Saturday, December 15, 2018

Spiritual Activity : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 10)

Scream by Edvard Munch


Episode 10: Spiritual Activity


Di sebuah ruangan yang cukup luas dengan dinding dan puluhan kaca terpampang melingkar di tiap sudutnya, gadis itu menari seorang diri. Ia ada di tengah ruangan, begitu menikmati liuk tiap gerakan. Alunan lagu menambah kekuatannya untuk menghayati tarian tradisi yang beberapa hari kemudian akan ditampilkan di sebuah panggung pertunjukan sekolah.

Sejenak ia memejamkan mata, dan segenap keriap jemarinya merasuk ke dalam jiwa. Ia menari dengan hati. Dalam liukan kesekian, ia membuka matanya hingga kemudian menyadari bahwa dirinya tidaklah sendiri. Di sampingnya, sosok berambut panjang dengan pakaian putih menjuntai sedang berdiri sambil mengikuti alur gerakan yang ia tarikan. Entah sosok itu menginjak bumi atau tidak, yang jelas, di sela keterkejutan itu sang penari melihat kearah kaca dan sosok itu tidak terpantul.

Ketika sang penari berhenti menari dan hendak berlari, sosok tanpa wajah itu terbang kearahnya dan menyergapnya. Sepenuhnya kesadaran itu hilang, kemudian bergerak dan berteriak diluar kendali. Trance-possesion disorder, penari itu mengalami suatu gejala yang membuat seseorang merasa lepas dari tubuhnya dan ada sesuatu yang mengendalikan tubuhnya itu. Tidak cukup sampai disitu, ia juga mengalami split disorder dalam kondisi trance tersebut: gejala kesurupan dengan fenomena kepribadian yang berubah-ubah. Demit-demit bergantian masuk ke tubuhnya, sehingga kadang ia tertawa, lalu kemudian menangis, mendadak histeris, bahkan meracau dalam bahasa jawa, kemudian tiba-tiba berbicara dalam bahasa mandarin. Pasti kemasukan hantu penjaga tembok China! 
Mungkin para demit sedang antri untuk masuk tubuhnya, dan kuntilanak yang ia lihat pertama kali itu berperan sebagai penjaga loketnya. Saat itu para guru dan siswa tak henti-hentinya membacakan ayat kursi di telinga siswi penari itu hingga ia tersadar kembali.

Kejadian itu memang bukan berada di sekolah kami, namun di SMKI, sekolah yang ada di depan SMSR, dimana keduanya hanya dibatasi oleh sebuah tembok rendah.
Walaupun bukan di sekolah kami, tapi kedua sekolah yang berdiri dalam satu kompleks itu memang terkenal menjadi ajang arisan para kuntilanak, tanah lapang bagi para pocongan untuk membuat lomba balap karung, juga pohon-pohon di kedua sekolah yang tinggi dan rindang pastinya menjadi tempat menarik bagi para genderuwo untuk membuat keseruan macam panjat pinang.
Mulai dari ruang tari dan karawitan di bagian paling depan SMKI dimana banyak siswi kesurupan, lalu berjalan ke timur, ke arah gedung pertunjukan 'Sasana Artistika', tempat demit, jin, banaspati dan brokosokan menjadikannya sebagai apartemen gaib, lalu lanjut ke timur lagi, masuk ke sekolah kami: ruang pameran, studio lukis, studio logam dan studio kayu, hingga jauh ke sudut paling timur SMSR: pohon beringin. Disanalah setan menjadikannya tempat beranak-pinak!

Di SMSR memang jarang terjadi kesurupan, karena memang pikiran siswa-siswi di sekolah kami tak pernah jauh dari kebahagiaan. Bahkan tak jarang jika melihat keseharian dan tingkah polah kawan-kawan, kami tak bisa membedakan apakah kawan itu kesurupan atau tidak; tapi soal aktivitas spiritual, jangan ditanya, karena memang bukan sekedar banyak, melainkan melimpah ruah! Banyak episode yang akan dilalui jika harus menceritakannya satu persatu, namun aku hanya akan mengambilnya beberapa saja.

