![]() |
Buenos Aires by Xul Solar |
Episode 14 : Benang Tipis Pembatas Kegilaan dan Kewarasan
"Har...."
Kupanggil Hariono. Waktu itu ia sedang asyik memandangi foto Siti Nurhaliza dari kliping koran. Rupanya ia tak mendengarku.
"Haaarrrrrr!!!"
"Oh apa, Ruh?," Ia menyahuti. Hanya Pa'i dan Hariono yang memanggilku
'Guruh', sesuai nama asliku, sedangkan teman-teman lain memanggilku
'Bean'. Mereka berdua memang seperti kakak-adik, satunya limbung,
satunya bingung.
Aku berkata pada anak yang sedang duduk dihadapanku, yang sudah berusia 22 tahun ketika itu:
"Har, kamu tau nggak perasaannya Dina padamu?"
"Lho, Dina kenapa? Dina kenapa?"
"Perasaan, Har, perasaan.. aku bicara soal hati.. gini, gini,
haaa...tiiii," aku menjawabnya sambil menekuk jari-jariku, membentuk
'love'.
"Hati? Hati itu katanya dibawahnya jantung, Ruh!"
"Itu hati liver, Har.. semua juga tahu.. Oalah.. cinta, Har, cinta.. Dina itu sebenarnya cinta sama kamu..,"
"Lho, iya ta Ruh?"
"Serius! Kamu harus cinta juga sama dia, Har! Nanti kalo lagi diluar, kamu harus segera menyatakan perasaanmu!"
"Oh iya, Ruh, iya.. aku juga cinta sama Dina, Ruh!"
"Nah!"
Apa yang kusarankan pada Hariono benar-benar dilakukan olehnya. Siang
itu seorang anak yang bertempat tinggal di Kalibokor, Surabaya,
menyatakan cintanya pada Dina. Tentu saja Dina tak menghiraukannya, dan
aku dengar, Dina balik bertanya padanya,
"Kamu ngomong kayak gini disuruh siapa, Har?"
"Disuruh sama Guruh," begitu ucap Hariono. Lugu.
Aku tertawa keras. Dina menghampiriku dan memukuliku dengan buku
tulisnya. Aku tak berhenti tertawa karena puas bisa mengerjai dua anak
itu. Mungkin beberapa tahun kedepan kisah itu akan memberi kenangan
tersendiri pada Dina, bahwa akhirnya ia pernah 'ditembak' oleh teman
sekelas. Hehehee...
Tidak berapa lama aku mendengar kabar dari seorang kawan bahwa Yoppy
'Semprong' si Kumal itu mengalami kecelakaan motor di daerah Banyuurip.
Saat kecelakaan, katanya Semprong sempat bangkit berdiri dengan gagah
berani sebelum akhirnya tersungkur sambil memegangi kaki. Ia mengalami
retak tulang kaki akibat kecelakaan itu.
Aku melihatnya terbaring di rumahnya dan sebelah kakinya diperban. Disampingnya diletakkan sebuah kruk untuk membantunya berjalan. Sambil berbaring, ia bercerita bahwa sehari sebelum kecelakaan, ia bermimpi melihat dirinya sendiri sedang memandikan motornya dengan air kembang tujuh rupa.
"Mungkin mimpi
itu jadi petunjuk atas kejadian kecelakaan ini.. Dan setelah peristiwa
ini, Aku sempat menelepon Dewi Aditya, siswi SMA Sejahtera itu dan
mengabarkan bahwa aku kecelakaan.. tapi dia tidak begitu merespon..
aduh..," begitu katanya sambil memegangi sebelah kakinya. Waduh, Prong..
Sudah dirawat oleh Ibu dan Ayahnya, dikunjungi kawan-kawannya, ternyata
hanya karena sosok gadis pujaannya yang acuh itu membuatnya masih saja
serba merasa kurang..
Selesai mengunjungi Semprong, akhirnya aku,
Tompel, Pa'i dan beberapa kawan lain melakukan perjalanan pulang,
melewati jalan memutar arah Mayjend Sungkono, Surabaya. Beberapa meter
setelah gedung TVRI, ada pemeriksaan polisi. Tompel terlihat gemetaran
karena ia tak punya SIM.
"Yoopo iki? Yoopo iki?"
"Yowes ditilang yo ditilang," kata Pa'i dengan cueknya.
Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Tompel dapat ide untuk mendorong
motornya ke arah pemeriksaan polisi, seolah motornya itu sedang mogok.
Motornya itu didorong sampai pada rombongan polisi yang sedang
melakukan pemeriksaan surat-surat. Salah satu polisi melihat Tompel yang
berlagak kelelahan sambil mendorong motornya.
"Kenapa motornya, mas? Mogok, ya?," tanya Polisi itu.
