Wednesday, December 19, 2018

Amdo Brada : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 13)


Wayang Gajah by Amdo Brada


Episode 13 : Amdo Brada

Aku geragapan karena buku tulisku hilang; padahal, sebentar lagi tiba waktunya pelajaran Bahasa Indonesia yang diampu Bu Nunik, guru yang agak-agak killer... Kucari ke kolong bawah meja, nihil; kolong kursi, juga nihil.. aku melongok kearah seorang kawan yang duduk di depanku, yaitu Hariono; saat itu dia terlihat senyam-senyum sambil memegang pulpen di tangannya. Lalu kulihat buku tulisku ada di mejanya! Akupun mengambil dengan paksa buku tulisku itu. Sepertinya si Hariono baru saja menulis sesuatu di buku tulis milikku yang saat itu kondisinya masih baru, gres, mengkilat, mereknya 'Sidu' pula..

Kubuka halaman pertama. Benar saja, ada tulisan tangan Hariono di bukuku: 

'GuruhGirihGerehGorohGurehGurohGurih'

Sungguh mampus aku tak mengerti tentang apa yang ditulis oleh anak yang sebenarnya agak berkebutuhan khusus itu...

Yohanes Lema yang kebetulan duduk di sebelahku, secara tidak sengaja membaca pula tulisan itu. Ia mendadak tertawa keras, sangat keras, seperti tak bisa berhenti.

"Bean, aku kemarin juga lihat tulisan Hariono di buku tulisnya Pa'i!!! Tak tahulah aku apa maksud anak itu!! Hahahaaa...," 

Ujarnya sambil terus tertawa; padahal, Bu Nunik saat itu sudah hadir di kelas kami.

"Lema, diam! Diam!, Bu Nunik sudah datang!," ucapku.

"Pukimai! pukimai! aku tak mampu berhenti tertawa!! Hahahaaaa...."

Bu Nunik, guru Bahasa Indonesia yang juga merupakan putri seorang sketser terkenal bernama M. Thalib Prasadja itu sedikit menahan emosi karena tawa Yohanes Lema terdengar menggema di seantero kelas, sehingga beliau tak bisa memulai pelajaran.

Beliaupun mendekat ke mejaku, menatap Yohanes Lema yang masih tertawa.

"Yohanes Lema, kamu kenapa tertawa?"

"Aduuhh tidak tahu saya bu..hahahaa.. ini lucu sekali.. hahahaaa.."

"Mau sampai kapan kamu tertawa?"

Yohanes Lema tidak menjawab, namun terus tertawa.

"Kamu melecehkan saya?"

Saat itu aku sudah agak merinding sambil menendang-nendang kaki si Yohanes Lema, sebagai kode agar ia segera menghentikan tawanya.

Kesabaran Bu Nunik sudah habis.
Bu Nunik menarik lenganku, dan karena tarikan beliau, aku jadi terhuyung kearah tempat duduk Mahfud yang berada disampingku. Tentu saja Bu Nunik menarikku keluar dengan tujuan supaya beliau mendapat ruang untuk melakukan sesuatu kepada anak asli NTT itu, kemudian....

"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"

Pipi Yohanes terlihat membekas merah, tergambar tiga buah telapak tangan.
Suasana hening.

"Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri!! jurus Tapak Buddha Suci Tak Tertandingi!," ujar Mahfud si penggemar Kera Sakti itu. spontan namun setengah berbisik.

Imam yang duduk di sebelahnya langsung menyenggol bahunya.

"Diam kau, Jackie Chan! Mau jadi korban berikutnya?," Kriswanto berujar kepada Mahfud. Iapun menutup mulutnya sambil mengacungkan dua jari. Peace...

Kami sudah kelas tiga ketika itu; dan hari itu adalah hari pertama Bu Nunik mengajar di kelas tiga.. ah, jadi kacau gara-gara Hariono dan Yohanes Lema..

Tidak lama, Pak Pracihara, guru matpel airbrush masuk kelas kami, memberitahukan pada kami tentang kewajiban magang untuk kali kedua:

"Di kelas tiga ini ada kewajiban untuk magang lagi. Kalau saat kelas dua kemarin kalian magang selama tiga bulan, di kelas tiga ini kalian tidak magang selama tiga bulan, tapi...."

Berapa bulan pak? Satu bulan? Dua bulan?

