Wednesday, December 19, 2018

Benang Tipis Pembatas Kegilaan dan Kewarasan : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 14)

Buenos Aires by Xul Solar


Episode 14 : Benang Tipis Pembatas Kegilaan dan Kewarasan
 
"Har...."

Kupanggil Hariono. Waktu itu ia sedang asyik memandangi foto Siti Nurhaliza dari kliping koran. Rupanya ia tak mendengarku.

"Haaarrrrrr!!!"

"Oh apa, Ruh?," Ia menyahuti. Hanya Pa'i dan Hariono yang memanggilku 'Guruh', sesuai nama asliku, sedangkan teman-teman lain memanggilku 'Bean'. Mereka berdua memang seperti kakak-adik, satunya limbung, satunya bingung.

Aku berkata pada anak yang sedang duduk dihadapanku, yang sudah berusia 22 tahun ketika itu:

"Har, kamu tau nggak perasaannya Dina padamu?"

"Lho, Dina kenapa? Dina kenapa?"

"Perasaan, Har, perasaan.. aku bicara soal hati.. gini, gini, haaa...tiiii," aku menjawabnya sambil menekuk jari-jariku, membentuk 'love'.

"Hati? Hati itu katanya dibawahnya jantung, Ruh!"

"Itu hati liver, Har.. semua juga tahu.. Oalah.. cinta, Har, cinta.. Dina itu sebenarnya cinta sama kamu..," 

"Lho, iya ta Ruh?"

"Serius! Kamu harus cinta juga sama dia, Har! Nanti kalo lagi diluar, kamu harus segera menyatakan perasaanmu!"

"Oh iya, Ruh, iya.. aku juga cinta sama Dina, Ruh!"

"Nah!"

Apa yang kusarankan pada Hariono benar-benar dilakukan olehnya. Siang itu seorang anak yang bertempat tinggal di Kalibokor, Surabaya, menyatakan cintanya pada Dina. Tentu saja Dina tak menghiraukannya, dan aku dengar, Dina balik bertanya padanya,

"Kamu ngomong kayak gini disuruh siapa, Har?"

"Disuruh sama Guruh," begitu ucap Hariono. Lugu.

Aku tertawa keras. Dina menghampiriku dan memukuliku dengan buku tulisnya. Aku tak berhenti tertawa karena puas bisa mengerjai dua anak itu. Mungkin beberapa tahun kedepan kisah itu akan memberi kenangan tersendiri pada Dina, bahwa akhirnya ia pernah 'ditembak' oleh teman sekelas. Hehehee...

Tidak berapa lama aku mendengar kabar dari seorang kawan bahwa Yoppy 'Semprong' si Kumal itu mengalami kecelakaan motor di daerah Banyuurip. Saat kecelakaan, katanya Semprong sempat bangkit berdiri dengan gagah berani sebelum akhirnya tersungkur sambil memegangi kaki. Ia mengalami retak tulang kaki akibat kecelakaan itu.

Aku melihatnya terbaring di rumahnya dan sebelah kakinya diperban. Disampingnya diletakkan sebuah kruk untuk membantunya berjalan. Sambil berbaring, ia bercerita bahwa sehari sebelum kecelakaan, ia bermimpi melihat dirinya sendiri sedang memandikan motornya dengan air kembang tujuh rupa.

"Mungkin mimpi itu jadi petunjuk atas kejadian kecelakaan ini.. Dan setelah peristiwa ini, Aku sempat menelepon Dewi Aditya, siswi SMA Sejahtera itu dan mengabarkan bahwa aku kecelakaan.. tapi dia tidak begitu merespon.. aduh..," begitu katanya sambil memegangi sebelah kakinya. Waduh, Prong.. Sudah dirawat oleh Ibu dan Ayahnya, dikunjungi kawan-kawannya, ternyata hanya karena sosok gadis pujaannya yang acuh itu membuatnya masih saja serba merasa kurang..

Selesai mengunjungi Semprong, akhirnya aku, Tompel, Pa'i dan beberapa kawan lain melakukan perjalanan pulang, melewati jalan memutar arah Mayjend Sungkono, Surabaya. Beberapa meter setelah gedung TVRI, ada pemeriksaan polisi. Tompel terlihat gemetaran karena ia tak punya SIM.

"Yoopo iki? Yoopo iki?"

"Yowes ditilang yo ditilang," kata Pa'i dengan cueknya.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Tompel dapat ide untuk mendorong motornya ke arah pemeriksaan polisi, seolah motornya itu sedang mogok.
Motornya itu didorong sampai pada rombongan polisi yang sedang melakukan pemeriksaan surat-surat. Salah satu polisi melihat Tompel yang berlagak kelelahan sambil mendorong motornya.

