Saturday, December 15, 2018

Made Sukarta : Catatan Masa Sekolah di SMSR / SMKN 11 / SMKN 12 Surabaya (Episode 8)

A Country School , Edward Lamson Henry


Episode 8 : Made Sukarta

Sebagai syarat naik kelas, kami diwajibkan membuat pameran kecil-kecilan di ruang kelas lantai satu, persis di depan ruang guru. Para siswa membuat karya-karya lukis dengan tema bebas. Dengan cat air, aku membuat gambar empat tentara Dai Nippon sedang berlari sambil memanggul senjata. Gambar itu kucontoh dari sampul LKS mata pelajaran sejarah. Karya kawan lainnya aku tidak begitu ingat, yang kuingat hanyalah karya Semprong dimana ia menggambar seekor naga yang menggeliat dengan ganas dengan semburat warna-warna cerah. Mungkin jika ada kolektor Cina datang melihatnya, pasti sudah dibelinya lukisan Semprong itu karena mengandung hoki. Lukisan naga itu inspirasinya ternyata sepele, berawal dari kegiatan jalan-jalan menyusuri lokalisasi Dolly di siang hari, dan menemukan sebuah rumah bordil bernama 'Wisma Naga Emas'. 
"Harusnya wisma naga emas ada logo naganya juga," katanya. 
Jadilah Semprong kepikiran membuat gambar naga itu dan memberinya judul 'Wisma Naga Emas'. Seharusnya judul 'naga emas' saja sudah cukup, namun pikirannya yang melenceng membuatnya menambahkan pula nama 'Wisma'. Memang kebanyakan siswa ketika itu belum bisa memadupadankan karya lukis dengan judul yang pas, atau setidaknya sastrawi.
Lalu apakah karyaku sendiri sudah kuberi judul yang pas, puitis atau melankolis? Tidak. Kegemaranku pada artis-artis sexy dan komik lendir dari Jepang membuatku menulis judul lukisanku: 'Dijajah Lagi, Yuk?'. Saat itu aku berpikir, seandainya Indonesia sampai hari itu masih dijajah oleh Jepang, maka aku bisa lebih dekat dengan Maria Ozawa dan kawan-kawannya..
Ah, walaupun hari demi hari gambar kami semakin baik, namun hari demi hari pikiran kami semakin tidak waras.

Pameran itu meski ada pujian, tapi tetap saja menuai kritik dari para guru. Bu Ruspita, guru lukis yang tinggi semampai dan cantik itu mengkritik judul dan kekurangrealisan gambarku. Bu Ellys, Pak Basuki, Pak Parman dan Pak Khusnul juga demikian. Kawan-kawan lain juga tidak lepas dari pujian dan kritikan. Di hari itu pula sosok guru yang sering kami temui di kelas dua, Pak Farid Ma'ruf, terlihat hilir-mudik keluar-masuk ruang pameran. Sepertinya beliau sedang mengamati kemampuan anak-anak yang akan dibimbingnya di kelas dua nanti. Satu lagi Guru yang hadir di ruang pameran, yang pernah kami buat marah besar, tampak mengamat-amati semua karya lukis siswa. Dengan kacamata tebalnya beliau melihat dari samping kanan ke samping kiri, atas ke bawah, sambil sesekali memegangi janggutnya yang mulus dan licin itu. Tidak ada komentar, tidak ada tanggapan, karena mungkin tidak ada yang menarik perhatian beliau. Dialah Bapak Made Sukarta, guru kami yang juga dosen STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta), Surabaya.

Episode ini mengulas banyak tentang Pak Made Sukarta. Bukanlah dimaksudkan sebagai permintaan maaf karena pernah membuat marah beliau, tetapi lebih karena pria kelahiran Bali itu memang perlu ditampilkan panjang lebar. Selain berwawasan luas, Pak Made sendiri adalah penyemangat kami. Ilmu-ilmunya tentang dunia seni memenuhi setiap ruang dalam kepala kami. Selalu terkagum, terpana sekaligus bersemangat saat beliau mengajar maupun setelahnya. Masih kurang, kami juga kerap menyempatkan diri untuk mampir ke rumahnya.