Soal kesurupan, aku pernah diajak oleh salah seorang kakak kelas bernama Sigit 'Cupes' untuk menginap di studio lukis, menyaksikan kawan-kawan seangkatannya itu mengerjakan tugas akhir.
Malam menjelang pukul sembilan, kawan-kawan mulai lapar dan membeli makanan, air mineral serta kopi. Tak dinyana, seorang kakak kelas yang awalnya terlihat asyik minum kopi, mendadak kedua bola matanya menyalang merah. Ia memecahkan gelas berisi kopi itu dengan giginya. Mulutnya tidak berdarah, tidak pula ia merasa kesakitan. Kami semua panik dan berhambur keluar. Beberapa kawan memegang tubuhnya sambil terlempar kesana-kemari. Kakak kelas yang lain berinisiatif untuk mencarikan orang pintar. 

"Aku ikut,!" Kataku. 

Kami bersepeda motor berlima menuju ke rumah orang pintar itu. kemudian di pertigaan, tanpa mereka sadari, aku memutar sepeda motorku kearah berlawanan dan memutuskan untuk pulang.. maaf, aku tidak mau berurusan dengan segala hal yang berkaitan dengan aktivitas spiritual.. bukannya takut, melainkan... ah, memang takut...

Suatu pagi, Hohok, anak jurusan musik di SMKI berlari tunggang-langgang hingga masuk ke halaman SMSR, kemudian berlindung di pos satpam sekolah kami. Sebabnya, ia melihat sosok tinggi besar bertaring, yang seluruh tubuhnya berwarna hijau tiba-tiba lewat di depan studio musik ketika ia sedang asyik berlatih drum; makanya ia pontang-panting ketakutan, berlari lintang pukang lintas sekolah.

Satu waktu seorang kakak kelas yang sedang memarkir motornya di parkiran, mendadak histeris sambil meminta tolong. Ketika sudah ditenangkan, dengan perlahan anak itu bercerita bahwa ketika dirinya baru saja menaruh sepeda, tiba-tiba saja di sampingnya terlihat seekor buaya putih dengan mulut menganga.

Tidak cukup sampai disitu. Sore hari setelah menyelesaikan tugas membuat kanvas, kudengar sendiri deru mesin di dalam ruang praktek jurusan logam mendadak menyala. Padahal, kondisi ruangan itu sedang tertutup rapat.
Pak Suko, kepala rumah tangga sekolah mendadak berlarian..
"Ya Allah, aku lupa...".
Lalu ia membuka ruangan logam dan masuk ke dalamnya. Ketika itu aku mengikuti beliau dan memberanikan diri untuk bertanya, 

"lupa apa, Pak?"

"Menyalakan lampu!"

Rupanya jika Pak Suko sampai lupa menyalakan lampu, golongan demit penghuni ruangan itu menunjukkan eksistensinya dengan cara menyalakan puluhan mesin didalam sana.

Pak Suko yang puluhan tahun mendiami sekolah dan mendapat fasilitas tinggal di sepetak bangunan di dalam sekolah itu sudah biasa dengan hal-hal gaib. Bahkan, sebuah aktivitas spiritual pernah merenggut korban, yaitu anaknya sendiri. 

Ceritanya, ketika awal tahun 90an, kanan-kiri sekolah kami masihlah sawah dan banyak lahan kosong. Suasana yang masih sepi itulah yang mungkin mengundang kedatangan penduduk jazirah gaib datang dan menempati sekolah. Saking seringnya menyaksikan peristiwa-peristiwa gaib, Pak Suko jadi tak peduli lagi sampai ketika suatu hari ia menemukan seekor ayam yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Ayam itu seluruh bulunya berwarna hitam. Ayam yang kerap disebut cemani itu berputar-putar di depan rumahnya hingga kemudian ditangkap oleh Pak Suko untuk disembelih sebagai hidangan makan malam sekeluarga.

