![]() |
Wayang Gajah by Amdo Brada |
Episode 13 : Amdo Brada
Aku geragapan karena buku tulisku hilang; padahal, sebentar lagi tiba
waktunya pelajaran Bahasa Indonesia yang diampu Bu Nunik, guru yang
agak-agak killer... Kucari ke kolong bawah meja, nihil; kolong kursi,
juga nihil.. aku melongok kearah seorang kawan yang duduk di depanku,
yaitu Hariono; saat itu dia terlihat senyam-senyum sambil memegang
pulpen di tangannya. Lalu kulihat buku tulisku ada di mejanya! Akupun
mengambil dengan paksa buku tulisku itu. Sepertinya si Hariono baru saja
menulis sesuatu di buku tulis milikku yang saat itu kondisinya masih
baru, gres, mengkilat, mereknya 'Sidu' pula..
Kubuka halaman pertama. Benar saja, ada tulisan tangan Hariono di bukuku:
'GuruhGirihGerehGorohGurehGurohGurih'
Sungguh mampus aku tak mengerti tentang apa yang ditulis oleh anak yang sebenarnya agak berkebutuhan khusus itu...
Yohanes Lema yang kebetulan duduk di sebelahku, secara tidak sengaja
membaca pula tulisan itu. Ia mendadak tertawa keras, sangat keras,
seperti tak bisa berhenti.
"Bean, aku kemarin juga lihat tulisan Hariono di buku tulisnya Pa'i!!! Tak tahulah aku apa maksud anak itu!! Hahahaaa...,"
Ujarnya sambil terus tertawa; padahal, Bu Nunik saat itu sudah hadir di kelas kami.
"Lema, diam! Diam!, Bu Nunik sudah datang!," ucapku.
"Pukimai! pukimai! aku tak mampu berhenti tertawa!! Hahahaaaa...."
Bu Nunik, guru Bahasa Indonesia yang juga merupakan putri seorang
sketser terkenal bernama M. Thalib Prasadja itu sedikit menahan emosi
karena tawa Yohanes Lema terdengar menggema di seantero kelas, sehingga
beliau tak bisa memulai pelajaran.
Beliaupun mendekat ke mejaku, menatap Yohanes Lema yang masih tertawa.
"Yohanes Lema, kamu kenapa tertawa?"
"Aduuhh tidak tahu saya bu..hahahaa.. ini lucu sekali.. hahahaaa.."
"Mau sampai kapan kamu tertawa?"
Yohanes Lema tidak menjawab, namun terus tertawa.
"Kamu melecehkan saya?"
Saat itu aku sudah agak merinding sambil menendang-nendang kaki si
Yohanes Lema, sebagai kode agar ia segera menghentikan tawanya.
Kesabaran Bu Nunik sudah habis.
Bu Nunik menarik lenganku, dan karena tarikan beliau, aku jadi terhuyung kearah tempat duduk Mahfud yang berada disampingku. Tentu saja Bu Nunik menarikku keluar dengan tujuan supaya beliau mendapat ruang untuk melakukan sesuatu kepada anak asli NTT itu, kemudian....
Bu Nunik menarik lenganku, dan karena tarikan beliau, aku jadi terhuyung kearah tempat duduk Mahfud yang berada disampingku. Tentu saja Bu Nunik menarikku keluar dengan tujuan supaya beliau mendapat ruang untuk melakukan sesuatu kepada anak asli NTT itu, kemudian....
"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"
"Plaaaakkkk"
Pipi Yohanes terlihat membekas merah, tergambar tiga buah telapak tangan.
Suasana hening.
Suasana hening.
"Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri!! jurus Tapak Buddha Suci
Tak Tertandingi!," ujar Mahfud si penggemar Kera Sakti itu. spontan
namun setengah berbisik.
Imam yang duduk di sebelahnya langsung menyenggol bahunya.
"Diam kau, Jackie Chan! Mau jadi korban berikutnya?," Kriswanto berujar kepada Mahfud. Iapun menutup mulutnya sambil
mengacungkan dua jari. Peace...
Kami sudah kelas tiga ketika itu;
dan hari itu adalah hari pertama Bu Nunik mengajar di kelas tiga.. ah,
jadi kacau gara-gara Hariono dan Yohanes Lema..
Tidak lama, Pak
Pracihara, guru matpel airbrush masuk kelas kami, memberitahukan pada
kami tentang kewajiban magang untuk kali kedua:
"Di kelas tiga
ini ada kewajiban untuk magang lagi. Kalau saat kelas dua kemarin kalian
magang selama tiga bulan, di kelas tiga ini kalian tidak magang selama
tiga bulan, tapi...."
Berapa bulan pak? Satu bulan? Dua bulan?
