Thursday, December 13, 2018

Bersama Anak Grafis dalam Satu Kelas : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 (episode 4)


Dalam Pusaran Anomali by Farid Ma'ruf


Episode 4: Bersama Anak Grafis dalam Satu Kelas


Saat pelajaran umum, anak-anak jurusan seni rupa dan desain grafis dijadikan satu dalam sebuah ruang kelas di lantai dua.
Inilah yang buat kami sedikit lega...
Betapa tidak, dalam deretan anak-anak seni rupa dan desain grafis, walaupun 80% adalah siswa lelaki yang sedikit miring cara berpikirnya, namun di jurusan desain grafis terdapat dua permata, dua oase di tengah padang tandus, bagai penyejuk dahaga kalangan pengelana yang telah bertahun-tahun mendambakan bulan dan hujan.

Kedua anak itu, salah satunya adalah Suci Lutfita. Gadis hitam manis berkerudung asal Banyuwangi yang tinggi semampai, berparas tirus, bermata agak sipit, dan kerap tersenyum untuk menampakkan lesung pipitnya. Waspadalah, sekali saja ia tersenyum, lantai tempat kami berpijak langsung longsor dan membentuk cekungan yang sesuai dengan diameter lesung pipitnya dalam skala yang lebih besar. Kami terjerumus dan tenggelam dalam bayang bidadari hitam manis legenda pewayangan: Dewi Wara Sumbadra.

Anak satunya adalah Riris Kridawati. Anak ini mempesona. kulitnya putih bersih, cerah, rambutnya panjang terurai, bentuk wajahnya sedikit bulat. Bibirnya dalam keadaan apapun terlihat ranum memerah. Bila bibirnya itu berada di pucuk tertinggi seperti dalam kisah Jack and Beanstalk, siapapun pasti akan bersedia berperan menjadi Jack dan sekuat tenaga memanjatnya untuk meraihnya. Suaranya lemah, kalem dan tidak pernah menunjukkan respon berlebihan. Paling jika kecewa atau marah, ia hanya mengerling sesaat untuk kemudian diam tak bicara. Hati-hati, tutur katanya yang lembut itu dapat membawa lawan bicaranya terbang menuju Eden yang penuh dengan alunan harpa dan taman bunga.
Aku pernah tanyakan umurnya, dia ternyata lahir di tahun dan bulan yang sama denganku, tapi ia lebih tua tiga hari.

Anak desain grafis lainnya? Ada Arif Catur yang sering dibodohi Mat Pa'i, Nizar Ismail yang pandai bermain gitar, Kokok, Heru Kolet yang tinggal di kawasan Pabrik Kulit, Reza, Krisna, yang tertawanya selalu terlambat sekitar 15 detik setelah humor dilontarkan, Dimaz Ari Prabowo, sang karikaturnis berbakat, Rizal Ammam anak asal Madura, juga Memet, anak keturunan Tionghoa-Madura yang kabarnya terusir dari tempat tinggalnya di Sampit, Kalimantan, karena kerusuhan etnis.
Tak perlu panjang lebar untuk mendeskripsikan lelaki-lelaki itu, Karena deskripsi terpanjang untuk sebuah keindahan hanya berlaku bagi para wanita.

Bagaimana dengan Dina? 
Pengecualian.. karena kami terlanjur menganggapnya laki-laki.

Tompel, pelawak kami satu kali berkelakar,

"saya nggak suka kalo anak senirupa dicampur dengan anak grafis, karena anak grafis suka nyontek!"
Siapapun maklum bahwa orang gila bebas berbuat dan mengatakan apapun. Tapi semua tahu, yang terjadi justru sebaliknya. Sumber segala nilai bagus dalam mata pelajaran umum bergantung pada kepedulian tiga anak untuk memberikan bocoran jawaban di setiap ulangan: Dimas Ari, Riris dan Suci.

Saat istirahat, kami selalu berkumpul di kantin sekolah. Siang itu anak keriting kumal itu duduk sendirian sambil memegang cangkir es teh. Biasalah, tukang bolos itu absen masuk pelajaran matematika. Anak itu melihatku ketika pertama kali datang, dan tertawa sambil menunjuk:

"Mister Beeaaaannn!!!".

Tak tahulah kenapa ia memanggilku demikian, mungkin karena tingkahku, mukaku, atau karena aku bisa menirukan suara pidato Rowan Atkinson dalam film 'Bean The Movie'.. yang jelas, gara-gara dia seluruh murid baru sepakat memanggilku 'Bean'.
Lalu aku berbincang dengannya dan bertambah akrab, karena kami berdua sama-sama mengagumi sebuah cerita bergambar mahakarya peradaban adiluhung Jepang modern berjudul 'Golden Boy'.

"Teeetttt" bel berbunyi. Kami semua bergegas masuk kelas. Mata pelajaran Nirmana akan segera dimulai. Si kumal keriting bernama Yoppy dengan nama panggilan 'Semprong' itu tetap malas masuk kelas lagi. Mungkin .karena potensinya tak cocok dengan ranah akademik, atau mungkin pelajaran yang diterimanya seharusnya setingkat dengan mata kuliah mahasiswa seni semester akhir, atau ia memang bengal.



To be continued...

No comments:

Post a Comment