Di kelas dua ini kami tinggal bersembilan. Aku, Tompel, Mahfud, Mat Pa'i, Kriswanto, Imam Machmudi, Hariono, Dina, Yohanes dan Fatkur Hartono, seorang kakak kelas yang tidak naik kelas. Semprong kembali menuntut ilmu di kelas satu. Walaupun ia sudah ikut pameran, tapi tetap tidak naik karena kerap bolos dan tidak mau potong rambut; sedangkan Paulus mengundurkan diri dari SMSR. Oh iya, SMSR saat itu telah berubah nama menjadi SMKN 11.
Yang paling kami tunggu adalah ketika Pak Made masuk kelas dan mengajar matpel 'Ornamen'. Beliau menjelaskan dengan runtut tentang apa itu deformasi, dan stilisasi. Deformasi, kata beliau adalah pengrusakan bentuk. Beliau mencontohkan dengan gambar daun yang diberi sentuhan ornamentik, dan menjadi berubah bentuk dalam rupa gunungan wayang, daun berpedang, berkepala raksasa dan sebagainya. Untuk stilisasi, penyederhanaan bentuk, beliau juga mencontohkan gambar sebuah daun yang berbentuk garis lurus dibubuhi garis melengkung untuk membentuk badan daun itu. Begitu saja, tanpa ruas, tanpa apapun. 

Pernah kami beramai-ramai ke rumah Pak Made Sukarta. Disana kami ditunjukkan oleh beliau salah satu karyanya berupa miniatur gua dengan bentuk ornamentik yang sangat menakjubkan. Dalam dinding miniatur gua itu ditorehkannya simbol-simbol agama.

"Dalam sejarah agama-agama, gua memiliki peranan penting. Dalam lingkup semitik kita kenal Ashabul Kahfi, seven sleepers dalam agama Nasrani, juga Gua Hira tempat Nabi Muhammad menerima wahyu. dalam Hindu, Buddha dan Jainisme ada gua Ellora dan Ajanta," begitu ia memulai percakapan tentang karyanya.

"Sebentar.. sebenarnya atas dasar apa kalian ingin kemari?," Tanya beliau.

"Tentu saja meguru, Pak," jawab Kriswanto mewakili kami.

Pak Made tersenyum.

"Kalau di ruang kelas, kalian meguru pada saya. Tapi jika diluar seperti ini, kita sama-sama belajar,"

Pak Made memang begitu sederhana. Beliau melebur bersama para siswa, menganggap semua setara dan tak pernah memandang siapa.

Suatu kali ketika santai, Pak Made juga pernah menceritakan riwayat penyebutan 'guling' -benda yang menemani kita tidur- dalam masyarakat Eropa. Pak Made bercerita bahwa saat Belanda menduduki Nusantara, Belanda heran dengan benda 'guling' yang dipakai oleh orang setempat pada waktu itu. Para Belanda itu merasa aneh dan risih, karena tidur sambil memeluk benda lonjong itu dalam bayangan mereka sama saja seperti tingkah polah orang mesum. Namun, Belanda yang semakin penasaran akhirnya tertarik untuk mencoba. Mereka membawa beberapa guling dan menaruh dalam kasur mereka demi merasakan sensasi tidur bersama bantal dan guling di malam hari. Tak dinyana, tidur mereka menjadi nyenyak dan mereka merasa begitu nyaman dengan adanya guling itu.

Orang-orang Belanda membawa benda yang disebut guling itu dalam perantauannya ke berbagai negara di Eropa, termasuk Inggris. Respon mereka, terutama di Inggris, sama halnya dengan yang orang Belanda lihat ketika pertama kali menemukan penduduk Nusantara memakai guling. Risih, aneh dan terlihat porno. Oleh karena itu orang Inggris menyebut guling sebagai 'Dutch Wife' atau 'Istri orang Belanda'.

Saat itu aku bertanya dalam hati, darimana Pak Made Sukarta mendapat referensi tentang sejarah penyebutan 'guling' itu?

Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika aku kuliah di Sastra Indonesia Unair dan mendapat tugas membaca novel, aku menemukan kata-kata Pak Made dalam bagian akhir novel berjudul 'Bumi Manusia' karya novelis ternama Pramoedya Ananta Toer. Disitu apa yang ditulis oleh Pramoedya dan apa yang diceritakan Pak Made Sukarta benar-benar sama persis. Dari situ aku simpulkan bahwa Pak Made adalah seorang cendekiawan senirupa yang membaca banyak literatur. Bagi kami, ia adalah perpustakaan berjalan.

Saat itu aku sejenak merenung, kemudian bersyukur. 
Bersyukur karena aku pernah menuntut ilmu di sebuah sekolah yang dipenuhi oleh guru-guru yang luar biasa tingkat keilmuannya.



To be continued......

No comments:

Post a Comment