"Bisa lebih bisa kurang, tapi setidaknya kalian magang di kelas tiga
ini selama.... sembilanpuluh hari!! hahahaaa," ujar Pak Praci.
Maaf pak, sembilanpuluh hari itu kan sama dengan tiga bulan? Anda sedang bercanda, Pak?
Oh, demi Neptunus.. sebenarnya apa yang terjadi dengan situasi sekolah siang ini? Tertawa-marah-bingung-takut seperti silih berganti semenjak pagi tadi...
Oh, demi Neptunus.. sebenarnya apa yang terjadi dengan situasi sekolah siang ini? Tertawa-marah-bingung-takut seperti silih berganti semenjak pagi tadi...
Aku melihat papan pengumuman magang di sekolah. Aku
membaca namaku tertulis di urutan nomor satu, sebagai siswa magang di
tempat pelukis bernama Amdo Brada. Dibawah namaku kubaca dua nama di
urutan selanjutnya sambil bergidik:
2. Hariono
3. Yohanes Gregorius Lema.
2. Hariono
3. Yohanes Gregorius Lema.
Aku menahan geram dan otakku sudah mendidih penuh emosi; jika tahun
kemarin aku magang dengan Kriswanto dan Mahfud, maka hari ini aku harus
menerima kenyataan pahit: menjadi satu kelompok dengan golongan yang
bikin rusuh tadi pagi.
Wahhh... Aku hanya bisa mengelus dada sambil mencoba menerima kenyataan: bersama dua anak itu, rasanya tempat magang yang cocok bagi kami bertiga bukanlah di instansi kebudayaan, perusahaan advertising atau di tempat pelukis, melainkan cocoknya magang di Liponsos Keputih...
Wahhh... Aku hanya bisa mengelus dada sambil mencoba menerima kenyataan: bersama dua anak itu, rasanya tempat magang yang cocok bagi kami bertiga bukanlah di instansi kebudayaan, perusahaan advertising atau di tempat pelukis, melainkan cocoknya magang di Liponsos Keputih...
Esoknya aku membonceng Lema untuk mampir
ke rumah Pak Amdo Brada di daerah Kupang Krajan dengan maksud untuk
memperkenalkan diri. Hariono datang belakangan dengan bersepeda dari
rumahnya di daerah Kalibokor, Surabaya.
Kami masuk gang sempit, kemudian sampai di sebuah rumah bergaya etnik, penuh dengan hiasan-hiasan dekoratif yang begitu indah dan semarak. Lukisan-lukisan panjang terpajang di dinding-dindingnya.
Seorang laki-laki duduk lesehan di ruang tamu. Ia memakai hem lengan pendek, bersarung, rambutnya keriting namun tebal, kumisnya tipis, dan ketika tersungging untuk mempersilahkan kami masuk, ternyata giginya ompong.
Kami masuk gang sempit, kemudian sampai di sebuah rumah bergaya etnik, penuh dengan hiasan-hiasan dekoratif yang begitu indah dan semarak. Lukisan-lukisan panjang terpajang di dinding-dindingnya.
Seorang laki-laki duduk lesehan di ruang tamu. Ia memakai hem lengan pendek, bersarung, rambutnya keriting namun tebal, kumisnya tipis, dan ketika tersungging untuk mempersilahkan kami masuk, ternyata giginya ompong.
"Silahkan, masuk, mas. Silahkan duduk"
Kami bertigapun duduk bersama.
"Terimakasih Pak. Lho, panjenengan ini Pak Amdo Brada, ya?," Tanyaku membuka percakapan.
"Ooo bukan. Saya bukan Amdo"
"Lho, lantas Bapak siapa?"
"Saya Pakleknya".
Kamipun mengangguk-angguk, lalu melanjutkan pembicaraan. Kami banyak
bertanya pada laki-laki itu tentang sosok Pak Amdo. Kata guru kami di
sekolah, Pak Amdo itu pelukis etnik tersohor; Kata Pak Farid, Pak Amdo
itu ahli dekorasi taman yang tiada bandingannya; kata kabar burung di
sekolah, banyak pelukis-pelukis terkenal yang pernah magang di
tempatnya. Benarkah demikian?
"Oo itu terlalu berlebihan.. yang jelas kalau magang di tempat Amdo, kalian harus siap digembleng"
"Lantas kapan kami bisa bertemu dengan Pak Amdo, Pak?"
"Amdonya masih pergi luar kota, tapi nanti malam sudah sampai disini.
Saya sudah dititipi pesan, kalau ada siswa SMSR datang untuk magang,
suruh kembali lagi esok hari dengan membawa perlengkapan melukis"
Kamipun menurut saja apa kata orang yang mengaku Pakleknya Pak Amdo
itu; lalu kamipun berpamitan untuk pulang, dengan alasan sampai di rumah
nanti kami akan menyiapkan perlengkapan melukis yang akan kami bawa
keesokan harinya. Iapun mempersilahkan kami pulang.
