Thursday, December 13, 2018

Dasar-dasar Melukis : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 (episode 5)

Belantara Papuma by Ellys Naniek Setyawati


Episode 5: Dasar-dasar Melukis


Sudah sebulan lebih Bu Ellys mengajar dasar-dasar seni lukis di kelas kami dan masih juga berkutat dengan tekhnik arsir hitam-putih, karena kami masih juga tidak nyantol. Mungkin hanya si Kumal keriting itu yang menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan cepat pula ia berleha-leha sembari memandangi foto artis Thailand idolanya: Matnee Kampayome & Pang Klong Karn (semoga ejaannya betul). Disusul oleh Mahfud si penggila kungfu itu. Sementara yang lain, masih sibuk mencari obyek untuk dilukis.

Kriswanto menemukan obyek sepeda motor di parkiran dan memindahkannya dalam gambarnya, Dina mencari obyek bunga, Paulus menggambar foto grup band Korn, Cungkring menggambar botol mineral, Mat Pa'i menggambar dirinya sendiri, Yohanes menggambar dua pasang sepatu yang diletakkan di meja, Imam menggambar gedung sekolah,  Tompel menggambar sebatang pohon pisang di kebun belakang perpus, sedangkan Hariono berkeliling untuk mencari gambar Siti Nurhaliza tapi ia tidak menemukannya. Jadilah ia menggambar Tompel yang sedang menggambar pohon pisang. 
Sedang aku sendiri masih sibuk untuk mengetahui bagaimana cara menggambar yang baik dan benar.

"Arsiran opo iki? Aku nggak pernah ngajari bikin arsiran model jaring laba-laba gini!," Tegur Bu Ellys saat melihat gambar Cungkring.

"Koen iku dadi arek wedok kudune pinter, ojok Pethuk! Lha kok onok arek wedok gak ngalor gak ngidul!," Tegur Bu Ellys ketika melihat gambar Dina. Jadilah saat itu ia dipanggil 'Pethuk'.

Satu-persatu terkena teguran, sampai tiba giliranku menunjukkan gambarku pada beliau..

"Guruh..." ucapnya lirih
"Njih Bu?"
"Koen gak pengen pindah jurusan?"

Teguran yang sangat halus namun membuatku serasa berada di kutub utara... sebongkah gletser longsor menimpa kepalaku.

Tiba giliran Tompel yang menyerahkan gambarnya sambil menepuk-nepuk dada. Bu Ellys tahu kalau satu muridnya itu dilanda penyakit gila, dan beliau hanya menegur kegilaannya, namun tidak menegur gambarnya.
Gambar milik Tompel ini sebenarnya punya karakter kuat. Teguran satu-satunya dari para guru lukis terhadap Tompel hanyalah karena goresannya tak pernah bisa realis dan natural, namun selalu ekspresif dan meledak-ledak seperti karakternya. Aku membayangkan dia dengan goresannya itu kelak bisa jadi pelukis sekelas Pierre Auguste-Renoir atau Wassily Kandinsky, namun sayangnya ia tak pernah serius dan tak pernah bisa membedakan antara pikiran waras dan tidak, makanya ia begitu-begitu saja.

Pelajaran kedua dasar lukis diampu oleh Pak Khusnul Bahri. Guru yang berpenampilan modis, bertubuh sedikit gemuk dan memiliki kumis ala Cok Simbara, pemain sinetron 'Noktah Merah Perkawinan' ini cukup tegas dan tanpa kompromi. Ketika beliau bercerita tentang latar belakangnya sebagai orang Madura, aku jadi ingat peribahasa: 'Ango'an Pote Tolang Atembang Pote Mata' (Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata: Lebih baik mati daripada menanggung malu); dari situ aku jadi membayangkan, jangan-jangan Pak Khusnul yang terlihat garang ini memegang teguh peribahasa itu dalam kelas, sehingga kami-kami yang kualitas gambarnya jelek, daripada kami menanggung malu, maka kami semua akan dibunuh olehnya...
Ah, itu hanya khayalan anak SMA kelas satu yang sedang geragapan.

Nyatanya Pak Khusnul sendiri adalah guru yang jauh dari kesan killer, malahan beliau piawai memacu semangat siswanya untuk melukis. Beliau termasuk guru yang kerap memotivasi siswanya lewat pengalaman pribadinya. Salah satunya, Pak Khusnul bercerita kalau beliau pernah kehilangan motor dan sangat bersedih, namun dengan kerja kerasnya, ia tekun melukis dan akhirnya berhasil menjual lukisan-lukisannya dengan harga mahal. Hasil penjualan lukisannya itu digunakan untuk membeli motor baru.

"Jangan ragu untuk hidup dan mencari rezeki dari seni lukis, asal kamu serius," begitu pesannya.

Setelah memotivasi dan mengajarkan siswa tentang teknik-teknik dasar melukis, Bu Ellys masuk kelas, disusul Pak Parman, seorang guru yang gemuk dan penyabar. Mereka bertiga mengguyur kepala kami dengan ilmu tentang dunia seni rupa. Beliau-beliau juga menunjukkan bahwa ada alumni SMSR yang sukses menjadi pelukis besar. Mas Jopram, namanya. Hingga kemudian kami diajak keluar kelas untuk meninjau karya patung milik Mas Jopram yang dipajang di depan ruang guru lukis. Sebuah patung Ganesha yang gagah dengan guratan-guratan yang membentuk anatomi tubuhnya dengan proporsional. Selain Mas Jopram, ketiga guru itu juga berkisah tentang seorang pelukis wanita yang pada masa awal sekolah terlihat biasa-biasa saja, namun dengan ketekunannya, ia bisa mencapai nilai baik, bahkan mendapatkan pratita adi karya, simbol penghargaan tertinggi untuk tugas akhir siswa. Alumni itu namanya Mbak Novita.

Hari itu selesailah pelajaran dasar melukis. Kamipun kembali ke kelas. Setelah beberapa jam mengikuti pelajaran umum, saat istirahatpun tiba. Mendadak suasana jadi ramai karena Paulus terlibat adu pukul dengan Rijal Ammam, anak grafis yang tersinggung berat hanya gara-gara kepalanya tak sengaja terlempar gulungan kertas. Setelah usai dan saling berdamai, tidak lama kemudian kami mendengar kabar si Kumal keriting yang mati-matian menolak aturan sekolah untuk potong rambut itu berkelahi dengan seorang kakak kelas bernama Roni.

Yeah... kami adalah kumpulan abg labil yang duduk dalam satu kelas selama tiga tahun. Siapa lagi yang berulah? Siapa lagi yang disanjung atau dicaci? Tigapuluh lima bulan adalah rute yang panjang, dan di tiap perhentian kami mengais jawaban.



To be continued......

No comments:

Post a Comment