![]() |
Pak Farid Ma'ruf |
Episode 9: Pak Farid dan Roller Coaster
Rombongan itu lewat... Kami teriak:
"Woooaaaa!!!"
"Woooaaa!!! Eeehh... Woooaa.. eeeh..."
"Woooaaa!!! Eeehh... Woooaa.. eeeh..."
Rombongan itu berjalan dengan acuh. Kami menyelinap lewat belakang ruang kelas, mendahului rombongan itu tanpa sepengetahuan mereka, lalu sembunyi di balik tembok. Ketika mereka sudah dekat, kami kembali teriak:
"Ooowwaaaa!!!!!"
"Ooowwaaaa!!! Eeehh... Owaa ..eeeh..."
Kembali mereka berjalan dengan acuh. Kami kembali menyelinap dan kembali menunggu mereka lewat. Saat mereka lewat lagi, kami teriak lagi:
"Tiaraaapppp!!!!"
"Tiiaaarraappp...eee...."
Rombongan itu serempak tiarap.
Apakah anda ingin merasakan sensasi jadi komandan kompi yang dapat memerintah serdadunya?
Bagi kami caranya mudah. Cukup berdiri di depan rombongan anak tekstil
yang sedang berjalan dan meneriaki mereka dengan perintah 'hormat',
'tiarap', 'lari' dan sebagainya, maka rombongan anak tekstil yang
semuanya latah itu pasti menaati semua perintah kami.
Itulah kegiatan disela istirahat atau saat kelas sedang kosong. Sebuah kegiatan yang tidak bermanfaat sama sekali namun dapat memberikan kepuasan jasmani dan rohani ketika kami bisa sejenak merasakan sensasi menjadi komandan kompi. Maklum, waktu itu petaka smartphone belum memaku ruang gerak, ruang bicara dan ruang berpikir; jadi, hiburan kami banyak diisi oleh kegiatan bersosialisasi sambil terkadang menjahili.
Itulah kegiatan disela istirahat atau saat kelas sedang kosong. Sebuah kegiatan yang tidak bermanfaat sama sekali namun dapat memberikan kepuasan jasmani dan rohani ketika kami bisa sejenak merasakan sensasi menjadi komandan kompi. Maklum, waktu itu petaka smartphone belum memaku ruang gerak, ruang bicara dan ruang berpikir; jadi, hiburan kami banyak diisi oleh kegiatan bersosialisasi sambil terkadang menjahili.
"Ayo masuk, rek," salah seorang guru mengingatkan kami untuk masuk kelas. Oh iya, hari ini beliau mengajar di kelas kami...
Pak Guru itu bernama Bapak Farid Ma'ruf.
Beliau sepertinya ada darah timur tengah. Hidungnya mancung, alisnya
tebal, raut wajahnya tegas. Dari hem lengan pendeknya kulihat bulu-bulu
halus di kedua lengannya. Dari kerah bajunya, tampak pula bulu-bulu
dadanya. Aku yakin Pak Farid ini ketika muda pasti lekat dengan tipikal
cowok macho; dan jika saja badan Pak Farid sekekar Pak Jito guru
olahraga atau Pak Taufiq guru T.I, bisa-bisa para gadis SMSR mimisan
setiap hari.
Karakter utama perawakan Pak Farid adalah kumis.
Kumis beliau serupa kumis Pak Khusnul, namun lebih tebal. Entah siapa
yang lebih dulu memelopori model kumis ini di SMSR; dan mungkin karena
persamaan kumis diantara keduanya, membuat Pak Farid dan Pak Khusnul
kerap kami temui saling berselisih paham, namun disisi lain mereka
berkawan akrab.
Pernah suatu kali Pak Khusnul menyuruh kami untuk
membuat gambar pemandangan alam. Gambar kami payah dan Pak Khusnulpun
geram. Beliau menumpahkan emosinya itu di papan tulis, membuat sebuah
gambar pemandangan lengkap dengan rumah, pohon dan sungai. Tujuannya
untuk memberi kami contoh gambar pemandangan yang baik.
Beberapa menit kemudian Pak Farid masuk kelas dan menanyai Pak Khusnul,
Beberapa menit kemudian Pak Farid masuk kelas dan menanyai Pak Khusnul,
"Anak-anak disuruh nggambar apa, Pak?"
"Pemandangan"
Pak Farid melihat gambar anak-anak dan kecewa. Lalu melihat gambar Pak Khusnul, tak disangka beliau juga kecewa.
"Pak Khusnul, gambar sampean di papan tulis itu dekoratif. Kalau mencontohkan gambar pemandangan, harusnya naturalis!"
"Lho, apa salahnya mencontohkan corak pemandangan dekoratif untuk anak-anak?"
"Ya nggak salah, tapi anak-anak perlu diajarkan naturalis dulu..."