"Iya, Pak"
"Aduuhh kasihaaann.. sini, coba saya lihat," ucap Polisi itu sambil
meminggirkan motor Tompel, kemudian menstarternya dengan satu hentakan
kaki, dan...
"Bruuuummmmmm..."
Suara sepeda motor Tompel
berbunyi. Motornya bisa berfungsi dengan baik. Tompel ketahuan
bohongnya. Pak Polisi itu senyam-senyum sambil menepuk bahu Tompel...
"Oalah le, le... Polisi kok mbok bujukki..."
Sebuah kertas merah diterima oleh Tompel saat itu. Kertas tanda rasa
sayang aparat terkait keselamatan lalu-lintas pengendara sepeda motor.
Kertas tilang.
Itulah beberapa kisah tentang keseruan kami semasa
menjalani sekolah di SMKN 11 (SMSR). Masa tiga tahun itu begitu penuh
warna; ada kegembiraan, ada kesedihan, ada kebimbangan, ada keceriaan
dan berbagai peristiwa silih berganti melukis perjalanan kami.
---
Aku bisa berenang, dan setidaknya hal itu patut kusyukuri karena jika
aku tidak bisa berenang, maka anak itu hanya akan tinggal nama karena
tenggelam.
Ceritanya, suatu hari Mat Pa'i membuat Tompel
bermusuhan dengan Arif Catur, anak Grafis. Permusuhan yang aku cukup
bingung atas alasan apa.. tidak bertengkar, juga tidak berselisih paham,
tapi Pa'i sukses membuat Tompel dan Arif tak saling bertegur sapa, dan
mungkin atas sebab itulah suatu ketika Pa'i jadi kualat.
Beberapa
hari setelah Pa'i sukses membuat Tompel dan Arif bermusuhan, ia
mengajak aku dan Arif untuk berenang bersama. Saat itu kami bertiga
memutuskan untuk berenang di Kolam Renang Maspion, daerah Perumahan
Pepelegi, Sidoarjo.
Karena aku bisa berenang, aku langsung menceburkan diriku di sisi kolam sebelah selatan, sisi kolam yang paling dalam. Tak dinyana, Mat Pa'i dengan gayanya yang seperti atlet lompat indah, menceburkan dirinya juga di sisi kolam selatan itu. Aku melihat ia tercebur dalam air, kemudian sejenak menampakkan kepalanya, kemudian tenggelam lagi, lalu kepalanya tampak lagi sambil tangannya menggapai-gapai permukaan air.
Aku santai saja ketika itu sebab kukira Pa'i juga bisa berenang, hingga akhirnya para pengunjung kolam renang Maspion berteriak-teriak:
"Mas, teman sampean itu tenggelam! Tenggelam!,"
Aku terkejut bukan main. Arif Catur hanya pringisan di samping kolam,
sepertinya bingung mau berbuat apa. Mat Pa'i benar-benar tenggelam!
Akhirnya aku berenang mendekatinya, kemudian mencoba meraih rambutnya
untuk kujambak dan kubawa menuju tepian kolam. Tak disangka, saat akan
kujambak, Pa'i mengibaskan tangannya dan malah meraih lenganku. Akhirnya
aku kehilangan keseimbangan dan sempat timbul-tenggelam bersamanya.
Maka dalam satu kesempatan, aku berhasil melepas genggamannya di
lenganku dan berhasil kuraih rambutnya yang hanya beberapa helai itu.
Kujambaklah dia dan kubawa ke tepian kolam. Selamat! Iapun dinaikkan
keatas dengan dibantu oleh beberapa orang. Diatas kolam ia tampak
berkecipak-kecipak seperti ikan Mujair habis kena pancing. Sialan...
Mat Pa'i memang terkenal dengan sifatnya yang jahil. Pernah ketika
pulang dari kegiatan magang, ia mampir ke rumahku. Belum beberapa lama
di rumah, ia meraih telepon rumahku dan menelepon rumah Tompel. Tompel
saat itu sedang melakoni kewajiban magang di kelas tiga bersama Mahfud,
di sebuah perusahaan advertising di Tropodo, Sidoarjo.
"Gini ini kalau ada Tompel dan Mahfud pasti lebih seru," Begitu katanya sebelum panggilan teleponnya diangkat.
Pa'i menelepon Tompel, namun ia kecewa karena Bapaknya yang mengangkat telepon mengatakan bahwa ia belum pulang.
Tak disangka Mat Pa'i begitu kecewa karena Tompel tidak bisa hadir di rumahku, dan mendadak, ia beroleh ide jahil. Pa'i kembali mengambil telepon rumahku dan menelepon keluarga Tompel.
Tak disangka Mat Pa'i begitu kecewa karena Tompel tidak bisa hadir di rumahku, dan mendadak, ia beroleh ide jahil. Pa'i kembali mengambil telepon rumahku dan menelepon keluarga Tompel.