Beberapa hari kemudian, ketika istri Pak Suko, Bu Suko sedang berdiam diri di rumahnya sambil menggendong bayinya yang baru berusia beberapa bulan, beliau mendengar suara pintu rumahnya diketuk. Bu Suko awalnya tak menghiraukan ketukan tersebut karena tak mungkin ada orang lain di sekolah pada malam hari jika bukan demit.
Pintu diketuk kedua kalinya. Bu Suko tetap tak peduli.

Pintu diketuk ketiga kalinya, angin tiba-tiba mendesir masuk ke dalam ruangan. Bu Suko tetap tak menghiraukan.
Sampai kemudian terdengar suara kerokok ayam, kemudian disusul suara terbata seperti mengeja perlahan...

"Buuuu... Suuu... Koooo..."

Barulah beliau terkejut lalu menanggapinya,

"Nggih, monggo, sinten nggih?"

Belum selesai bibir Bu Suko tertutup, tiba-tiba tangan kecil anak bayinya itu memukul bibirnya, lalu kemudian mencengkeramnya dengan jari-jari mungilnya, seolah berpesan, 

"Ibu, jangan disahuti!!!!!"

Bu Suko bangkit berdiri sambil menggenggam telapak tangan anaknya, kemudian membuka pintu rumah. Benarlah, angin setengah bertiup kencang ke arahnya. Tidak ada siapa-siapa disitu. Bayinya menangis.

Tiga hari setelah ketukan dan suara misterius itu, bayinya terserang sakit panas dan demam. Begitu tinggi suhu tubuhnya, hingga kemudian sebelum sempat membawanya ke rumah sakit, bayi Bu Suko meninggal. Kyai yang datang ke pemakaman bayinya mengatakan bahwa lingkungan sekolah perlu diadakan pengajian rutin dan pembacaan ayat-ayat Al-Qur'an, mengingat mahluk gaib disana mulai meminta korban. Maka tak terkira air mata yang tumpah dari kedua bola matanya. Hidup yang sudah serba kekurangan, masih ditambah dengan cobaan yang begitu menikam hatinya. Keluarga kecil itu tenggelam dalam kesedihan selama berbulan-bulan. Beberapa tahun berlalu ketika beliau menceritakan kembali kisahnya padaku, aku masih melihat linangan air mata itu. Orangtua mana yang tak larut dalam kepedihan mengingat satu diantara keempat anaknya harus mendahului mereka begitu cepat?

Aktivitas gaib baru mulai perlahan-lahan berkurang setelah dibangunnya masjid di halaman sekolah. Lantunan ayat suci tiap hari diperdengarkan.
Kini, setelah 13 tahun berlalu, sekolah SMSR (SMKN 11) dan SMKI (SMKN 9) dijadikan satu oleh pemerintah dengan nama SMKN 12, tak pernah terdengar lagi cerita tentang aktivitas spiritual. Religiuitas warga sekolah yang semakin baik, ditambah dengan suasana yang semakin ramai, mungkin saja membuat para demit memutuskan untuk berangkat transmigrasi ke pulau-pulau terpencil di seberang lautan.

Bahkan ketika aku melihat kondisi sekolahku yang baru dengan siswa-siswi yang tampil berdasi, semakin rapi dan semakin tertib, aku jadi lebih takut bila membayangkan kawan-kawan seangkatanku seperti Tompel, Mahfud, Mat Pa'i, Semprong, Dina dan lain-lain bersekolah di masa sekarang yang penuh kerapian dan ketertiban. Bukan fenomena spiritual yang kami dapatkan, melainkan fenomena tidak naik kelas massal.



To be continued......

No comments:

Post a Comment