Mulailah mereka berdebat... Hingga akhirnya mereka berdua keluar sejenak, meninggalkan kelas kami dan berdebat diluar. Seringkali perdebatan semacam itu berakhir, yang membuat salah satu dari mereka masuk ke kelas kami, dan satunya lagi tidak masuk kelas sambil terlihat cemberut karena mempertahankan pendapatnya.
Sudah berkali-kali kami mendengar perdebatan mereka berdua dan rasanya otak kami nggak nutut untuk mengikuti alur perdebatan kedua guru yang sudah banyak makan asam garam di dunia senirupa itu.
Namun, sekalipun mereka berdua berdebat keras, mereka tetaplah kawan baik. Seringkali kami melihat beberapa jam setelah berdebat, Pak Farid dan Pak Khusnul kembali akrab di ruang guru. Tertawa-tawa, makan bareng, bahkan mereka berdua kerap serius dalam memandangi foto lukisan di sebuah katalog pameran. Keduanya selalu lekat. Dimana ada Pak Farid, pasti ada Pak Khusnul. Begitupun ketika ada pameran senirupa diluar sekolah, mereka berdua selalu kompak mendatangi pameran tersebut. Ini satu bukti bahwa persamaan kumis dapat membawa nuansa pertemanan yang unik.
Tapi dunia senirupa memanglah dunia penuh misteri dan penuh perdebatan. Jika dalam ilmu pasti 1+1= 2, maka dalam dunia senirupa, 1+1 bisa samadengan 7, 26, 1986, dan sebagainya. Tidak ada kebenaran mutlak dan kanon dalam seni; kadangkala acuannya bersumber dari selera. Maka dari itu di sela perdebatan-perdebatan panjang, dunia senirupa selalu bergerak dinamis. Dari waktu ke waktu semakin berkembang.
Satu lagi karakter Pak
Farid, ia selalu menyertakan kata 'Huuu' ditambah dengan penekanan yang
khas ketika merespon karya siswa. Jika puas, beliau selalu memuji karya
anak tersebut dengan: "Huuuaaappiiiikkkk"; namun jika kecewa:
"Huuueeeellllleeekkkkk".
Walaupun Pak Farid tampak tegas dan terang-terangan, beliau tak pernah mengenal lelah untuk membimbing siswanya dalam menggambar. juga, Pak Farid tak pernah segan untuk meminta maaf jika komentarnya terlalu keras pada siswa, walaupun dilihat dari sisi manapun, siswa itu yang harusnya lebih dulu meminta maaf, bukannya Pak Farid.
Pernah suatu ketika Pak Farid mengajak kami
untuk menggambar tembok sekolah. Di sudut tembok sebelah studio lukis,
Pak Farid mulai mengguratkan sketsa gambarnya. Belum sempat beliau
melanjutkan, tiba-tiba beliau meninggalkan pekerjaannya sejenak karena
dipanggil Pak Khusnul. Ada keperluan mendesak di ruang guru.
Kemudian, Tompel tiba-tiba datang sambil membawa kaleng cat dan kuas.
Kemudian, Tompel tiba-tiba datang sambil membawa kaleng cat dan kuas.
"Mana tembok yang harus digambar?," Tanyanya.
Sebelum kami sempat menjawab, Tompel melihat tembok yang sudah terdapat sebuah sketsa, tapi Tompel tak tahu jika Pak Farid yang membuat sketsa itu.
"Kalian nggambar di tembok lain saja. Tembok ini bagianku!"
Tompel mencelupkan kuasnya di kaleng cat... Anak Medaeng depan kuburan itu tiba-tiba saja menutup sketsa Pak Farid dengan cat yang dibawanya itu. Lenyaplah sudah sketsa beliau. Kami memandangnya sambil ternganga.
"aku gak melok-melok, aku gak melok-melok..." Ucap Mat Pa'i sambil berlari, lalu sembunyi di kantin milik Bu Suko.
Pak Farid datang. Benarlah, beliau geram melihat sketsanya hilang. Tompel berdiri mematung sambil memegang kaleng cat dan kuas.
"Siapa yang menghapus sketsa saya?". Pak Farid masih menahan kegeramannya karena melihat sketsanya sudah tertutup oleh cat warna kuning. Kemudian beliau melirik Tompel, lalu melirik kaleng cat dan kuas yang dibawanya. Kaleng cat Tompel itu warna kuning, ujung kuas Tompel juga warna kuning....
"Kurang ajar kamu Guuuussss!!!!!!!"
Pak Farid mengambil tong sampah kecil disampingnya dan melemparnya ke arah Tompel. Tompel menghindar lalu lari terbirit-birit. Pak Farid mengejarnya. Kami terduduk sambil memegang jidat. Kurang lebih dua putaran Pak Farid dan Tompel berkejar-kejaran di belakang kami. Akhirnya, Tompel sembunyi dan Pak Farid kehilangan jejak siswa bandelnya itu. Beliaupun dengan terengah-engah kembali masuk ruang guru.