"Halo..."
"Halo, pak.. ini saya Pa'i yang tadi sudah menelepon..."
"Iya mas Pa'i.. kan tadi sudah saya bilang kalau Bagus Tompel belum
pulang ke rumah. Sebenarnya ada perlu apa kok sepertinya sangat
penting?"
"Begini, Pak, Tompel itu punya hutang pada saya, dan
dia sampai sekarang belum melunasinya. Jadi dia saya tunggu di rumah
Bean hari ini juga, Pak,"
Pa'i menutup teleponnya. Aku
terbengong. suasana menjadi hening sesaat, sepertinya ini bisa berubah
jadi gawat... Anak itu jahilnya agak keterlaluan.
Karena Tompel
tak kunjung datang, Pa'i pamitan pulang dengan kesal. Aku sendirian di
rumah dan merasa lapar, kemudian aku mengambil sepeda motorku untuk
membeli gorengan di daerah Jalan Jatisari Besar, Medaeng. Tak disangka
baru beberapa meter memasuki Jalan Jatisari, aku melihat Tompel memakai
kaus kutang bersama Mahfud, sedang duduk di pinggir kali Medaeng. Tompel
melihatku lewat kemudian memanggilku. Aku menghampirinya.
"Pa'i endi, Bean?? Pa'i endi???," Tompel menatapku dengan marah.
"Wes moleh arekke, Pel. Onok opo?"
"Bapakku dikibuli sama Pa'i!!! Katanya aku punya hutang sekian rupiah
dan aku belum membayarnya!! Padahal selama hidup aku nggak pernah punya
utang!!," ungkap Tompel dengan ekspresi geram.
Aku memegang
jidatku, sambil tentu saja tak berhenti tertawa. Rupanya benar
firasatku, kejahilan Pa'i berakibat serius: Tompel diusir dari rumahnya
sendiri.
Ceritanya, ketika Bapak Tompel selesai ditelepon Pa'i,
ia menunggu anak bungsunya itu pulang sambil berdiri di depan pintu.
Ketika melihat Tompel datang bersama Mahfud, beliau langsung menghardik
anaknya itu. Tompel kaget.
"Bapak selama ini nggak pernah mengajari kamu hutang!! Kenapa kamu sampai punya hutang sama temanmu?!!!," Bentak Bapaknya.
"Lhoh, lhoh, kapan aku punya hutang?? Bapak dengar kabar kalau aku punya hutang dari siapa??," kata Tompel.
"Dari temanmu yang namanya Pa'i! Pergi kamu! Bapak nggak seneng punya anak tukang hutang!!," Hardik Bapaknya.
"Pak, jangan percaya sama yang namanya Mat Pa'i!!"
Mendengar jawaban Tompel itu, Beliau malah masuk ke rumah dan keluar lagi sambil membawa sebilah parang.
"Pergi!! Lunasi dulu hutangmu!! Di rumah ini nggak ada tempat buat anak yang suka hutang!!!,"
Melihat Bapaknya membawa parang, Tompel lari terbirit-birit. Tompel melihat Mahfud yang sedang terbengong melihat kejadian itu.
"Fud, ayo ngaleh, Fud!! Ngaleh!! Pergi!!!," Ujar Tompel pada Mahfud.
"Aku nggak akan pergi, Pel, karena aku belum salaman sama Bapakmu," ucap Mahfud dengan gayanya yang menirukan Jet Lee.
Mahfudpun dengan konyol mendatangi Bapak Tompel yang masih membawa
parang. Ketika Mahfud mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Bapak
Tompel itu malah berteriak,
"Koen ngaliho pisan!!!!
Ngaleeeehhh!!!!," jawabnya sambil mengibas-ibaskan parangnya.
Mahfudpun
kabur, mengambil langkah seribu dan mengikuti arah lari Tompel. Akhirnya
mereka berdua terduduk sambil kelelahan, hingga bertemu denganku yang
sedang bersepeda motor hendak membeli gorengan itu. Mat Pa'i benar-benar
pembuat onar.
----
Keseruan-keseruan diluar kelas itu
juga sering terjadi di dalam kelas, seperti yang telah kuceritakan di
episode-episode sebelumnya. Tapi bagaimanapun, keseruan itulah yang
membuat kami tetap bertahan sebagai sembilan kawan di kelas tiga itu,
yang akan menghadapi UNAS, juga menghadapi tugas akhir. Keduanya
memiliki batas waktu cukup singkat, kurang delapan bulan lagi dan kami
harus memacu waktu.
Hari itu kulihat kembali kawan-kawan
sekelasku. Ternyata saat itu lagi-lagi kami hanya berdelapan. Lho,
dimana Yohanes Lema? Hari ini sudah terhitung hari ketiga dia bolos
sekolah. Kemana dia?
To be continued....
No comments:
Post a Comment