"Bisa lebih bisa kurang, tapi setidaknya kalian magang di kelas tiga ini selama.... sembilanpuluh hari!! hahahaaa," ujar Pak Praci.

Maaf pak, sembilanpuluh hari itu kan sama dengan tiga bulan? Anda sedang bercanda, Pak?
Oh, demi Neptunus.. sebenarnya apa yang terjadi dengan situasi sekolah siang ini? Tertawa-marah-bingung-takut seperti silih berganti semenjak pagi tadi...

Aku melihat papan pengumuman magang di sekolah. Aku membaca namaku tertulis di urutan nomor satu, sebagai siswa magang di tempat pelukis bernama Amdo Brada. Dibawah namaku kubaca dua nama di urutan selanjutnya sambil bergidik:
2. Hariono
3. Yohanes Gregorius Lema.

Aku menahan geram dan otakku sudah mendidih penuh emosi; jika tahun kemarin aku magang dengan Kriswanto dan Mahfud, maka hari ini aku harus menerima kenyataan pahit: menjadi satu kelompok dengan golongan yang bikin rusuh tadi pagi.
Wahhh... Aku hanya bisa mengelus dada sambil mencoba menerima kenyataan: bersama dua anak itu, rasanya tempat magang yang cocok bagi kami bertiga bukanlah di instansi kebudayaan, perusahaan advertising atau di tempat pelukis, melainkan cocoknya magang di Liponsos Keputih...

Esoknya aku membonceng Lema untuk mampir ke rumah Pak Amdo Brada di daerah Kupang Krajan dengan maksud untuk memperkenalkan diri. Hariono datang belakangan dengan bersepeda dari rumahnya di daerah Kalibokor, Surabaya.
Kami masuk gang sempit, kemudian sampai di sebuah rumah bergaya etnik, penuh dengan hiasan-hiasan dekoratif yang begitu indah dan semarak. Lukisan-lukisan panjang terpajang di dinding-dindingnya.
Seorang laki-laki duduk lesehan di ruang tamu. Ia memakai hem lengan pendek, bersarung, rambutnya keriting namun tebal, kumisnya tipis, dan ketika tersungging untuk mempersilahkan kami masuk, ternyata giginya ompong.

"Silahkan, masuk, mas. Silahkan duduk"

Kami bertigapun duduk bersama.

"Terimakasih Pak. Lho, panjenengan ini Pak Amdo Brada, ya?," Tanyaku membuka percakapan.

"Ooo bukan. Saya bukan Amdo"

"Lho, lantas Bapak siapa?"

"Saya Pakleknya".

Kamipun mengangguk-angguk, lalu melanjutkan pembicaraan. Kami banyak bertanya pada laki-laki itu tentang sosok Pak Amdo. Kata guru kami di sekolah, Pak Amdo itu pelukis etnik tersohor; Kata Pak Farid, Pak Amdo itu ahli dekorasi taman yang tiada bandingannya; kata kabar burung di sekolah, banyak pelukis-pelukis terkenal yang pernah magang di tempatnya. Benarkah demikian?

"Oo itu terlalu berlebihan.. yang jelas kalau magang di tempat Amdo, kalian harus siap digembleng"

"Lantas kapan kami bisa bertemu dengan Pak Amdo, Pak?"

"Amdonya masih pergi luar kota, tapi nanti malam sudah sampai disini. Saya sudah dititipi pesan, kalau ada siswa SMSR datang untuk magang, suruh kembali lagi esok hari dengan membawa perlengkapan melukis"

Kamipun menurut saja apa kata orang yang mengaku Pakleknya Pak Amdo itu; lalu kamipun berpamitan untuk pulang, dengan alasan sampai di rumah nanti kami akan menyiapkan perlengkapan melukis yang akan kami bawa keesokan harinya. Iapun mempersilahkan kami pulang. 

Belum sampai seratus meter kami menuntun sepeda menyusuri gang Kupang Krajan, kami mendengar suara seorang anak kecil yang sedang masuk ke rumah kediaman Pak Amdo.

"Pak, aku pamit metu nang omahe koncoku!"

"Yo, ati-ati, le!," Terdengar suara dari orang yang mengaku Pakleknya Pak Amdo tadi. 

Anak kecil itu berlari kecil keluar rumah, kebetulan arah larinya menuju kearah kami. Aku mencegatnya.

