![]() |
They Feed The Earth by Joshua Flint |
Episode 15 : Selamat Jalan, Kawan
Bumi ini bukan
bulat atau datar, melainkan berbentuk seperti panci diatas kobaran api.
Kota Surabaya berada tepat dipantat panci bumi dan pagi ini Tuhan
kembali memanaskan nyala apinya.
Kami kegerahan, padahal hari itu kami harus mengikuti upacara bendera.
Saat upacara berlangsung sesekali kami mengibaskan tangan kearah wajah
karena saking gerahnya. Hanya Mahfud yang terlihat tegar berdiri di
depan. Sun Go Kong saja kuat ketika ia dikurung dan dibakar dalam nyala
api kahyangan, masa aku tidak? Begitu kira-kira isi pikirannya.
Sebelum pembina upacara menyampaikan pidatonya, perlahan-lahan doa kami
dijawab. Segumpal awan mendung kecil datang dan menutupi separuh
matahari. Eureka! Kami cukup lega. Awan mendung itu setidaknya menjadi
penolong untuk sesaat, dan kami tak pernah mau memikirkan bagaimana
mulanya segumpal awan mendung itu tiba-tiba datang, darimana asalnya,
atau mengapa segumpal mendung itu sampai terpisah dari kumpulannya dan
lain-lain, ah, yang penting terik itu sejenak sirna.
Pak Jito, pembina upacara tampak menuju kepala mikrophone. Ia akan memberi pidato sepatah dua patah kata.
Jangan lama-lama, Pak... Takutnya cuaca jadi panas lagi..
"Berita Duka....," Begitu pembukaan pidatonya. Satu sekolah tersentak, begitupula kami, delapan siswa jurusan seni rupa.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun.. telah meninggal dunia kawan kita, siswa dari jurusan...."
Aku dan kawan-kawan terkejut dan menoleh kanan-kiri. Siapa yang
meninggal? Aku melihat barisan jurusan logam, tidak lengkap, kayu,
lengkap, jurusan mesin, ada beberapa anak tidak terlihat, grafis juga
begitu. Jurusan tekstil terlihat lengkap. Berita duka dari anak jurusan
apa, Pak Jito?
"Seni Rupa..."
Barisan kami seperti tersambar petir. Seluruh barisan dari berbagai jurusan tampak kaget pula dan melihat kearah barisan kami.
Mereka semua menerka-nerka siapa yang tidak ada dalam barisan kami?
Tapi siapa Pak Jito?? siapa???
"Karena sakitnya, pagi ini kawan kita telah meninggalkan kita semua.
Duka sedalam-dalamnya dan segala doa kita panjatkan untuk saudara
kita....
Yohanes Gregorius Lema...."
Kami berteriak secara serempak, seakan tak percaya... Pak Jito, Bapak tidak bercanda kan Pak??
Kami saling bertanya-tanya karena masih tidak percaya. Dina terduduk di
lantai sekolah sambil menutup kedua matanya. Aku tahu iapun tak
percaya. Tak ada seorangpun yang percaya.
Cuaca menjadi terik kembali. Segumpal awan mendung yang terpisah dari kumpulannya itu bergerak meninggalkan matahari.
Seusai upacara, kami berdelapan bersama anak grafis yang lain terduduk
di dalam kelas tanpa suara. Hening. Kami masih tak percaya bahwa Yohanes
Lema meninggal, sedangkan beberapa hari yang lalu ia masih terlihat
tertawa-tawa bersama Kriswanto di depan ruang airbrush, kemudian sibuk
menggoda Dina dan memintanya uang limaratus, lalu aku tahu sendiri,
sebelum pulang sekolah ia sempat duduk dan melamun. Setelah kutanya, ia
hanya menjawab bahwa dirinya ingin membentuk band dengan adik-adiknya;
band semacam Nirvana yang personilnya hanya tiga orang.
Yohanes Lema, masa sih kamu....
Dimas Ari membuyarkan kesunyian
kelas dan ia menyampaikan berita yang benar walaupun pahit, bahwa kawan
baik kami, Yohanes Gregorius Lema telah meninggal dunia.
Pak
Jito masuk ke dalam kelas kami, memberi arahan bahwa hari ini anak seni
rupa dan grafis dibebaskan dari pelajaran untuk mengunjungi kediaman
Yohanes Lema di Siwalankerto, Surabaya. Rumah Yohanes Lema ketika itu
tidak lagi di Deltasari, melainkan di Siwalankerto.
Kami bergegas
mengambil sepeda motor kami masing-masing. Aku bersepeda motor keluar
gerbang sekolah dan mencari Wartel terdekat untuk menelepon Yoppy
Semprong, mengabarkan padanya bahwa Yohanes Lema telah meninggal dunia.
Yoppy Semprong yang saat itu kakinya masih diperban, berjanji segera
datang ke rumah Yohanes dengan diantar ayahnya. Ia ingin datang ke rumah
sahabatnya itu untuk terakhir kalinya.
Rumah Yohanes Lema adalah
rumah yang punya halaman lapang dan sebatang pohon mangga berdiri di
sudutnya, tepat menghadap jendela kamar almarhum. Aku melihat suasana
rumahnya ketika itu, penuh dengan deretan kursi-kursi dan sebuah ampli
berukuran sedang yang telah disediakan oleh pengurus lingkungan
setempat. Keluarga Yohanes Lema adalah penganut Nasrani yang taat, dan
rencananya siang itu akan diselenggarakan upacara doa-doa oleh seorang
pemuka agama, lalu dilanjutkan dengan upacara pemakaman almarhum.
Kami semua dipersilahkan masuk agar bisa menyaksikan jenasah kawan kami untuk terakhir kalinya.
