![]() |
A Country School , Edward Lamson Henry |
Episode 8 : Made Sukarta
Sebagai syarat naik kelas, kami
diwajibkan membuat pameran kecil-kecilan di ruang kelas lantai satu,
persis di depan ruang guru. Para siswa membuat karya-karya lukis dengan
tema bebas. Dengan cat air, aku membuat gambar empat tentara Dai Nippon
sedang berlari sambil memanggul senjata. Gambar itu kucontoh dari sampul
LKS mata pelajaran sejarah. Karya kawan lainnya aku tidak begitu ingat,
yang kuingat hanyalah karya Semprong dimana ia menggambar seekor naga
yang menggeliat dengan ganas dengan semburat warna-warna cerah. Mungkin
jika ada kolektor Cina datang melihatnya, pasti sudah dibelinya lukisan
Semprong itu karena mengandung hoki. Lukisan naga itu inspirasinya
ternyata sepele, berawal dari kegiatan jalan-jalan menyusuri lokalisasi
Dolly di siang hari, dan menemukan sebuah rumah bordil bernama 'Wisma
Naga Emas'.
"Harusnya wisma naga emas ada logo naganya juga," katanya.
Jadilah Semprong kepikiran membuat gambar naga itu dan memberinya judul
'Wisma Naga Emas'. Seharusnya judul 'naga emas' saja sudah cukup, namun
pikirannya yang melenceng membuatnya menambahkan pula nama 'Wisma'.
Memang kebanyakan siswa ketika itu belum bisa memadupadankan karya lukis
dengan judul yang pas, atau setidaknya sastrawi.
Lalu apakah karyaku sendiri sudah kuberi judul yang pas, puitis atau melankolis? Tidak. Kegemaranku pada artis-artis sexy dan komik lendir dari Jepang membuatku menulis judul lukisanku: 'Dijajah Lagi, Yuk?'. Saat itu aku berpikir, seandainya Indonesia sampai hari itu masih dijajah oleh Jepang, maka aku bisa lebih dekat dengan Maria Ozawa dan kawan-kawannya..
Ah, walaupun hari demi hari gambar kami semakin baik, namun hari demi hari pikiran kami semakin tidak waras.
Lalu apakah karyaku sendiri sudah kuberi judul yang pas, puitis atau melankolis? Tidak. Kegemaranku pada artis-artis sexy dan komik lendir dari Jepang membuatku menulis judul lukisanku: 'Dijajah Lagi, Yuk?'. Saat itu aku berpikir, seandainya Indonesia sampai hari itu masih dijajah oleh Jepang, maka aku bisa lebih dekat dengan Maria Ozawa dan kawan-kawannya..
Ah, walaupun hari demi hari gambar kami semakin baik, namun hari demi hari pikiran kami semakin tidak waras.
Pameran itu meski ada pujian, tapi tetap saja menuai kritik dari para
guru. Bu Ruspita, guru lukis yang tinggi semampai dan cantik itu
mengkritik judul dan kekurangrealisan gambarku. Bu Ellys, Pak Basuki,
Pak Parman dan Pak Khusnul juga demikian. Kawan-kawan lain juga tidak
lepas dari pujian dan kritikan. Di hari itu pula sosok guru yang sering
kami temui di kelas dua, Pak Farid Ma'ruf, terlihat hilir-mudik
keluar-masuk ruang pameran. Sepertinya beliau sedang mengamati kemampuan
anak-anak yang akan dibimbingnya di kelas dua nanti. Satu lagi Guru
yang hadir di ruang pameran, yang pernah kami buat marah besar, tampak
mengamat-amati semua karya lukis siswa. Dengan kacamata tebalnya beliau
melihat dari samping kanan ke samping kiri, atas ke bawah, sambil
sesekali memegangi janggutnya yang mulus dan licin itu. Tidak ada
komentar, tidak ada tanggapan, karena mungkin tidak ada yang menarik
perhatian beliau. Dialah Bapak Made Sukarta, guru kami yang juga dosen
STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta), Surabaya.
Episode ini
mengulas banyak tentang Pak Made Sukarta. Bukanlah dimaksudkan sebagai
permintaan maaf karena pernah membuat marah beliau, tetapi lebih karena
pria kelahiran Bali itu memang perlu ditampilkan panjang lebar. Selain
berwawasan luas, Pak Made sendiri adalah penyemangat kami. Ilmu-ilmunya
tentang dunia seni memenuhi setiap ruang dalam kepala kami. Selalu
terkagum, terpana sekaligus bersemangat saat beliau mengajar maupun
setelahnya. Masih kurang, kami juga kerap menyempatkan diri untuk mampir
ke rumahnya.
Di kelas dua ini kami tinggal bersembilan. Aku,
Tompel, Mahfud, Mat Pa'i, Kriswanto, Imam Machmudi, Hariono, Dina,
Yohanes dan Fatkur Hartono, seorang kakak kelas yang tidak naik kelas.
Semprong kembali menuntut ilmu di kelas satu. Walaupun ia sudah ikut
pameran, tapi tetap tidak naik karena kerap bolos dan tidak mau potong
rambut; sedangkan Paulus mengundurkan diri dari SMSR. Oh iya, SMSR saat
itu telah berubah nama menjadi SMKN 11.