"Dik, dik, yang kamu ajak bicara tadi siapa?"

"Bapak saya, mas.."

"Bapakmu namanya siapa?"

"Pak Amdo..."

"Lho, yang kamu ajak ngobrol tadi bukan Pakleknya?"

"Paklek sing endi maneh... Wong saya ngomong sama Pak Amdo, Bapak saya sendiri kok.."

Saat itu kami baru tahu kalau kami sedari tadi berbicara dengan Pak Amdo sendiri, bukan pakleknya; kami tidak tahu apa alasan beliau tidak mengaku saja kalau dirinya adalah Amdo Brada. Aku jadi pusing. Hariono sudah duluan pulang, Yohanes Lema tertawa-tawa hingga sepanjang perjalanan pulang.

"Bean, jadi kita tadi bicara tentang Pak Amdo pada Pak Amdo? Hahahaaa...."

Aku tidak tahu harus berpikir dan berbuat apa... yang terjadi dua hari ini seolah mengingatkan aku agar lebih rajin beribadah, sebab di dunia ini semakin banyak orang bertingkah aneh, dan juga, dua hari ini aku merasakan sendiri godaan setan berupa perasaan mabuk tanpa minum minuman keras.

Hari kedua magang, kami datang ke rumah Pak Amdo. Orang yang kami temui kemarin tampak senyam-senyum menyambut kami; mungkin ia berpikir bahwa kami masih menganggap dia adalah pakleknya Pak Amdo, padahal dia sendirinya itu Pak Amdo.

Aku membuka percakapan:
"Pak, Pak Amdo mana? Pak Amdo mana? Anda kan Pakleknya... hehehee.."

Pak Amdo tertawa lepas, setelah itu bisa-bisanya dia bercanda:
"Yang kemarin itu kembaran saya..hahahaaa"

Kami memulai hari kedua di rumah Pak Amdo. Saat mengeluarkan perlengkapan melukis, Pak Amdo malah menyuruh kami untuk meninggalkan alat-alat itu di rumahnya. Ia hendak mengajak kami ke tempat dimana ia sedang mengerjakan taman. Kami nurut saja.

Daerah Ngagel, Surabaya. Di kawasan itulah Pak Amdo mengajak kami bertiga ke kediaman seorang anggota DPRD Surabaya bernama Pak Armuji. Pak Armuji itu sosok yang tinggi, berkumis tipis dan potongan rambutnyapun tipis.
Di rumah itulah kami melihat kemampuan Pak Amdo dalam membuat dekorasi taman. Mulai dari membuat lekukan macam tebing yang terjal, membuat dekorasi air mancur, lalu menatah lekukan demi lekukan sesuai dengan sketsa yang dibuatnya. Hasilnya sangat luar biasa. Aku dan Yohanes Lema memandangnya dengan kagum. Hanya Hariono sendiri yang sibuk melihat-lihat ember luluh dan kami tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Saat itu kami diajari soal pewarnaan tebing, tentang bagaimana cara mencampur warna hingga mendapatkan warna yang sesuai dengan lumutan maupun kontur lekukan. Warna gelap untuk cekungannya, warna agak terang untuk sudut lancipnya, dan hijau gelap untuk membuat kesan dinding itu berlumut. Benar kata para guru di SMSR.. Pak Amdo memang rajanya dekorasi taman.

Setelah itu kami bertiga diajak ke Balai Pemuda. Disana sedang ada bazaar dan Pak Amdo punya stan. Ia menjajakan kaos dan tas lukis yang bergaya etnik karyanya. Banyak pengunjung yang tertarik kemudian membeli barang-barang produk kreasi Pak Amdo itu. Ketika kami tanya mengapa beliau menekuni lukisan etnik, beliau hanya menjawab,

"Jangan sampai kita meninggalkan tradisi, karena meninggalkan tradisi sama saja dengan meninggalkan keindonesiaan".

Saat itu kami bengong.

"Tahu artinya?"

"Mmmmmm...."

"Gini, kalian sering-sering saja lihat pameran; lalu lihat karyanya pelukis-pelukis itu. Mulai dari realis, ekspresionis, impresif, hyper-realis, abstrak, dan sebagainya, lalu cobalah berpikir sejenak dan bertanyalah: dimana keindonesiaannya?"

"Oooo..."

"A-O-A-O sakjane ngerti ta gak??"

