Sunday, December 16, 2018

Namaku Dina. Aku Mencari Ibu Kandungku : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 12)

Remember, My Son, by Ann Marie Oborn

Episode 12 : Namaku Dina. Aku Mencari Ibu Kandungku

Kepul asap rokok para penumpang lelaki, hilir mudik penjaja makanan, kernet mondar-mandir membawa karcis dan segepok uang. Sopir mengemudi dengan santainya sambil mendengarkan musik dangdut yang diputar di sebuah tape usang merek Pioneer. Disini aku duduk, di dalam bis kota tua dengan kepul asap hitam. Sesekali aku menoleh kaca belakang, kulihat para pengendara motor di belakang bis yang kutumpangi ini tampak menutup mulutnya sambil terbatuk-batuk.

Aku menuju Bangil, Pasuruan. Kupeluk erat tas di dadaku. Sesekali aku membuka tasku untuk mengeluarkan boneka bayi yang ada di dalamnya. Boneka bayi itu sudah lapuk, usianya kurang lebih tigabelas tahun. Di punggung boneka itu ada tulisan namaku: 


'Dina Suciati Romadhonna'. 


Kuusap tulisan itu dengan jemariku yang basah oleh lelehan airmata. Kiranya siapa yang memberi nama seindah itu padaku? Apakah ayah ataukah Ibuku? Kuharap Ibuku.. agar beliau saat kutemui nanti bercerita tentang arti namaku, sambil aku merebahkan diri di pangkuannya. Aku rindu....


"Pak, tolong beritahu jika sudah sampai di lokasi dekat asrama militer yonkav 8," 
ucapku pada kernet yang kebetulan melewatiku.

"Baiklah dik. Lho, pagi-pagi gini adik mau kemana? nggak sekolah?" Tanya kernet itu.

Aku tak menjawabnya karena tenggelam begitu dalam pada bayang wajah ibu yang terakhir kali kulihat saat aku masih TK Nol Kecil; usiaku saat itu masih empat tahun. Tigabelas tahun lalu sebelum Ibu mengucap salam perpisahan, Ibu membelikanku boneka, dan hanya boneka inilah kenang-kenangannya.

Sekali ini saja Pak Kernet, sekali ini, sehari ini saja kupinta pada seluruh dunia, termasuk pada kawan-kawan kelompokku yang sedang magang di PT Magriet, sehari ini saja aku tidak masuk ke kantor magang, karena panggilan hatiku agar aku menemui Ibu kandungku lebih mendesak untuk kuturuti. Kernet itu acuh karena aku tak menjawab pertanyaannya. Maaf, aku rindu....

"Asrama militeerrrrrr..." Ucap kernet itu. 

Sudah sampaikah? Ah iya, di kiri jalan kulihat perumahan berdinding doreng-doreng. Aku turun dari bis, tepat di depan asrama itu sambil menoleh kiri dan kanan. Aku melihat pos penjagaan yang dijaga oleh dua orang tentara. Berbekal secarik kertas berisi alamat yang diberikan oleh penjual tahu lontong di kota Malang, kawan ayahku yang berbaik hati memberi alamat ibuku, aku memberanikan diri untuk menghampiri dua orang penjaga itu. Mereka kuberikan saja secarik kertas itu, dan mereka kemudian membacanya:

'Sulidana-Isman. Asrama Yonkav 8'

"Kamu siapanya mereka, Dik?"

"Saya anaknya, Pak"

"Anak? Betul kamu anaknya?"

"Betul".

Salah seorang penjaga itu berbaik hati mengantarku ke asrama Pak Isman, lelaki yang telah menjadi suami ibuku. Tentara itu terus-menerus bertanya tentang aku, karena sepengetahuan mereka, Pak Isman dan Bu Sulidana hanya memiliki dua orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Aku hanya bilang kalau aku anaknya. Anaknya saja, tanpa perlu kuberitahu bahwa aku anak dari pernikahan sebelumnya.

"Masih jauh rumahnya Pak?"