Belum sampai
seratus meter kami menuntun sepeda menyusuri gang Kupang Krajan, kami
mendengar suara seorang anak kecil yang sedang masuk ke rumah kediaman
Pak Amdo.
"Pak, aku pamit metu nang omahe koncoku!"
"Yo, ati-ati, le!," Terdengar suara dari orang yang mengaku Pakleknya Pak Amdo tadi.
Anak kecil itu berlari kecil keluar rumah, kebetulan arah larinya menuju kearah kami. Aku mencegatnya.
"Dik, dik, yang kamu ajak bicara tadi siapa?"
"Bapak saya, mas.."
"Bapakmu namanya siapa?"
"Pak Amdo..."
"Lho, yang kamu ajak ngobrol tadi bukan Pakleknya?"
"Paklek sing endi maneh... Wong saya ngomong sama Pak Amdo, Bapak saya sendiri kok.."
Saat itu kami baru tahu kalau kami sedari tadi berbicara dengan Pak
Amdo sendiri, bukan pakleknya; kami tidak tahu apa alasan beliau tidak
mengaku saja kalau dirinya adalah Amdo Brada. Aku jadi pusing. Hariono
sudah duluan pulang, Yohanes Lema tertawa-tawa hingga sepanjang
perjalanan pulang.
"Bean, jadi kita tadi bicara tentang Pak Amdo pada Pak Amdo? Hahahaaa...."
Aku tidak tahu harus berpikir dan berbuat apa... yang terjadi dua hari
ini seolah mengingatkan aku agar lebih rajin beribadah, sebab di dunia
ini semakin banyak orang bertingkah aneh, dan juga, dua hari ini aku
merasakan sendiri godaan setan berupa perasaan mabuk tanpa minum minuman
keras.
Hari kedua magang, kami datang ke rumah Pak Amdo. Orang
yang kami temui kemarin tampak senyam-senyum menyambut kami; mungkin ia
berpikir bahwa kami masih menganggap dia adalah pakleknya Pak Amdo,
padahal dia sendirinya itu Pak Amdo.
Aku membuka percakapan:
"Pak, Pak Amdo mana? Pak Amdo mana? Anda kan Pakleknya... hehehee.."
"Pak, Pak Amdo mana? Pak Amdo mana? Anda kan Pakleknya... hehehee.."
Pak Amdo tertawa lepas, setelah itu bisa-bisanya dia bercanda:
"Yang kemarin itu kembaran saya..hahahaaa"
"Yang kemarin itu kembaran saya..hahahaaa"
Kami memulai hari kedua di rumah Pak Amdo. Saat mengeluarkan
perlengkapan melukis, Pak Amdo malah menyuruh kami untuk meninggalkan
alat-alat itu di rumahnya. Ia hendak mengajak kami ke tempat dimana ia
sedang mengerjakan taman. Kami nurut saja.

Di rumah itulah kami melihat kemampuan Pak Amdo dalam membuat dekorasi taman. Mulai dari membuat lekukan macam tebing yang terjal, membuat dekorasi air mancur, lalu menatah lekukan demi lekukan sesuai dengan sketsa yang dibuatnya. Hasilnya sangat luar biasa. Aku dan Yohanes Lema memandangnya dengan kagum. Hanya Hariono sendiri yang sibuk melihat-lihat ember luluh dan kami tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Setelah itu kami bertiga
diajak ke Balai Pemuda. Disana sedang ada bazaar dan Pak Amdo punya
stan. Ia menjajakan kaos dan tas lukis yang bergaya etnik karyanya.
Banyak pengunjung yang tertarik kemudian membeli barang-barang produk
kreasi Pak Amdo itu. Ketika kami tanya mengapa beliau menekuni lukisan
etnik, beliau hanya menjawab,
"Jangan sampai kita meninggalkan tradisi, karena meninggalkan tradisi sama saja dengan meninggalkan keindonesiaan".
Saat itu kami bengong.
"Tahu artinya?"
"Mmmmmm...."
"Gini, kalian sering-sering saja lihat pameran; lalu lihat karyanya
pelukis-pelukis itu. Mulai dari realis, ekspresionis, impresif,
hyper-realis, abstrak, dan sebagainya, lalu cobalah berpikir sejenak dan
bertanyalah: dimana keindonesiaannya?"
"Oooo..."
"A-O-A-O sakjane ngerti ta gak??"
Kami hanya senyam-senyum saja. Sebenarnya sudah tertebak jawabannya: saat itu kami nggak ngerti.
"Awakmu ketokke kudu magang nang nggonku selama setahun....," Tukas beliau melihat kami bertiga yang cuma bisa plonga-plongo.