"Kenapa motornya, mas? Mogok, ya?," tanya Polisi itu.

"Iya, Pak"

"Aduuhh kasihaaann.. sini, coba saya lihat," ucap Polisi itu sambil meminggirkan motor Tompel, kemudian menstarternya dengan satu hentakan kaki, dan...

"Bruuuummmmmm..."

Suara sepeda motor Tompel berbunyi. Motornya bisa berfungsi dengan baik. Tompel ketahuan bohongnya. Pak Polisi itu senyam-senyum sambil menepuk bahu Tompel...

"Oalah le, le... Polisi kok mbok bujukki..."

Sebuah kertas merah diterima oleh Tompel saat itu. Kertas tanda rasa sayang aparat terkait keselamatan lalu-lintas pengendara sepeda motor. Kertas tilang.

Itulah beberapa kisah tentang keseruan kami semasa menjalani sekolah di SMKN 11 (SMSR). Masa tiga tahun itu begitu penuh warna; ada kegembiraan, ada kesedihan, ada kebimbangan, ada keceriaan dan berbagai peristiwa silih berganti melukis perjalanan kami.

---

Aku bisa berenang, dan setidaknya hal itu patut kusyukuri karena jika aku tidak bisa berenang, maka anak itu hanya akan tinggal nama karena tenggelam.

Ceritanya, suatu hari Mat Pa'i membuat Tompel bermusuhan dengan Arif Catur, anak Grafis. Permusuhan yang aku cukup bingung atas alasan apa.. tidak bertengkar, juga tidak berselisih paham, tapi Pa'i sukses membuat Tompel dan Arif tak saling bertegur sapa, dan mungkin atas sebab itulah suatu ketika Pa'i jadi kualat.

Beberapa hari setelah Pa'i sukses membuat Tompel dan Arif bermusuhan, ia mengajak aku dan Arif untuk berenang bersama. Saat itu kami bertiga memutuskan untuk berenang di Kolam Renang Maspion, daerah Perumahan Pepelegi, Sidoarjo. 

Karena aku bisa berenang, aku langsung menceburkan diriku di sisi kolam sebelah selatan, sisi kolam yang paling dalam. Tak dinyana, Mat Pa'i dengan gayanya yang seperti atlet lompat indah, menceburkan dirinya juga di sisi kolam selatan itu. Aku melihat ia tercebur dalam air, kemudian sejenak menampakkan kepalanya, kemudian tenggelam lagi, lalu kepalanya tampak lagi sambil tangannya menggapai-gapai permukaan air.
Aku santai saja ketika itu sebab kukira Pa'i juga bisa berenang, hingga akhirnya para pengunjung kolam renang Maspion berteriak-teriak:

"Mas, teman sampean itu tenggelam! Tenggelam!,"

Aku terkejut bukan main. Arif Catur hanya pringisan di samping kolam, sepertinya bingung mau berbuat apa. Mat Pa'i benar-benar tenggelam!

Akhirnya aku berenang mendekatinya, kemudian mencoba meraih rambutnya untuk kujambak dan kubawa menuju tepian kolam. Tak disangka, saat akan kujambak, Pa'i mengibaskan tangannya dan malah meraih lenganku. Akhirnya aku kehilangan keseimbangan dan sempat timbul-tenggelam bersamanya. Maka dalam satu kesempatan, aku berhasil melepas genggamannya di lenganku dan berhasil kuraih rambutnya yang hanya beberapa helai itu. Kujambaklah dia dan kubawa ke tepian kolam. Selamat! Iapun dinaikkan keatas dengan dibantu oleh beberapa orang. Diatas kolam ia tampak berkecipak-kecipak seperti ikan Mujair habis kena pancing. Sialan...

Mat Pa'i memang terkenal dengan sifatnya yang jahil. Pernah ketika pulang dari kegiatan magang, ia mampir ke rumahku. Belum beberapa lama di rumah, ia meraih telepon rumahku dan menelepon rumah Tompel. Tompel saat itu sedang melakoni kewajiban magang di kelas tiga bersama Mahfud, di sebuah perusahaan advertising di Tropodo, Sidoarjo.

"Gini ini kalau ada Tompel dan Mahfud pasti lebih seru," Begitu katanya sebelum panggilan teleponnya diangkat.

Pa'i menelepon Tompel, namun ia kecewa karena Bapaknya yang mengangkat telepon mengatakan bahwa ia belum pulang.
Tak disangka Mat Pa'i begitu kecewa karena Tompel tidak bisa hadir di rumahku, dan mendadak, ia beroleh ide jahil. Pa'i kembali mengambil telepon rumahku dan menelepon keluarga Tompel.

"Halo..."