Aku melihat sebuah peti jenasah panjang dan berwarna coklat. Peti itu
masih terbuka.
Aku menghampirinya dan melihat kawan baikku Yohanes Lema
tampak terbujur di dalamnya. Ia didandani dengan pakaian serba putih.
Seragam SMA dan beberapa benda kesayangannya diletakkan di samping
kanan-kiri tubuhnya. Kulihat wajahnya begitu tenang dan teduh. Ia pergi
dalam damai.
Kami tenggelam dalam duka.
Kulihat Ayah dan Ibu
Almarhum, Bapak dan Nyonya Blasius Lema larut dalam duka mendalam. Ibu
Yohanes tampak meratap sambil memegang tepian peti.
"Bangun, nak, bangun... Teman-teman sekolahmu sudah datang..."
Masih terbayang kelucuan-kelucuan Yohanes Lema, kebiasaan uniknya dan
segala tentangnya, karena selama hampir tiga tahun ini kami selalu
bersama-sama.
Aku melihat kawan-kawanku tampak begitu sedih, walau
air muka mereka masih menyiratkan rasa tak percaya, karena Yohanes Lema
secepat itu pergi meninggalkan kami, disaat menjelang UNAS dan tugas
akhir hampir tiba.
Yoppy Semprong terlihat datang diantar oleh
ayahnya, lalu ayahnya pulang dan meninggalkan Yoppy di rumah itu, karena
Yoppy sudah memberitahunya bahwa ia nanti akan pulang denganku. Yoppy
Semprong berjalan terhuyung-huyung dengan menggunakan kruk. Ia langsung
menghampiri peti jenasah almarhum, lalu kulihat ia sempat
berbincang-bincang sesaat dengan Ibu Blasius Lema, kemudian kudengar
ratap beliau,
"Tak tahulah, kakak.. mengapa kawan kakak si
Yohanes ini meninggalkan kita begitu cepat.. Padahal tanganku, kedua
jariku ini belum lelah untuk merawat dan membesarkannya.."
Isak tangis
Ibu almarhum kembali membuncah, memecah suasana. Kami semakin tenggelam
dalam duka, terlebih ketika melihat momen saat seorang ibu menghadapi
kenyataan paling pilu dalam hidupnya, yaitu melihat anaknya pergi
mendahuluinya.
Kami berdelapan tertunduk pilu. Semprong termangu
sambil memegang kruknya. Aku melihat Suci dan Riris disamping peti
jenasah, seakan ingin memberikan salam terakhir bagi kawannya itu.
Airmata menetes dari kedua mata lentik dua gadis itu, dan kulihat Suci
yang tampak begitu larut dalam duka. Ia begitu sentimentil.
Pak Jito menyampaikan sambutan mewakili sekolah, untuk menyampaikan rasa dukacita kami.
"Mewakili kawan-kawan almarhum, juga mewakili sekolah, kami menyampaikan dukacita teramat dalam atas meninggalnya Lema...."
Sayangnya Pak Jito alpa menyebut nama almarhum dengan lengkap. Harusnya
beliau menyebut 'Yohanes Gregorius Lema', bukan 'Lema' saja, karena
Lema sebenarnya adalah nama ayah almarhum. Jadinya, para pengunjung,
termasuk keluarga almarhum di kanan-kiri kami sejenak menoleh kearah Pak
Jito.
Ah, gara-gara kami yang terlalu sering memanggil nama
almarhum dengan panggilan 'Lema', maka Pak Jito juga ikut-ikutan
memanggil 'Lema' pula.
Seusai penutupan peti, aku dan Semprong
berinisiatif untuk mengambil sepeda motor dan mengiringi mobil jenasah
almarhum. Kami berdua bersepeda dengan membawa bendera palang merah,
bendera jenasah sampai ke tempat pemakaman almarhum di Kembang Kuning,
Surabaya.
Aku menyaksikan detik-detik saat peti almarhum dimasukkan
dalam liang lahat, kemudian ditutup oleh tanah. Ia selamanya telah
beristirahat dalam damai. Usianya yang begitu muda ketika ia meninggal
dan kesalahan-kesalahan yang belum banyak dilakukannya semasa hidup
membuatku yakin bahwa ia kini ada dalam keabadian surga, dan dalam
ketenangannya ia tersenyum, melihat tingkah polah kami di dunia.
Surabaya masih terik. Setelah pemakaman itu kulihat lagi segumpal awan
mendung yang serupa seperti yang kulihat tadi pagi. Matahari kembali
menundukkan wajahnya untuk sementara.
Aku pulang ke rumah, kemudian
menghabiskan waktu untuk berdiam dan termangu selama beberapa jam. Masih terbayang wajah kawanku itu dan bagaimana dia meninggalkanku
begitu cepat, hingga aku tertidur lalu melihatnya berpakaian serba putih.
Ia mengulurkan tangannya, menyalamiku, lalu dengan senyum lepasnya ia
pergi dan menghilang dalam kabut.
Aku terbangun, tergagap, kaget, lalu spontan berteriak,
"Kawan, kamu masih disini???"
To be continued....
*Tulisan ini saya peruntukkan kepada Almarhum Yohanes Gregorius Lema, juga doa teriring kami panjatkan teruntuk almarhum Pak Guru Kami, Pak Adi, Almarhum Pak Guru M. Thalib Prasadja, Almarhum Pelukis Dani Widodo, Almarhum Pelukis Benk, juga almarhum ayah dari kawan-kawan kami: Almarhum ayahanda Yoppy Anugerah, Almarhum ayahanda Bagus Pribadi & Almarhum ayahanda Muhammad Mahfud. Semoga para almarhum diterima amal ibadahnya dan diberi tempat disisiNYA. Amin*
No comments:
Post a Comment