Kami hanya senyam-senyum saja. Sebenarnya sudah tertebak jawabannya: saat itu kami nggak ngerti.

"Awakmu ketokke kudu magang nang nggonku selama setahun....," Tukas beliau melihat kami bertiga yang cuma bisa plonga-plongo.

Beberapa hari kemudian kami diajak beliau untuk mendekor sebuah kafe di kawasan depan Carrefour, Mayjend Sungkono, Surabaya; namun tidak lama, karena Pak Amdo lebih ingin kami fokus melukis. Di kelas tiga ini selain kami akan menghadapi UNAS, kami juga akan menghadapi kewajiban untuk menyelesaikan tugas akhir siswa.

Di rumah Pak Amdo yang bergaya etnik dan sejuk itu, aku melukis bersama kawanku Yohanes Lema dan Hariono. Kami mencoba-coba melukis etnik, karena pajangan-pajangan lukisan di dinding itu seolah menghipnotis kami agar kami membuat lukisan yang setidaknya senada dengan lukisan Pak Amdo; hanya Hariono yang keukeuh melukis Siti Nurhaliza.

Aku sempat bertanya dalam hati, bagaimana cara untuk menciptakan karakter goresan seperti Pak Amdo? Lalu aku memandangi lukisan beliau cukup lama, kemudian aku beroleh ide untuk membuat lukisan ornamentik. Bagaimana jika berbagai macam motif ornamen kubuat dalam diameter yang kecil, namun jumlahnya banyak hingga tampak berjejal, dan dalam kepadatan tertentu tumpukan-tumpukan motif itu akan kubuat membentuk sebuah figur. Entah figur apa itu aku masih berpikir keras, sampai ketika secara tak sengaja aku melihat tv yang sedang menyala di rumah Pak Amdo, menayangkan cuplikan film kartun toystory yang diantaranya menampilkan karakter 'Slinky Dog': boneka anjing yang bisa memanjangkan diri karena bagian tengah tubuhnya berupa lengkungan-lengkungan memanjang seperti pir. Ah!!!!
Aku mendapat ide membuat ornamen-ornamen kecil yang membentuk figur hewan-hewan seperti Slinky Dog yang tubuhnya panjang. Hewan-hewan itu ada tiga sampai empat ekor banyaknya. Tubuhnya penuh motif ornamen.

"Lha iki rodok kenek," ucap Pak Amdo.
Nah.. maka paling tidak aku akan menekuni lukisan semacam ini untuk tugas akhir nanti..

"Mbon, koen nggambar opo, Mbon?," Tanya Pak Amdo kepada Lema yang dipanggilnya 'Ambon'. Lema saat itu sedikit banyak sudah mengerti bahasa Jawa, walaupun masih belum lancar berbicara dalam bahasa itu.

"Apik gambarmu, Mbon!"

Lema hanya tertawa saja. Ia sedang menggarap lukisan pemandangan dekoratif.

Hariono beberapa hari ini tidak hadir ke rumah Pak Amdo. Lukisan Siti Nurhalizanya sedikit terbengkalai. Seminggu sebelum magang usai, hariono tiba-tiba hadir dan iapun menyelesaikan lukisannya itu.

Tiga bulan lamanya kami mendapat banyak ilmu dan pelajaran berharga dari Pak Amdo, hingga pada hari yang telah ditentukan, para siswa diwajibkan untuk kembali ke sekolah seperti biasanya.
Pada hari pertama di sekolah setelah tiga bulan magang itu aku melihat kembali delapan kawan-kawanku. Rasanya kurang satu? ah, iya, Yohanes Lema! Kemana dia hari ini?

Sebelum sempat aku bertanya pada kawan-kawanku tentang keberadaan Yohanes Lema, Mat Pa'i tiba-tiba datang sambil membawa buku tulisnya. Ia kemudian mengeluh:

"Siang tadi Hariono kembali mengambil buku tulisku. Ia menuliskan sesuatu di bukuku yang aku tak paham maksudnya. Sudah tiga kali aku diginiin..."

Kawan-kawan mengambil buku tulis itu dari tangan Mat Pa'i. Mereka membuka halaman pertama dan terbaca tulisan tangan Hariono di buku tersebut:

'PakiPakePakuPakoPikoPukoPiku'

Mampus!



To be continued.....

No comments:

Post a Comment