Setelah Tompel berhasil kami temukan, kami menyuruh dia menemui Pak Farid di ruang guru untuk meminta maaf. Tompel menyetujuinya. Kami temani ia melangkah sambil tertunduk. Saat itu di ruang guru Pak Farid terlihat sedang menulis sesuatu.
"Yoopo rek.. aku ndredeg.. Har, koen disik mlebuo.." ucap Tompel pada Hariono. Sudah tentu Hariono hanya plonga-plongo.
"Wong koen sing salah kok Hariono sing mbok kongkon mlebu?!!" tukas Imam.
Tompelpun dengan berat hati mulai melangkah ke ruang guru; namun sebelum sampai, Pak Farid sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, kemudian mendatangi Tompel.
Kami khawatir beliau akan menghabisi Tompel saat itu juga, namun ternyata beliau malah mengulurkan tangannya...
"Gus, sepurane aku mau emosi, Gus... Sepurane yo, nak..".
Tompelpun menyambut uluran tangan Pak Farid sambil terdiam tanpa kata-kata. Hanya mengangguk.
Kamipun heran. Harusnya Tompel yang minta maaf duluan karena jelas dia yang salah, bukannya Pak Farid yang meminta maaf duluan...
Usai kejadian itu Pak Farid kembali menggambar bersama anak-anak. Suasana jadi cair kembali seolah tidak ada yang terjadi. Mat Pa'i keluar dari persembunyiannya di kantin Bu Suko setelah semuanya terlihat normal.
Belut bernama Pa'i itu memang selalu menghindar dari situasi semacam itu.
Pernah pula Pak Farid mencontohkan sebuah tekhnik pewarnaan
kepada anak-anak. Kebetulan, yang diambilnya sebagai contoh adalah
gambar milik Dina.
"Ini harusnya gradasinya bukan begini, tapi begini...."
Pak Farid menyapukan warna pada gambar Dina.
"Nah, kalau obyek ini, harusnya warnanya seperti ini..."
Beliau kembali menyapukan warna pada gambar Dina.
Tak disangka dan tak diduga, ketika menyapukan warna ke gambar Dina untuk yang ketiga kalinya, Dina semaput...
"Lho, lho, lho..." Pak Faridpun khawatir melihat siswinya itu pingsan. Kami menggotong Dina dan menaruhnya diatas meja.
Kami memang sinting, bukannya menaruh anak semaput di UKS, kami malah menaruhnya diatas meja... Dina jadi tampak seperti hidangan makan siang yang kurang mengundang selera.
Pak Farid masuk ruang guru dan kembali datang ke kelas sambil membawa segelas air putih.
"Coba diminumkan ke Dina..."
"Anu, pak, anak ini bukan diminumkan air, begini caranya..."
Aku mengambil air itu dari tangan Pak Farid dan menyiramkannya ke muka Dina. Ia agak geragapan, lalu kembali siuman.
Saat Dina bangun sambil memicingkan mata, Pak Farid menyodorkan tangannya,
"Bapak minta maaf ya nduk sudah membuat kamu pingsan..."
Kamipun protes.
"Pak, Pak, bukan Pak Farid yang membuat Dina pingsan, tapi memang anaknya semaputan..."
Pak Farid terdiam namun tetap menggenggam tangan Dina. Kemudian Pak Farid terlihat bingung, mungkin baru kali ini ditemuinya sebuah angkatan yang bermasalah dalam pola pikir serta kesehatan mental dan fisik.
"Kalian harus mau menerima kritik. Begitupun saya, bila diantara kalian
ada yang mengkritik karya saya, dengan senang hati saya menerimanya,"
ucap Pak Farid pada suatu siang. Dibawah kerindangan pohon beringin di depan jurusan mesin, kami dikumpulkan untuk melakukan kegiatan sketsa bersama. Saat itu Pak Farid juga bercerita kalau karyanya pernah dikritik oleh alumni SMSR bernama Mas Joko Piono.
ucap Pak Farid pada suatu siang. Dibawah kerindangan pohon beringin di depan jurusan mesin, kami dikumpulkan untuk melakukan kegiatan sketsa bersama. Saat itu Pak Farid juga bercerita kalau karyanya pernah dikritik oleh alumni SMSR bernama Mas Joko Piono.
Ceritanya,
ketika menyelenggarakan pameran lukisan di sebuah gedung pameran di
Surabaya, Pak Farid menampilkan karyanya berupa sosok remaja perempuan
sedang menggendong bayi dengan kain selendang melingkar di pinggang
hingga pundaknya. 'Menggendong adik'; begitulah judul karya Pak Farid
itu.