"Halo, pak.. ini saya Pa'i yang tadi sudah menelepon..."

"Iya mas Pa'i.. kan tadi sudah saya bilang kalau Bagus Tompel belum pulang ke rumah. Sebenarnya ada perlu apa kok sepertinya sangat penting?"

"Begini, Pak, Tompel itu punya hutang pada saya, dan dia sampai sekarang belum melunasinya. Jadi dia saya tunggu di rumah Bean hari ini juga, Pak,"

Pa'i menutup teleponnya. Aku terbengong. suasana menjadi hening sesaat, sepertinya ini bisa berubah jadi gawat... Anak itu jahilnya agak keterlaluan.

Karena Tompel tak kunjung datang, Pa'i pamitan pulang dengan kesal. Aku sendirian di rumah dan merasa lapar, kemudian aku mengambil sepeda motorku untuk membeli gorengan di daerah Jalan Jatisari Besar, Medaeng. Tak disangka baru beberapa meter memasuki Jalan Jatisari, aku melihat Tompel memakai kaus kutang bersama Mahfud, sedang duduk di pinggir kali Medaeng. Tompel melihatku lewat kemudian memanggilku. Aku menghampirinya.

"Pa'i endi, Bean?? Pa'i endi???," Tompel menatapku dengan marah.

"Wes moleh arekke, Pel. Onok opo?"

"Bapakku dikibuli sama Pa'i!!! Katanya aku punya hutang sekian rupiah dan aku belum membayarnya!! Padahal selama hidup aku nggak pernah punya utang!!," ungkap Tompel dengan ekspresi geram.

Aku memegang jidatku, sambil tentu saja tak berhenti tertawa. Rupanya benar firasatku, kejahilan Pa'i berakibat serius: Tompel diusir dari rumahnya sendiri.

Ceritanya, ketika Bapak Tompel selesai ditelepon Pa'i, ia menunggu anak bungsunya itu pulang sambil berdiri di depan pintu. Ketika melihat Tompel datang bersama Mahfud, beliau langsung menghardik anaknya itu. Tompel kaget.

"Bapak selama ini nggak pernah mengajari kamu hutang!! Kenapa kamu sampai punya hutang sama temanmu?!!!," Bentak Bapaknya.

"Lhoh, lhoh, kapan aku punya hutang?? Bapak dengar kabar kalau aku punya hutang dari siapa??," kata Tompel.

"Dari temanmu yang namanya Pa'i! Pergi kamu! Bapak nggak seneng punya anak tukang hutang!!," Hardik Bapaknya.

"Pak, jangan percaya sama yang namanya Mat Pa'i!!"

Mendengar jawaban Tompel itu, Beliau malah masuk ke rumah dan keluar lagi sambil membawa sebilah parang.

"Pergi!! Lunasi dulu hutangmu!! Di rumah ini nggak ada tempat buat anak yang suka hutang!!!,"

Melihat Bapaknya membawa parang, Tompel lari terbirit-birit. Tompel melihat Mahfud yang sedang terbengong melihat kejadian itu.

"Fud, ayo ngaleh, Fud!! Ngaleh!! Pergi!!!," Ujar Tompel pada Mahfud.

"Aku nggak akan pergi, Pel, karena aku belum salaman sama Bapakmu," ucap Mahfud dengan gayanya yang menirukan Jet Lee.

Mahfudpun dengan konyol mendatangi Bapak Tompel yang masih membawa parang. Ketika Mahfud mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Bapak Tompel itu malah berteriak,

"Koen ngaliho pisan!!!! Ngaleeeehhh!!!!," jawabnya sambil mengibas-ibaskan parangnya. 

Mahfudpun kabur, mengambil langkah seribu dan mengikuti arah lari Tompel. Akhirnya mereka berdua terduduk sambil kelelahan, hingga bertemu denganku yang sedang bersepeda motor hendak membeli gorengan itu. Mat Pa'i benar-benar pembuat onar.

----

Keseruan-keseruan diluar kelas itu juga sering terjadi di dalam kelas, seperti yang telah kuceritakan di episode-episode sebelumnya. Tapi bagaimanapun, keseruan itulah yang membuat kami tetap bertahan sebagai sembilan kawan di kelas tiga itu, yang akan menghadapi UNAS, juga menghadapi tugas akhir. Keduanya memiliki batas waktu cukup singkat, kurang delapan bulan lagi dan kami harus memacu waktu.

Hari itu kulihat kembali kawan-kawan sekelasku. Ternyata saat itu lagi-lagi kami hanya berdelapan. Lho, dimana Yohanes Lema? Hari ini sudah terhitung hari ketiga dia bolos sekolah. Kemana dia?



To be continued....

No comments:

Post a Comment