anak perempuannya bersekolah di SMSR dan menjadi adik kelas kami. Ketika ia datang, aku dengan percaya diri bertanya kepada beliau,

"Pak, gimana lukisan saya?"

"Hmmm.. you masih kurang..."

"Kurang apa, Pak? Kurang cerah? Komposisinya kurang bagus, atau kurang apa?"

"Kurang sering melukis"

Gubrak!!!!!
Gaya Pak Beng yang ceplas-ceplos membawaku terjun bebas menuju palung ketidakpedean yang paling dalam.

Imam Machmudi? Sayangnya Imam memutuskan keluar dari SMSR beberapa bulan sebelum ujian nasional. Alasannya tidak kami ketahui, namun ia pernah mengatakan bahwa lingkungan tempat tinggalnya begitu kacau dan ia mau pindah rumah ke Porong untuk mencari ketenangan. Maka dari itu ia memutuskan drop out dari sekolah (sampai saat ini aku masih bingung, mengapa mencari ketenangan saja harus drop out dari sekolah?), lalu pindah rumah demi mendapatkan kedamaian di Porong, Sidoarjo.. sebuah desa yang beberapa tahun kemudian terdampak bencana lumpur Lapindo.

Anak-anak grafis? Dimaz Ari sibuk membuat komik, Fajar membuat poster tentang anak-anak kecil, Agung dan Kokok membuat poster tentang hutan, Arif Catur membuat poster berlogo 'Skakley' -mungkin diambil dari plesetan namanya: 'catur'/'skak'- dan desain papan selancar yang cukup besar; Krisna membuat gambar yang ditempelkan pada papan melengkung, Suci Fita membuat desain poster tentang burung merpati yang sedang mengembangkan sayap, dan Riris membuat poster tentang pentingnya ASI. Ah, mereka berdua memang lengkap, satunya cinta damai, satunya lagi keibuan...
Rencananya karya kami akan dipamerkan di sebuah gedung kesenian di Surabaya. Bulan-bulan ini membuat kami begitu sibuk, apalagi setelah pameran selesai, kami harus menghadapi Ujian Nasional.

Aku melihat ke arah kawan-kawanku yang sedang sibuk itu, lalu kulihat di sudut studio lukis: tergeletak menyendiri sebuah karya yang belum paripurna tetapi sudah ditinggal oleh pemiliknya; sebuah lukisan abstrak figuratif dengan simbol lingkaran dan goresan garis-garis. Lukisan yang sekiranya dapat aku tafsirkan sebagai perwujudan antara 'ada' dan 'tidak', juga antara luapan emosi dan pengendalian diri; sebuah lukisan milik kawan kami, almarhum Yohanes Gregorius Lema. Karyanya yang belum selesai serta keceriaan anak itu masih tertinggal di ruang ini.
Bagaimanapun, ia adalah bagian dari teka-teki selama tiga tahun perjalanan panjang.

Kini, tinggal hanya kami yang sedang meniti langkah dan sesekali terbang terbawa angin.
Angin yang menghembus kenangan: dari limabelas hingga tujuh.


To be continued...

No comments:

Post a Comment