"Ooh dekat sini, tinggal satu belokan lagi"

Hanya limaratus meter lokasi rumah ibuku dari pos penjagaan depan, tapi rasanya sangat jauh, langkahku sangat berat; apakah ibuku masih mengingatku? Ataukah ia justru menolakku hanya karena sejarah kelam dalam sepenggal hidupnya dulu?

Sepetak rumah berhias bougenville dan anggrek kuning. Pohon palem dengan daun menjuntai, juga latar halaman berkeramik putih. Pintu rumah sedang terbuka, tapi aku belum berani masuk. Kulihat bayangan seseorang sedang meminum segelas air di balik kaca. Apakah itu Ibu?

"Bu Sulidana, Pak Isman, ini ada tamu..." Begitu kata Tentara itu.

"Tamu siapa?"

Terdengar suara perempuan. Suara yang berasal dari bayang-bayang dibalik kaca itu.
Tentara itu menoleh padaku.

"Lho, sini masuk dik, katanya mau ketemu Bu Sulidana? Ini orangnya,"
Aku masih mematung di depan.

Sosok itu bangkit berdiri, kemudian menyorongkan kepalanya di pintu. Ia melihatku. Kemudian ia berjalan perlahan dan berdiri di depan pintu itu. Ia masih melihatku, aku masih mematung.
Sosok itu adalah sosok seorang perempuan yang memakai daster terusan bermotif batik kawung. Rambutnya agak bergelombang, sama dengan rambutku. Hidungnya tidak mancung, sama dengan hidungku dan paras wajahnya menyiratkan air muka yang sama denganku.

"Praaaang!!!!!"
Cangkir itu terlepas dari genggamannya, jatuh berkeping-keping di lantai keramik. Ia berlari ke arahku.
Sekalipun tigabelas tahun tak bertemu, tapi naluri seorang Ibu tentu tahu tentang siapa yang sedang berdiri di hadapannya; yaitu aku, anak kandungnya. Anak kandung dari seorang perempuan bernama Sulidana.

"Anakku!! Anakku!!! Anakku!!!"
"Dina!! Dina!! Dina!!"
"Ya Allah!! Ya Allah!! Ya Allah!!

Perempuan itu histeris dan memelukku dengan erat. Tigabelas tahun lamanya aku menanti rengkuh-peluk itu. Aku berbisik ditelinganya, 


"Ibuu..."

Itulah sepenggal kisah awal perjumpaan anak dan ibu di siang itu. Kami mendayung berdua ditengah danau linang airmata.

Aku telah masuk ke rumahnya dan benar-benar rebah dalam pangkuan ibuku. Kami berdua terisak bersama setelah tak bertemu selama tigabelas tahun lamanya. Seorang pria datang ke ruang depan dan terheran-heran. Ibuku menjelaskan bahwa akulah anak yang dulu pernah ia ceritakan; anak yang lahir dari perkawinan sebelumnya. Pria itu mengenalkan diri bahwa ia suami ibuku; nyatanya ia cukup ramah padaku, turut pula mengusap rambutku dengan tangan kekarnya. Setegap dan segagah apapun ia, luruh pula dalam haru menyaksikan perjumpaan itu.


"Maka aku juga ayahmu," ujarnya.

Bapak dan Ibu kandungku memang telah bercerai sejak aku berusia 2,5 tahun. Setelah perpisahan itu aku diasuh oleh Bude, kakak Ayahku, dan sebulan sekali kusempatkan waktu untuk menjenguk ayah kandungku yang bekerja sebagai juragan lombok, dan telah menikah lagi dengan perawan desa Sumbermanjing, Malang. Dari pernikahan itu ayahku mendapat dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Aku tidak punya kecocokan dengan ibu tiriku itu.
Yang kuingat tentang ibu kandungku, hanya ketika aku pertama kali bertemu beliau saat aku masih berusia empat tahun seperti yang telah kuceritakan diatas, dan sejak itu aku tidak begitu ingat paras wajah ibu sampai ketika hari ini aku bertemu dengannya.