Beberapa hari kemudian kami diajak beliau untuk mendekor sebuah kafe di
kawasan depan Carrefour, Mayjend Sungkono, Surabaya; namun tidak lama,
karena Pak Amdo lebih ingin kami fokus melukis. Di kelas tiga ini selain
kami akan menghadapi UNAS, kami juga akan menghadapi kewajiban untuk
menyelesaikan tugas akhir siswa.
Di rumah Pak Amdo yang bergaya
etnik dan sejuk itu, aku melukis bersama kawanku Yohanes Lema dan
Hariono. Kami mencoba-coba melukis etnik, karena pajangan-pajangan
lukisan di dinding itu seolah menghipnotis kami agar kami membuat
lukisan yang setidaknya senada dengan lukisan Pak Amdo; hanya Hariono
yang keukeuh melukis Siti Nurhaliza.
Aku sempat bertanya dalam
hati, bagaimana cara untuk menciptakan karakter goresan seperti Pak
Amdo? Lalu aku memandangi lukisan beliau cukup lama, kemudian aku
beroleh ide untuk membuat lukisan ornamentik. Bagaimana jika berbagai
macam motif ornamen kubuat dalam diameter yang kecil, namun jumlahnya
banyak hingga tampak berjejal, dan dalam kepadatan tertentu
tumpukan-tumpukan motif itu akan kubuat membentuk sebuah figur. Entah
figur apa itu aku masih berpikir keras, sampai ketika secara tak sengaja
aku melihat tv yang sedang menyala di rumah Pak Amdo, menayangkan
cuplikan film kartun toystory yang diantaranya menampilkan karakter
'Slinky Dog': boneka anjing yang bisa memanjangkan diri karena bagian
tengah tubuhnya berupa lengkungan-lengkungan memanjang seperti pir.
Ah!!!!
Aku mendapat ide membuat ornamen-ornamen kecil yang membentuk figur hewan-hewan seperti Slinky Dog yang tubuhnya panjang. Hewan-hewan itu ada tiga sampai empat ekor banyaknya. Tubuhnya penuh motif ornamen.
Aku mendapat ide membuat ornamen-ornamen kecil yang membentuk figur hewan-hewan seperti Slinky Dog yang tubuhnya panjang. Hewan-hewan itu ada tiga sampai empat ekor banyaknya. Tubuhnya penuh motif ornamen.
"Lha iki rodok kenek," ucap Pak Amdo.
Nah.. maka paling tidak aku akan menekuni lukisan semacam ini untuk tugas akhir nanti..
Nah.. maka paling tidak aku akan menekuni lukisan semacam ini untuk tugas akhir nanti..
"Mbon, koen nggambar opo, Mbon?," Tanya Pak Amdo kepada Lema yang
dipanggilnya 'Ambon'. Lema saat itu sedikit banyak sudah mengerti bahasa
Jawa, walaupun masih belum lancar berbicara dalam bahasa itu.
"Apik gambarmu, Mbon!"
Lema hanya tertawa saja. Ia sedang menggarap lukisan pemandangan dekoratif.
Hariono beberapa hari ini tidak hadir ke rumah Pak Amdo. Lukisan Siti
Nurhalizanya sedikit terbengkalai. Seminggu sebelum magang usai, hariono
tiba-tiba hadir dan iapun menyelesaikan lukisannya itu.
Tiga
bulan lamanya kami mendapat banyak ilmu dan pelajaran berharga dari Pak
Amdo, hingga pada hari yang telah ditentukan, para siswa diwajibkan
untuk kembali ke sekolah seperti biasanya.
Pada hari pertama di sekolah setelah tiga bulan magang itu aku melihat kembali delapan kawan-kawanku. Rasanya kurang satu? ah, iya, Yohanes Lema! Kemana dia hari ini?
Pada hari pertama di sekolah setelah tiga bulan magang itu aku melihat kembali delapan kawan-kawanku. Rasanya kurang satu? ah, iya, Yohanes Lema! Kemana dia hari ini?
Sebelum sempat aku bertanya pada kawan-kawanku tentang
keberadaan Yohanes Lema, Mat Pa'i tiba-tiba datang sambil membawa buku
tulisnya. Ia kemudian mengeluh:
"Siang tadi Hariono kembali
mengambil buku tulisku. Ia menuliskan sesuatu di bukuku yang aku tak
paham maksudnya. Sudah tiga kali aku diginiin..."
Kawan-kawan
mengambil buku tulis itu dari tangan Mat Pa'i. Mereka membuka halaman
pertama dan terbaca tulisan tangan Hariono di buku tersebut:
'PakiPakePakuPakoPikoPukoPiku'
Mampus!
To be continued.....
No comments:
Post a Comment