Yang paling kami tunggu adalah ketika Pak Made masuk kelas dan mengajar matpel 'Ornamen'. Beliau menjelaskan dengan runtut tentang apa itu deformasi, dan stilisasi. Deformasi, kata beliau adalah pengrusakan bentuk. Beliau mencontohkan dengan gambar daun yang diberi sentuhan ornamentik, dan menjadi berubah bentuk dalam rupa gunungan wayang, daun berpedang, berkepala raksasa dan sebagainya. Untuk stilisasi, penyederhanaan bentuk, beliau juga mencontohkan gambar sebuah daun yang berbentuk garis lurus dibubuhi garis melengkung untuk membentuk badan daun itu. Begitu saja, tanpa ruas, tanpa apapun.
Yang paling kami tunggu adalah ketika Pak Made masuk kelas dan mengajar matpel 'Ornamen'. Beliau menjelaskan dengan runtut tentang apa itu deformasi, dan stilisasi. Deformasi, kata beliau adalah pengrusakan bentuk. Beliau mencontohkan dengan gambar daun yang diberi sentuhan ornamentik, dan menjadi berubah bentuk dalam rupa gunungan wayang, daun berpedang, berkepala raksasa dan sebagainya. Untuk stilisasi, penyederhanaan bentuk, beliau juga mencontohkan gambar sebuah daun yang berbentuk garis lurus dibubuhi garis melengkung untuk membentuk badan daun itu. Begitu saja, tanpa ruas, tanpa apapun.
Pernah kami beramai-ramai ke rumah Pak Made
Sukarta. Disana kami ditunjukkan oleh beliau salah satu karyanya berupa
miniatur gua dengan bentuk ornamentik yang sangat menakjubkan. Dalam
dinding miniatur gua itu ditorehkannya simbol-simbol agama.
"Dalam sejarah agama-agama, gua memiliki peranan penting. Dalam lingkup semitik kita kenal Ashabul Kahfi, seven sleepers dalam agama Nasrani, juga Gua Hira tempat Nabi Muhammad menerima wahyu. dalam Hindu, Buddha dan Jainisme ada gua Ellora dan Ajanta," begitu ia memulai percakapan tentang karyanya.
"Sebentar.. sebenarnya atas dasar apa kalian ingin kemari?," Tanya beliau.
"Tentu saja meguru, Pak," jawab Kriswanto mewakili kami.
Pak Made tersenyum.
"Kalau di ruang kelas, kalian meguru pada saya. Tapi jika diluar seperti ini, kita sama-sama belajar,"
Pak Made memang begitu sederhana. Beliau melebur bersama para siswa, menganggap semua setara dan tak pernah memandang siapa.
"Tentu saja meguru, Pak," jawab Kriswanto mewakili kami.
Pak Made tersenyum.
"Kalau di ruang kelas, kalian meguru pada saya. Tapi jika diluar seperti ini, kita sama-sama belajar,"
Pak Made memang begitu sederhana. Beliau melebur bersama para siswa, menganggap semua setara dan tak pernah memandang siapa.
Suatu kali ketika santai, Pak Made juga pernah menceritakan riwayat
penyebutan 'guling' -benda yang menemani kita tidur- dalam masyarakat
Eropa. Pak Made bercerita bahwa saat Belanda menduduki Nusantara,
Belanda heran dengan benda 'guling' yang dipakai oleh orang setempat
pada waktu itu. Para Belanda itu merasa aneh dan risih, karena tidur
sambil memeluk benda lonjong itu dalam bayangan mereka sama saja seperti
tingkah polah orang mesum. Namun, Belanda yang semakin penasaran
akhirnya tertarik untuk mencoba. Mereka membawa beberapa guling dan
menaruh dalam kasur mereka demi merasakan sensasi tidur bersama bantal
dan guling di malam hari. Tak dinyana, tidur mereka menjadi nyenyak dan
mereka merasa begitu nyaman dengan adanya guling itu.
Orang-orang Belanda membawa benda yang disebut guling itu dalam perantauannya ke berbagai negara di Eropa, termasuk Inggris. Respon mereka, terutama di Inggris, sama halnya dengan yang orang Belanda lihat ketika pertama kali menemukan penduduk Nusantara memakai guling. Risih, aneh dan terlihat porno. Oleh karena itu orang Inggris menyebut guling sebagai 'Dutch Wife' atau 'Istri orang Belanda'.
Saat itu aku bertanya dalam hati, darimana Pak Made Sukarta mendapat referensi tentang sejarah penyebutan 'guling' itu?
Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika aku kuliah di Sastra Indonesia Unair dan mendapat tugas membaca novel, aku menemukan kata-kata Pak Made dalam bagian akhir novel berjudul 'Bumi Manusia' karya novelis ternama Pramoedya Ananta Toer. Disitu apa yang ditulis oleh Pramoedya dan apa yang diceritakan Pak Made Sukarta benar-benar sama persis. Dari situ aku simpulkan bahwa Pak Made adalah seorang cendekiawan senirupa yang membaca banyak literatur. Bagi kami, ia adalah perpustakaan berjalan.
Saat itu aku sejenak merenung, kemudian bersyukur.
Bersyukur karena aku
pernah menuntut ilmu di sebuah sekolah yang dipenuhi oleh guru-guru
yang luar biasa tingkat keilmuannya.
To be continued......
No comments:
Post a Comment