Saat itu aku menginap dua hari di rumah Ibuku, dan malam hari kedua aku pulang ke Surabaya karena sudah dua hari ini aku bolos magang.
Esoknya, aku bercerita tentang pertemuan dua hari yang lalu itu pada Debby, Yuyun, Wiwien Fajar, Eka, dan semua sahabat dari jurusan tekstil yang juga kawan semagangku. Mereka jadi agak terharu. Salah satu kawanku bernama Debby mengatakan bahwa ia ingin melihat wajah ibuku dan tampak begitu penasaran. Oleh karena itu seminggu kemudian saat kantor libur, kuajak dia menginap semalam di rumah Ibu kandungku. Saat disana, aku dan Debby bercerita pada Ibu tentang sekolahku, kebiasaan-kebiasaanku dan segala tentangku; namun tidak tentang ayahku, dengan alasan sejarah kelam itu.

Ibuku pernah mengumpulkan beberapa anak bujang untuk makan bersamaku di tempatnya, dengan harapan ia mau memilihkan lelaki yang cocok untukku; namun aku menolak rencana itu karena aku masih sekolah, lagipula siapa juga lelaki yang mau terburu-buru meminangku dengan usiaku yang masih belia ini?
Ibuku tersenyum saja mendengar alasanku.

Sampai suatu ketika berita tentangku telah menyebar di lingkungan asrama itu. Ibu kandungku tentu risih juga karena tetangga akhirnya tahu bahwa ia pernah punya anak dari perkawinan sebelumnya, dan beliau sekuat tenaga mengarang cerita bahwa aku sebenarnya adalah anak kandungnya dari Pak Isman, suaminya yang sekarang, yang telah menikah sebelum tinggal di asrama ini; namun tetangga-tetangga penggosip itu tak mau percaya.
Dari situ aku merasakan sendiri kekuatan gosip dan hoax yang beredar dari mulut ke mulut emak-emak milenial tahun 2004, jauh sebelum media sosial menguasai akal, hati dan pikiran manusia. Dampak dari gosip itu begitu dalam hingga menikam jauh ke kehidupan pribadi seseorang; Kehidupan pribadiku, Ibuku serta keluarganya yang baru itu.

Dampaknya, belakangan Ibu mulai menjaga jarak denganku. Aku begitu kecewa ketika Ibu menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan 'tante' saja.
Terlebih, pada suatu waktu ketika aku berkunjung kesana, Ibu mengulik sejarah kelam masa lalunya ketika masih berstatus sebagai istri dari ayah kandungku.

"Melihatmu hanya membuatku teringat ayahmu yang jahat itu. Perlu kamu tahu, ayahmu dulu sudah menginjak-injak harga diriku. Membuangku seperti sampah!"

Aku mengingatkan beliau bahwa semuanya hanyalah tragedi masa lalu yang tak perlu untuk terus diingat, dan yang ada kini hanyalah realita yang terkuak di depan matanya: aku senyata-nyatanya adalah anak kandungnya.
Tapi beliau tak mau peduli.

Tingkah Ibuku dari hari ke hari semakin kaku dan sinis, ah, petaka gosip tetangga telah menjalar di pikirannya. Aku ditolak ke rumahnya selama beberapa kali oleh anak laki-lakinya dengan alasan Ibu sedang pergi, padahal kutahu dia ada dan bersembunyi di dalam rumah.

Bertahun-tahun kemudian setelah aku menikah dan membawa anak lelakiku yang masih bayi ke rumah Ibu, aku masih saja dipandanginya dengan begitu sinis, karena alasan bahwa aku menikah dengan pria yang tidak berpangkat, tidak berkasta dan bukan konglomerat. Suamiku dalam pandangan matanya sama seperti sosok suami pertamanya dulu, yaitu ayah kandungku. Dari situ aku tersinggung berat, padahal, ayah Isman menyambutku dengan ramah dan sempat menimang anakku. Beliau tak henti-hentinya menasehati ibuku tapi ia tetap tak peduli.
Sejak itu aku tak lagi mengunjungi Ibu, namun selalu kusempatkan tiap waktu untuk mengirimkan pesan singkat tentang rasa sayangku, sebagai ungkapan takzim seorang anak pada Ibu kandungnya, walau pesan itu tak pernah berbalas.

