![]() |
Mimpi si Gareng #2 by M. Khusnul Bahri |
Episode 7 : R.O.O.G
Sudah beberapa bulan sekolah di SMSR
dan kami mungkin, setidaknya walau sedikit, menunjukkan perubahan.
Kesabaran para guru lukis juga sangat berpengaruh dalam membimbing kami.
Termasuk aku. Motivasi dari mereka membuatku mengatur jadwal, paling
tidak satu jam sehari kuluangkan waktu untuk menggambar dan membuat
sketsa. Indikasinya bisa dilihat dari Bu Ellys yang beberapa hari ini
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika melihat gambarku. "Lumayan wes,"
ujarnya. Bu Ellys cukup inspiratif bagiku. Dengan rambut pendek dan
postur sedikit gemuk, Beliau memang tampak imut, apalagi saat sedang
memuji. seimut tokoh kartun Dora. Jika Dora menyediakan banyak peta bagi
siapa saja yang tersesat, maka Bu Ellys menunjukkan banyak cara bagi
siswa yang kurang berbakat.
Begitu juga teman-teman lain, Memang lukisan mereka semakin bagus, tapi berbanding terbalik dengan
pikiran mereka yang semakin kacau. Karena kekacauan berpikir itulah yang membuat kami cukup sering membuat kegiatan-kegiatan
dan kelakuan-kelakuan yang jauh dari akal sehat.
Mahfud semakin
sering memamerkan jurus kungfu, dan menemukan partnernya, anak grafis
bernama Krisna yang obsesif terhadap Gundam, sehingga mereka berdua
kerap sama-sama terlihat saling memamerkan jurus kungfu meski mereka
sendiri masih dengan keras berpikir tentang faedahnya.
Semprong
keriting kumal itu sepertinya sedikit menaruh hati pada Debby, anak
tekstil, dan tidak lama, ia jatuh hati pada seorang gadis model koran
Jawa Pos, siswi SMA Sejahtera, Surabaya. Namun Semprong diusianya saat
itu seperti tak memiliki cara jitu soal menggaet lawan jenis. Perasaan cinta membuatnya linglung, sedang apa yang harus dilakukan
membuatnya bingung. Ia terlihat emosional seperti badak bercula satu
yang sedang memasuki musim kawin.
Tompel seperti biasa selalu
bertingkah konyol dan mencela semua orang. Dalam pikirannya, dunia
seisinya adalah sasaran empuk untuk dihina, tapi sebaliknya, dunia
seisinya tak pernah menanggapi orang gila.
Imam Machmudi masih
tampil sebagai lelaki pesolek. Ia kerap memasang bandana di kepalanya,
sering bercerita tentang dirinya sendiri, dan tak begitu peduli walau
teman-temannya tak pernah menanggapi.
Paulus yang akrab dengan
musik-musik keras, tiba-tiba saja mendadak religius dan menggemari
musik-musik rohani gereja. Ia pernah menulis di bukunya tentang siapa
saja gitaris, basis, vokalis dan drummer idola, namun nama-nama itu tak
pernah kukenal, dan ternyata nama-nama itu adalah nama para musisi lagu
rohani.
Cungkring tak terlihat lagi. Ia rupanya sudah mengundurkan diri dari SMSR. Atas alasan apa aku lupa.
Wahyu, pindah jurusan Grafis.
Kriswanto, anak asal Mojokerto itu tiba-tiba saja memanggil semua
kawannya dengan sebutan 'Paidi'. Entah siapa Paidi itu, mungkin Paidi
adalah sosok yang berjasa memiringkan otaknya.
Mat Pa'i setiap
hari cuma cengar-cengir. Jika ada kawan yang bertikai, ia mengambil
peran sebagai pengadu domba yang ulung, dan kadang-kadang kami bingung
ia sebenarnya memihak siapa.
Dina masih saja murung dan
semaputan, walau ia sudah mulai terbuka dengan siapa saja. Ia juga
mendapat banyak kawan sesama perempuan dari anak-anak jurusan tekstil.
Kami cukup bersyukur karena Dina akhirnya punya banyak kawan perempuan,
sebab selama ini kami khawatir, pergaulannya dengan lelaki-lelaki tidak
jelas di kelas seni rupa bisa berdampak pada kestabilan jiwanya. Kami
juga tidak mau bila ia sampai menjadi Tompel kedua.