Saat itu Mas Joko Piono datang ke ruang pameran dan melihat lukisan mantan gurunya semasa SMA itu. Ia mengajak Pak Farid berbicara.
"Pak, ngapunten, kalau boleh usul, judul karya Bapak jangan 'Menggendong Adik'.. saya rasa terlalu to the point..." kata Mas Joko Piono.
"Oiya? lalu judulnya apa?"
"Sebaiknya diberi judul 'Momong'..." Jawab Mas Joko Piono.
Pak Farid menyetujui usulan itu dan beliau merasa senang ada alumni yang memberi saran terhadap lukisannya; karena memang 'Momong' lebih bermakna luas ketimbang sekedar 'Menggendong Adik'.
Pak Farid selalu menceritakan kisah itu berulang-ulang, menegaskan bahwa ruang kelas senirupa di tangannya adalah ruang yang fleksibel, saling debat dan saling kritik tentu diperlukan demi kualitas karya siswa. Jangan segan mengkritik, juga jangan malu dikritik; namun tentu kritik haruslah disertai dengan alasan logis dan wawasan yang memadai.
Saat itu Mas Joko Piono datang ke ruang pameran dan melihat lukisan mantan gurunya semasa SMA itu. Ia mengajak Pak Farid berbicara.
"Pak, ngapunten, kalau boleh usul, judul karya Bapak jangan 'Menggendong Adik'.. saya rasa terlalu to the point..." kata Mas Joko Piono.
"Oiya? lalu judulnya apa?"
"Sebaiknya diberi judul 'Momong'..." Jawab Mas Joko Piono.
Pak Farid menyetujui usulan itu dan beliau merasa senang ada alumni yang memberi saran terhadap lukisannya; karena memang 'Momong' lebih bermakna luas ketimbang sekedar 'Menggendong Adik'.
Pak Farid selalu menceritakan kisah itu berulang-ulang, menegaskan bahwa ruang kelas senirupa di tangannya adalah ruang yang fleksibel, saling debat dan saling kritik tentu diperlukan demi kualitas karya siswa. Jangan segan mengkritik, juga jangan malu dikritik; namun tentu kritik haruslah disertai dengan alasan logis dan wawasan yang memadai.
Sepanjang
12 tahun aku sekolah dan 5 tahun kuliah, aku belum pernah menjumpai
seorang guru dengan teknik mengajar seunik Pak Farid Ma'ruf. Beliau
piawai memainkan emosinya sendiri untuk mengaduk-aduk emosi siswanya.
Awal memulai pelajaran ia tampak kalem dan santai, juga sesekali memuji.
ketika siswa mulai merasa puas, emosi Pak Farid tiba-tiba meninggi,
ditambahkan pula warna suara geram dan jengkel; maka saat itulah siswa
kehilangan kepuasannya.. Setelah para siswa tampak lemas, kembali Pak
Farid menurunkan emosinya menjadi tenang, teduh, seakan membantu kembali
para siswa untuk menemukan kepuasannya yang hilang.
Aku menyebutnya 'Emotional Roller Coaster'. Seperti naik roller coaster. Awal berangkat begitu nyaman, pada pertengahan kita akan dijungkirbalikkan oleh gerakan kereta yang menukik, menanjak, miring kanan, miring kiri, kemudian berbalik menantang gravitasi, hingga penumpangnya menahan nafas sampai lemas, lalu kemudian secara perlahan penumpangnya dibuat nyaman kembali ketika wahana itu mendekati terminal perhentian.
"Jadi
kalau pengen serius, harus sering lihat pameran dan banyak baca buku ya
nak.. Buku apapun harus kalian baca untuk menambah wawasan. Kalian kan
sudah dewasa, sudah pinter...."
Begitu pembukaan kalimat ketika beliau
mengadakan kelas saat anak jurusan lain sedang istirahat.
Setelah membuka percakapan dengan pelan, mendadak emosi beliau meninggi.
Setelah membuka percakapan dengan pelan, mendadak emosi beliau meninggi.
"Wawasan, rek! Wawasan! Di SMSR nggak cuma nggambar tok! Wawasan harus jalan! Jangan kayak kamu-kamu ini!! Sudah kelas dua kok wawasanmu masih kurang dan gambarmu masih...."
Pak Farid sejenak mengambil nafas.
"Huuueeeellllleeekkkkk!!!!!"
"Eee... Huueeleeek, eee... Huueeleek... Eee...."
Pak Farid seketika terkejut. Ia melirik suara yang berasal dari samping kelas kami.
Ternyata, rombongan anak-anak latah dari jurusan tekstil kebetulan sedang lewat.
Ternyata, rombongan anak-anak latah dari jurusan tekstil kebetulan sedang lewat.
No comments:
Post a Comment