Suatu siang setelah berlalunya peristiwa itu aku kembali ke sekolah; kembali ke SMSR. Kewajiban magang di PT Magriet sudah kutunaikan selama tiga bulan yang panjang, penuh keharuan, melelahkan jiwa dan pikiran.
Aku potong rambut untuk membuang sial.

Kulihat lagi teman-teman sekelasku yang selama tiga bulan ini menghilang karena mereka magang di tempat mereka masing-masing.
Bean tampak agak murung, entah mengapa; Yohanes Lema masih tetap meminta limaratus rupiah walaupun sudah berkali-kali kuusir dia; Hariono duduk di studio lukis sambil memandangi foto-foto artis majalah Hai yang ada Siti Nurhalizanya;

Tompel datang di hari pertama itu dengan potongan rambut punk dan wajahnya yang culun. Cukup membuatku terhibur, lalu berubah menjadi aneh ketika ia membuka seragamnya dan menunjukkan kaos dalamnya yang bertuliskan: 'Kalian Taek Semua'.
Sebenarnya apa yang ada dalam kepala anak gila itu?

"Lho, Dina potongan rambutnya dimodel kayak Nirina," ujar Hariono.

Memang saat itu aku memotong rambutku dengan model potongan rambut ala Nirina Zubir, VJ MTV; selain membuang sial, agar aku lebih terlihat kekinian, tentu saja kekinian dimasa itu.

"Wah ada Nirina, Nirina, Nirina...," Imam meledekku.

"Stop! Itu bukan Nirina!!!," Tompel tiba-tiba berteriak.

"Lantas siapa?," Tanya Pa'i

"Kirik-na! Kirik-na!!!!,"

Tompel menghinaku dengan memelesetkan 'Nirina' menjadi 'Kirik-na'. Lalu ia berjoget-joget di depanku.

Aku yang masih memendam kerinduan sekaligus kekecewaan terhadap Ibuku, masih juga ditambah dengan polah ABG gila yang hari itu meledekku. Maka dengan amarah yang memuncak, aku mengacungkan telunjukku pada wajahnya,

"Tompel, suatu saat kamu akan mendapat Karma! Karma yang kau tuai dari perbuatan-perbuatanmu padaku! Ingat itu, Tompel, karmaa!!"
Aku menjerit histeris di depannya.

Tompel takut juga dengan kata 'Karma' itu. Ia memohon-mohon padaku untuk menarik ucapanku, namun aku tak peduli.
Aku hanya peduli pada bayang wajah dan belaian lembut tangan Ibuku, namun toh hanya beberapa waktu saja aku mendapatkannya; selebihnya, aku kembali terbuang, seperti layang-layang putus benang tak tahu arah tujuan.

Itulah alasan mengapa selama ini aku terlihat murung dan semaputan. Rasanya tak kuat menanggung beban ini seorang diri, dan mau curhat, curhat ke siapa? Teman-teman sekelasku, anak-anak lelaki itu bukan pendengar yang baik, juga bukan pemberi solusi yang baik; bagaimana mereka bisa menuntaskan masalahku sementara mereka sendiri belum bisa menuntaskan masalah kewarasan mereka?
Ah, biarlah kutanggung sendiri. Aku meyakinkan diriku sekaligus menghibur diriku sendiri: aku adalah perempuan yang kuat; aku, Dina yang biasa dipanggil 'Pethuk' ini adalah wonder woman!

Lalu aku berpikir sembari melihat kearah para guru yang menyambut para murid yang baru pulang dari magang: Bu Ellys, Pak Farid dan Pak Khusnul; biarlah aku tak punya bapak-ibu, setidaknya mereka menjadi ibu dan ayah-ayahku di sekolah ini.

Kawan-kawanku yang unik dan aneh itu... Sekalipun aku kadang keterlaluan, dan anak-anak itu juga berlebihan dalam menjahiliku, tapi merekalah keluargaku untuk sementara waktu, setidaknya selama tiga tahun aku menuntut ilmu; dan aku yakin, di tengah keusilan dan humor penuh gelitik, mereka semua menjagaku dengan cara mereka yang unik.




To be Continued......

No comments:

Post a Comment