Yohanes Lema
masih belajar cara misuh ala Surabaya. Kebiasaannya yang baru, ia selalu
meminta uang sebesar limaratus rupiah kepada para kawannya. Entah apa
makna uang limaratus itu baginya, karena ia tak pernah meminta lebih
dari limaratus rupiah. Sebenarnya ia adalah anak orang berkecukupan. Ia
tinggal di daerah perumahan Deltasari, Sidoarjo. Saudara-saudaranya juga
sekolah di sekolah-sekolah ternama di Surabaya, namun entah mengapa
Yohanes Lema ini setiap hari selalu pergi sekolah jalan kaki, atau naik
sepeda pancal yang sudah tidak karuan bentuknya. Padahal, adik-adiknya
yang lain difasilitasi sepeda motor oleh kedua orangtuanya.
Hariono masih tetap seperti Hariono. Suatu ketika Tompel menemukan
kamera saku di tasnya, dan kemudian menggunakannya untuk memfoto kami
semua hingga roll filmnya habis. Esoknya, hasil foto sudah dibawa oleh
Hariono. Lengkap. Biaya cuci-cetak semua ditanggung olehnya.
Kami, sepuluh anak dalam kelas senirupa itu mendengar bahwa kakak kelas
membuat sebuah grup bernama OWA (Organisasi Wong Aneh). Maka kamipun
membuat sebuah komunitas bernama R.O.O.G (Republik Of Onani Gank). Bukan
onani secara harfiah, melainkan onani berpikir. Kami berpikir untuk
membuat komunitas tapi kami tak peduli tentang manfaat. Entah eksis atau
besok bubar, kami juga tak peduli. Tak jelas pula kegiatannya, tidak
jelas pula apa yang harus dilakukan oleh anggota komunitas selain hanya
jalan-jalan mengelilingi sekolah sambil mengenalkan kepada khalayak
ramai tentang keberadaan komunitas kami dengan tujuan agar mereka bisa
segera melupakannya. Sebulan terbentuk, kami juga mulai lupa bahwa kami
pernah membentuk komunitas itu.
Suatu ketika kami pernah
menjadikan ruang sempit di pojok lantai dua, sebelah ruang kelas sebagai
tempat bermain sepakbola. Saat itu kami sebetulnya sadar bahwa sedang
ada pelajaran Wawasan Seni dari Pak Made Sukarta; akibatnya, Pak Made
yang terkenal sabar itu sampai keluar kelas dengan marah. Beliau membawa
pisau cutter, mengambil bola plastik yang kami mainkan dan menyobeknya
menjadi dua.
Dari cerita-cerita kakak kelas, hanya angkatan kami yang sampai membuat beliau yang terkenal sabar itu menjadi marah. Kamipun sangat menyesal.
Kami bersepakat untuk tidak mengulangi perbuatan semacam itu dan ingin mendatangi Pak Made untuk meminta maaf. Beberapa dari kami berinisiatif menghampiri Pak Made yang sedang membaca buku di ruang guru dan meminta maaf.
"Jangan diulangi lagi," pesannya.
Dari cerita-cerita kakak kelas, hanya angkatan kami yang sampai membuat beliau yang terkenal sabar itu menjadi marah. Kamipun sangat menyesal.
Kami bersepakat untuk tidak mengulangi perbuatan semacam itu dan ingin mendatangi Pak Made untuk meminta maaf. Beberapa dari kami berinisiatif menghampiri Pak Made yang sedang membaca buku di ruang guru dan meminta maaf.
"Jangan diulangi lagi," pesannya.
"Hey, kami sudah meminta maaf, kamu belum!" Ucapku pada pada lima anak lain: Hariono, Yohanes, Paulus, Mat Pa'i dan Kriswanto.
"Kalian sebaiknya kesana dan meminta maaf"
"Kalian sebaiknya kesana dan meminta maaf"
Yohanes tampak diam dan berpikir sejenak. Lalu berucap:
"Sudah, biar saya saja yang berangkat"
"Maksudnya kamu yang mewakili?"
"Begini, beri saya limaratus rupiah, kalian semua tetap disini, saya yang kesana"
"Maksudnya kamu yang mewakili?"
"Begini, beri saya limaratus rupiah, kalian semua tetap disini, saya yang kesana"
Kamipun memukuli kepalanya dan menindih tubuhnya beramai-ramai.
No comments:
Post a Comment